I.
PENDAHULUAN
Pada masa jayanya pendidikan Islam, pola pemikiran yang bersifat
tradisional dan pola pemikiran yang bersifat sufistis, yang merupakan pola
pendidikan dunia Islam, yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pola
pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat, maka dalam
dunia pendidikan Islam pun tinggal pola pemikiran usfistis, yang bersifat
sangat mementingkan kehidupan batin, sehingga mengabaikan perkembangan dunia
material. Maka dari aspek inilah dikatakan pendidikan dan kebudayaan Islam
mengalami kemunduran. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada makalah ini.
II.
PEMBAHASAN
M.M. Syarif dalam bukunya Muslim Thaqut, sebagaimana dikutip oleh
Zuhairini menjelaskan bahwa gejala kemunduran Islam mulai tampak setelah abad
ke – 13 M yang ditandai dengan terus melemahnya pemikiran Islam sampai abad ke
– 18 M.[1]
Secara kuantitas, pendidikan Islam menunjukkan perkembangan yang baik karena
adanya keterlibatan langsung penguasa terhadap pendidikan sehingga memacu
semakin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan seperti halnya pegnuasa
Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, Utsmani, dan sebagainya terus memperbanyak
bangunan-bangunan madrasah bahkan dalam sistem pengorganisasian telah mengalami
perkembangan yang tinggi dimana sistem tersebut dilembagakan secara sistematis,
dipelihara dan ditunjang khususnya ini terjadi pada masa kerajaan Utsmani.
Kemunduran pendidikan Islam pada masa ini, terletak pada merosotnya
mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahwa
materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu keagamaan.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk
ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin
dijauhi sehingga kedudukan akal semakin surut.[2]
Selanjutnya diungkapkan kembali oleh M.M. Syarif, bahwa pikiran Islam
menurun dan melemah, adapun sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut
antara lain dilukiskan sebagai berikut :
1. Telah berkelebihan
filsafat Islam ( yang bercorak sufistis ) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam
alam islami di Timur dan berkelebihan pula Ibn Rusyd dalam memasukkan filsafat
islamnya ( yang bersifat rasionalistis ) ke dunia Islam Barat.
2. Umat Islam, terutama
para pemerintahnya ( khalifah, amir-amir, sultan ) melalaikan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang.
3. Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia Islam.[3]
Maka dengan ditinggalkannya pendidikan intelektual semakin statis
perkembangan budaya Islam sehingga terjadilah kebekuan intelektual secara
total.
Disamping itu bahwa kemunduran Islam tidak hanya dibidang pendidikan
dan pemikiran saja akan tetapi juga pada aspek lainnya seperti keagamaan,
kemasyarakatan, politik dan ekonomi.
Dalam keagamaan mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama
terdahulu daripada berusaha melakukan penemuan-penemuan baru. Sehingga mereka
hanya mempelajari suatu pelajaran berdasarkan tekstual dan doktrinal yang
ditulis oleh para ulama terdahulu atau lampau. Seperti halnya dalam
madrasah-madrasah pada umumnya yang menggunakan kurikulum yang sangat terbatas
yang hanya bertujuan untuk mendalami ilmu fikih diantara empat madzhab sehingga
tanpa disadari umat Islam terjadilah pembekuan terhadap empat madzhab fikih,
yang karenanya memberikan kisah seolah-olah pintu ijtihad telah ditutup. Maka
dari itu, kaum intelektual enggan berijtihad untuk memecahkan problem-problem
kemasyarakatan dan keagamaan yang menghimpit umat Islam.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang
gejala-gejala kemunduran / kemacetan intelektual Islam ini sebagai berikut :
Penutupan
pintu ijtihad ( yakni pemikiran orisinil dan bebas ) selama abad ke – 4 H / 10
M dan 5 H / 11 M telah membawa kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu
intelektual, khususnya yang pertama, ilmu intelektual, yakni teologi dan
pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena
pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena
kemunduran yang disebut terakhi ini. Khususnya filsafat dan juga pengucilannya
dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa sufisme.[4]
Kemunduran islampun ditandai dengan jatuhnya kerajaan Abbasiyah oleh
serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke – 13 M,
ketika itu Baghdad sebagai pusat kota ilmu dan kebudayaan dihancurkan sama sekali.
Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga pendidikan dan
ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi umat Islam.
Sehingga pusat-pusat kebudayaan beralih secara drastis dari dunia Islam
ke Eropa, menimbulkan rasa lemah diri dan putus asa dikalangan masyarakat.
Merekapun bersikap hidup katalistis dan frustasi sehingga mereka hanya
bergantung dan mengembalikan keuntungan serta penderitaan hanya pada Tuhan.
Maka dari itu orang-orang Islam pun kembali kepada pikiran tradisionalisme.
Mereka masuk ke tarekat-tarekat yang bertujuan hanya mendekatkan diri kepada
Tuhan saja, mereka berharap semoga Allah menghapus penderitaan dan
mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai umat Islam. Berpikir ilmiah dan
naturalis ( berdasarkan sunnah Allah ) tidak lagi diterapkan. Oleh karena itu,
berkembanglah tahayul dan khurafat. Mereka percaya kepada kekuatan
syeikh-syeikh dan benda-benda keramat atas berdasarkan tharekat yang mereka
ikuti.[5]
Keadaan yang demikian berlangsung selama masa kemunduran kebudayaan dan
pendidikan Islam sampai abad ke – 12 H / 8 M. Sehingga pada pertengahan abad ke
– 12 H / 8 M timbul suatu gerakan yang bertujuan untuk pemurnian Islam, seperti
Muhammad Ibnu Abdul Al-Wahab ( 1115 – 1206 H / 1703 – 1792 M ) di Jazirah Arab dan
Syah Waliullah ( 1113 – 1176 H / 1702 – 1762 M ) di India. Kedua tokoh ini
memurnikan ajaran Islam mengarah pada dua unsur pokok yaitu (1) mengembalikan
ajaran Islam kepada unsur-unsur aslinya, dengan bersumber kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah, membuang segala bid’ah dan khurafat dari agama lain dan mistik dari
luar yang dimasukkan oleh kaum sufi, (2) membuka pintu ijtihad, yang telah
tertutup beberapa abad sebelumnya.[6]
Dalam politik Islam pun mengalami kemunduran dikarenakan orang-orang
Eropa telah menemukan kebangkitan intelektual dan mulai meninggalkan umat
Islam. Mereka telah menemukan sumber-sumber kekayaan diluar Eropa seperti
Amerika, Australia dan Timur jauh. Sehingga mereka berpindah tempat dalam
perdagangan mereka serta kekayaan yang melimpah membuat Eropa semakin kuat baik
dalam politik, ekonomi, bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan ilmu
teknologi.
Demikianlah gambaran umat Islam yang mengalami kemunduran dalam bidang
pendidikan dan pemikiran yang terjadi pada abad ke – 13 M sampai abad ke – 18
M, baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan politik dan juga ekonomi.
III.
KESIMPULAN
Kemunduran umat Islam terjadi dan mulai tampak pada abad ke – 13 M
sampai abad ke – 18 M. Kemunduran Islam terjadi tidak hanya dibidang pendidikan
dan pemikiran saja, tapi juga berdampak pada aspek keagamaan, kemasyarakatan,
politik dan ekonomi.
IV.
PENUTUP
Demikian pemaparan makalah kami, kami menyadari makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritiknya yang
dapat menyempurnakan makalah kami.
V.
REFERENSI
Ø Zuhairini, Dra., Sejarah Pendidikan Islam,
Cet. II, Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.
Ø Arohah, Harun, M.Ag, Sejarah Pendidikan
Islam, Cet. I, Ciputat, PT. Logos, 1999.
Ø Zuhairini, Dra. Sejarah Pendidikan Islam,
Cet. V, Jakarta, Bumi Aksara dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1997.
[1] Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos,
Cet. 1, 1999, hlm. 120.
[2] Harun Asrohah, Op.Cit, hlm. 121.
[3] Dra. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bumi Aksara, Cet. V, 1997, hlm. 110.
[4] Dra. Zuhairini, dkk, Op.Cit, hlm. 110.
[5] Harun Asrohah, Op.Cit, hlm. 125.
[6] Dra. Zuhairini, dkk, Op.Cit, hlm. 114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar