Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

WAHYU


PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat Islam Indonesia untuk berusaha lebih dekat dengan kitab suci kedengarannya semakin kuat. Seruan “kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah” sering bergatung dimana-mana. Dimedia massa, baik ceta maupun elektronik didalam khotbah-khotbah, dan pertemuan-pertemuan ilmiah kalimat yang menawarkan jalan terbaik bagi umat Islam itu sering terlontar. Bila ini dijadikan indikasi yang menandai adanya kesadaran memegang ajaran Al-Qur'an tentu cukup menggembirakan. Atau, akalu ungkapan itu baru sekedar slogan, mudah-mudahan saja dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menjelma menjadi wujud nyata dalam pengamalan masyarakat. Karena memang Al-Qur'an diturunkan Allah SWT sebagai petunjuk buat kehidupan manusia yang bertakwa.



















PEMBAHASAN

KEMUNGKINAN TERJADINYA WAHYU DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KITAB SUCI


A.    Kedudukan Wahyu

Waliya, dengan berbagai ragamnya, turun dengan pengetahuan yang yakin dan pasti bagi orang yang menerimanya. Mereka yakin bahwa yang diberikan kepadnaya itu merupakan kebenaran yang datang dari Allah SWT. Bukan berasal dari bisikan-bisikan jiwa atau pentangan-pentangan panah setan. Pengetahuan yang menyakinkan tersebut tidak membutuhkan premis-presmi tertentu sebab termasuk daya tangkap yang bersifat instingtif, seperti lapar, haus, cinta, dan kebencian.
Berkenaan dengan pemberi wahyu, banyak dalil yang menunjukkan tentang keberadaan Allah SWT dan kesempurnaan-Nya, baik dalil aqli, afaqhiyah ( fenomena alam ), anfusiyah ( segala yang bernyawa ) maupun At-Tanzilah (ayat-ayat yang diturunkan). Adapun malaikat, Allah SWT memberitahukan kepada para Nabi bahwa keberadaan mereka ( malaikat ) hanyalah sebagai pembawa syari’at dan kitab-kitab samawi. Banyak dalil kuat, baik dari Al-Qur'an maupun As-sunah yang memberitakan keberadaan mereka.
Para fiosof, ulama terdahulu atau sekarang kecuali kelompok materialis, mengakui keberadaan alam yang tidak dapat diindera ( alam ghaib ) dibalik alam yang dapat diindera ini. Dan manusia itu sendiri bukan hanya terdiri atas jism yang dapat diraba semata, melainkan ia terdiri atas jism dan roh.
Adapun mengenai kondisi jiwa manusia, yang dimaksud adalah kesiapan Nabi untuk bertemua dengan Allah SWT atau malaikat. Hal ini tidak mustahil bagi seorang Nabi sebab para Nabi memiliki ketinggian gitrah, kejernihan jiwa, dan mereka diberi kesiapan khsusu oleh Allah SWT. Baik secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menerima wahyu dari Allah SWT atau malaikat dan mampu memahami dan berkomunikasi dengan mereka ( malaikat ). Berkenaan dengan hal ini kita tidak dapat mengqiyaskan atau menganalogikan antara alam ghaib dengan alam nyata, atau alam roh dengan alam materi. Apabila keberadaan dua alam ini dilalui maka kedudukan wahyu tidak dapat dipungkiri lagi dan tidak mustahil keberadaannya.
Dengan demikian Allah SWT memilih diantara hamba-hambanya yang memiliki jiwa jernih dan kesempurnaan fitri, dimana jiwa-jiwa itu telah dipersiapkan untuk menerima luapan wahyu ilahi dan berhubungan dengan alam atas, agar disampaikan kepada jiwa risalah Allah SWT yang mencukupi kebutuhan manusia dalam meninggikan jiwa dan akhlaknya, serta menegakkan peraturan-peraturan yang benar. Mereka adalah Rasul-Rasul dan Nabi-Nabi yang diutus olehnya.
Bukanlah sesuatu yang aneh terjadinya hubungan dengan wahyu ilahi ini. Kini manusia dapat menyaksikan hasil-hasil hipnotis dimana hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi dapat menimbulkan pengaruh, yang dapat mendekatkan pengertian kita pada gejala wahyu dimana seseorang yang memiliki kelebihan tenaga bathin dapat mempengaruhi orang yang lebih lemah. Sehingga akan tertidur nyenyak, tunduk pada isyarat-isyaratnya dan mengajarkan apa yang dikehendaki. Apabila yang demikian ini dapat berlaku antara seorang dengan seorang yang lain, tentulah terhadap zat yang lebih kuat lebih dapat terjadi.
Kini orang dapat mendengarkan pembicaraan yang direkam yang disampaikan oleh radio melalui lembah dan bukit, daratan dan lautan tanpa melihat orangnya, bahkan sesudah mereka wafat. Dua orang dapat berbicara melalui telepon yang satu diujung timur dan yang lain diujugn barat. Bahkan mereka kadang-kadang dapat saling melihat sambil berbicara, sedagn orang yang duduk disekeliilng mereka tidak mendengar sesuatu melainkan dengung seperti dengungan lebah sebagai yang diterangkan pada suara yang terdengar saat turunnya wahyu.
Siapa diantara kita yang tidak berbicara didalam hati baik ketika juga maupun sedang tidur, tanpa ada orang lain dihadapinya yang diajak berbicara ?. Hal-hal yang demikian dan hal-hal lain yang serupa itu menerangkan bagi kita hakekat wahyu itu. Orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi telah menyaksikan wahyu-wahyu itu, kemudian menyampaikannya dengan cara mutawatir yang memenuhi syarat-syaratnya sehingga memberikan pengetahuan yang pasti bagi generasi yang datang berikut.
Orang juga dapat merasakan pengaruhnya pada peradaban umat itu, kekuatan dan kejayaan pengikutnya selama mereka berpegang pada ajaran agamanya, kemudian keruntuhan dan kekalahan mereka setelah mereka mengabaikan ajaran itu.

B.     Dalil Pemberlakuan Wahyu
Apabila keberadaan wahyu dapat diakui dan memang Ash-Shadiq Al-Mashduq Nabi Muhammad SAW telah memberitahukan keberlakuannya, jelaslah dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa wahyu itu ada dan berlaku.
Dalil-dalil yang menunjukkan keberadaan dan pemberlakuan wahyu sangat banyak, baik dari Al-Qur'an maupun dari As-Sunah Ash-Shahihah, baik dari Al-Qur'an adalah sebagai berikut :



“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu ( muhammad ) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu ( Al-Qur'an ) menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. ( QS. An-Najm : 1-4 ).









“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu ( pula ) kepada Ibrahim, isma’il, Ishak, Ya’kub, dan anak cucunya, Isa ‘Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah berikan Zabur kepada Daud”.
Dalil-dalil dari As-sunnah diantaranya berikut ini sabda Nabi Muhammad SAW :







“Tidaklah seorang Nabi diantara para Nabi yang diutus, kecuali ia diberi tanda-tanda kenabian yang sama untuk menyakinkan kenabiannya dihadapan manusia. Adapun tanda yang diberikan kepada Aku adalah wahyu sebagaimana yang diberikan kepada mereka. Dan aku berharap memiliki pengikut yang banyak dihari kiamat”.
Dengan adanya dalil-dalil yang demikian memastikan kemungkinan memastikan kemungkinan dan kebenaran terjadinya wahyu itu disamping orang harus kembali untuk memperoleh petunjuk daripadanya, karena dengan demikian akan padamlah kehausan jiwa terhadap nilai-nilai idealisdan keluhuran jiwa.
Nabi kita bukanlah Rasul pertama yang menerima wahyu melainkan Allah SWT telah menyampaikan wahyu kepada Rasul-Rasul sebelumnya serupa dengan wahyu-wahyu kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah merupakan sesuatu yang aneh. Oleh karena itu alalh menyangkal hal ini didalam firmannya surat Yunus ayat 2, yaitu :









“Patutkah menjadi kebenaran bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara mereka : berilah peringatan kepada manusia dan gembiralah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi disini Tuhan mereka. “orang-orang kafir berkata : Sesungguhnya orang ini ( Muhammad ) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”.
(QS. Yunus : 2).


KESIMPULAN


Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa wahyu dapat terjadi hanya pada orang-orang tertentu yang pilihan dan dikehendaki Allah SWT. Kemudian wahyu-wahyu tersebut dikumpulkan, dibukukan dalam bentuk kitab yang dikenal sebagai kitab suci. Jadi hubungan wahyu dengan kitab suci sangat erat, hubungannya tidak dapat dipisahkan. Kitab suci berisi kumpulan wahyu dan wahyu dikumpulkan menjadi kitab suci. Kitab suci merupakan ciri khas suatu agama. Adalah sulit dibuktikan agama tanpa kitab suci, dan kitab suci, diterima oleh Nabi atau Rasul. Kitab suci berisi petunjuk bagi orang yang beriman.







DAFTAR  PUSTAKA


1.      Abd. Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Terjm. Husein Muhammad, ( LKPSM, Yogyakarta, 2001 ), Cet. I.
2.      Drs. Sudaryo El-Kamali, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, IAIN Walisongo, Fakultas Syari’ah, Pekalongan, 1988.
3.      Hasbi Ash-Shiddiqy, Prof, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an / Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1965, cet. IV.
4.      Studi Al-Qur'an Al-Karim ( Menelusuri Sejarah Turunnya Al-Qur'an ), Prof. Dr. Syekh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, PT. Pustaka Setia, Bandung, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text