PENDAHULUAN
Kesadaran masyarakat Islam
Indonesia untuk berusaha lebih dekat dengan kitab suci kedengarannya semakin
kuat. Seruan “kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah” sering bergatung
dimana-mana. Dimedia massa, baik ceta maupun elektronik didalam khotbah-khotbah,
dan pertemuan-pertemuan ilmiah kalimat yang menawarkan jalan terbaik bagi umat
Islam itu sering terlontar. Bila ini dijadikan indikasi yang menandai adanya
kesadaran memegang ajaran Al-Qur'an tentu cukup menggembirakan. Atau, akalu
ungkapan itu baru sekedar slogan, mudah-mudahan saja dalam waktu yang tidak
terlalu lama dapat menjelma menjadi wujud nyata dalam pengamalan masyarakat.
Karena memang Al-Qur'an diturunkan Allah SWT sebagai petunjuk buat kehidupan
manusia yang bertakwa.
PEMBAHASAN
KEMUNGKINAN TERJADINYA WAHYU DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KITAB SUCI
A.
Kedudukan
Wahyu
Waliya, dengan berbagai ragamnya,
turun dengan pengetahuan yang yakin dan pasti bagi orang yang menerimanya.
Mereka yakin bahwa yang diberikan kepadnaya itu merupakan kebenaran yang datang
dari Allah SWT. Bukan berasal dari bisikan-bisikan jiwa atau
pentangan-pentangan panah setan. Pengetahuan yang menyakinkan tersebut tidak
membutuhkan premis-presmi tertentu sebab termasuk daya tangkap yang bersifat
instingtif, seperti lapar, haus, cinta, dan kebencian.
Berkenaan dengan pemberi wahyu,
banyak dalil yang menunjukkan tentang keberadaan Allah SWT dan
kesempurnaan-Nya, baik dalil aqli, afaqhiyah ( fenomena alam ), anfusiyah (
segala yang bernyawa ) maupun At-Tanzilah (ayat-ayat yang diturunkan). Adapun
malaikat, Allah SWT memberitahukan kepada para Nabi bahwa keberadaan mereka (
malaikat ) hanyalah sebagai pembawa syari’at dan kitab-kitab samawi. Banyak
dalil kuat, baik dari Al-Qur'an maupun As-sunah yang memberitakan keberadaan
mereka.
Para fiosof, ulama terdahulu atau
sekarang kecuali kelompok materialis, mengakui keberadaan alam yang tidak dapat
diindera ( alam ghaib ) dibalik alam yang dapat diindera ini. Dan manusia itu
sendiri bukan hanya terdiri atas jism yang dapat diraba semata, melainkan ia
terdiri atas jism dan roh.
Adapun mengenai kondisi jiwa manusia,
yang dimaksud adalah kesiapan Nabi untuk bertemua dengan Allah SWT atau
malaikat. Hal ini tidak mustahil bagi seorang Nabi sebab para Nabi memiliki
ketinggian gitrah, kejernihan jiwa, dan mereka diberi kesiapan khsusu oleh
Allah SWT. Baik secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menerima wahyu dari
Allah SWT atau malaikat dan mampu memahami dan berkomunikasi dengan mereka (
malaikat ). Berkenaan dengan hal ini kita tidak dapat mengqiyaskan atau
menganalogikan antara alam ghaib dengan alam nyata, atau alam roh dengan alam
materi. Apabila keberadaan dua alam ini dilalui maka kedudukan wahyu tidak
dapat dipungkiri lagi dan tidak mustahil keberadaannya.
Dengan demikian Allah SWT memilih
diantara hamba-hambanya yang memiliki jiwa jernih dan kesempurnaan fitri,
dimana jiwa-jiwa itu telah dipersiapkan untuk menerima luapan wahyu ilahi dan
berhubungan dengan alam atas, agar disampaikan kepada jiwa risalah Allah SWT
yang mencukupi kebutuhan manusia dalam meninggikan jiwa dan akhlaknya, serta
menegakkan peraturan-peraturan yang benar. Mereka adalah Rasul-Rasul dan
Nabi-Nabi yang diutus olehnya.
Bukanlah sesuatu yang aneh terjadinya
hubungan dengan wahyu ilahi ini. Kini manusia dapat menyaksikan hasil-hasil
hipnotis dimana hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi dapat
menimbulkan pengaruh, yang dapat mendekatkan pengertian kita pada gejala wahyu
dimana seseorang yang memiliki kelebihan tenaga bathin dapat mempengaruhi orang
yang lebih lemah. Sehingga akan tertidur nyenyak, tunduk pada
isyarat-isyaratnya dan mengajarkan apa yang dikehendaki. Apabila yang demikian
ini dapat berlaku antara seorang dengan seorang yang lain, tentulah terhadap
zat yang lebih kuat lebih dapat terjadi.
Kini orang dapat mendengarkan
pembicaraan yang direkam yang disampaikan oleh radio melalui lembah dan bukit,
daratan dan lautan tanpa melihat orangnya, bahkan sesudah mereka wafat. Dua
orang dapat berbicara melalui telepon yang satu diujung timur dan yang lain
diujugn barat. Bahkan mereka kadang-kadang dapat saling melihat sambil
berbicara, sedagn orang yang duduk disekeliilng mereka tidak mendengar sesuatu
melainkan dengung seperti dengungan lebah sebagai yang diterangkan pada suara
yang terdengar saat turunnya wahyu.
Siapa diantara kita yang tidak
berbicara didalam hati baik ketika juga maupun sedang tidur, tanpa ada orang
lain dihadapinya yang diajak berbicara ?. Hal-hal yang demikian dan hal-hal
lain yang serupa itu menerangkan bagi kita hakekat wahyu itu. Orang-orang yang
hidup sezaman dengan Nabi telah menyaksikan wahyu-wahyu itu, kemudian
menyampaikannya dengan cara mutawatir yang memenuhi syarat-syaratnya sehingga
memberikan pengetahuan yang pasti bagi generasi yang datang berikut.
Orang juga dapat merasakan
pengaruhnya pada peradaban umat itu, kekuatan dan kejayaan pengikutnya selama
mereka berpegang pada ajaran agamanya, kemudian keruntuhan dan kekalahan mereka
setelah mereka mengabaikan ajaran itu.
B.
Dalil
Pemberlakuan Wahyu
Apabila keberadaan wahyu dapat diakui
dan memang Ash-Shadiq Al-Mashduq Nabi Muhammad SAW telah memberitahukan
keberlakuannya, jelaslah dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa wahyu itu ada
dan berlaku.
Dalil-dalil yang menunjukkan
keberadaan dan pemberlakuan wahyu sangat banyak, baik dari Al-Qur'an maupun
dari As-Sunah Ash-Shahihah, baik dari Al-Qur'an adalah sebagai berikut :
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu ( muhammad )
tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu (
Al-Qur'an ) menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. ( QS. An-Najm :
1-4 ).
“Sesungguhnya Kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh
dan Nabi-Nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu ( pula ) kepada
Ibrahim, isma’il, Ishak, Ya’kub, dan anak cucunya, Isa ‘Ayub, Yunus, Harun dan
Sulaiman. Dan Kami telah berikan Zabur kepada Daud”.
Dalil-dalil dari As-sunnah
diantaranya berikut ini sabda Nabi Muhammad SAW :
“Tidaklah seorang Nabi diantara
para Nabi yang diutus, kecuali ia diberi tanda-tanda kenabian yang sama untuk
menyakinkan kenabiannya dihadapan manusia. Adapun tanda yang diberikan kepada
Aku adalah wahyu sebagaimana yang diberikan kepada mereka. Dan aku berharap
memiliki pengikut yang banyak dihari kiamat”.
Dengan adanya dalil-dalil yang
demikian memastikan kemungkinan memastikan kemungkinan dan kebenaran terjadinya
wahyu itu disamping orang harus kembali untuk memperoleh petunjuk daripadanya,
karena dengan demikian akan padamlah kehausan jiwa terhadap nilai-nilai
idealisdan keluhuran jiwa.
Nabi kita bukanlah Rasul pertama yang
menerima wahyu melainkan Allah SWT telah menyampaikan wahyu kepada Rasul-Rasul
sebelumnya serupa dengan wahyu-wahyu kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah
merupakan sesuatu yang aneh. Oleh karena itu alalh menyangkal hal ini didalam
firmannya surat Yunus ayat 2, yaitu :
“Patutkah menjadi kebenaran bagi manusia bahwa kami
mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara mereka : berilah peringatan kepada
manusia dan gembiralah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan
yang tinggi disini Tuhan mereka. “orang-orang kafir berkata : Sesungguhnya
orang ini ( Muhammad ) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”.
(QS. Yunus : 2).
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita
simpulkan bahwa wahyu dapat terjadi hanya pada orang-orang tertentu yang
pilihan dan dikehendaki Allah SWT. Kemudian wahyu-wahyu tersebut dikumpulkan,
dibukukan dalam bentuk kitab yang dikenal sebagai kitab suci. Jadi hubungan
wahyu dengan kitab suci sangat erat, hubungannya tidak dapat dipisahkan. Kitab
suci berisi kumpulan wahyu dan wahyu dikumpulkan menjadi kitab suci. Kitab suci
merupakan ciri khas suatu agama. Adalah sulit dibuktikan agama tanpa kitab
suci, dan kitab suci, diterima oleh Nabi atau Rasul. Kitab suci berisi petunjuk
bagi orang yang beriman.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abd.
Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Terjm. Husein
Muhammad, ( LKPSM, Yogyakarta, 2001 ), Cet. I.
2.
Drs.
Sudaryo El-Kamali, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, IAIN Walisongo, Fakultas
Syari’ah, Pekalongan, 1988.
3.
Hasbi
Ash-Shiddiqy, Prof, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an / Tafsir, Bulan
Bintang, Jakarta, 1965, cet. IV.
4.
Studi
Al-Qur'an Al-Karim ( Menelusuri Sejarah Turunnya Al-Qur'an ), Prof. Dr. Syekh
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, PT. Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar