Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

ASY’ARIYAH DAN WAHABIYYAH


I.   ASY’ARIYAH
A.    Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Nama lengkap Abu Al-Hasan Ali Bin Ismail Al-Asyari. Ia lahir di Bashirah pada Tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada Tahun 953 M. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubai (w. 915) seorang terkemuka golongan Muta’zilah. Ketika mencapai usia 40 Tahun Al-Asyari mengunci diri di rumahnya untuk berkhalawat selama sekitar dua minggu. Didalam khalwatnya itu ia memikirkan lebih mendalam ajaran Mu’tazilah yang rasional. Kemudian ia menyatakan keluar dari ajaran tersebut. Adapun faktor-faktor yang menyatakan ia keluar dari Mu’tazilah adalah sebagai berikut :
a.   Faktor Internal
Ø Keraguanya terhadap tesis-tesis yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.
Ø  Mimpinya bertemu Rasulullah yang mengatakan bahwa madzab ahli Hadits itu benar, dan Mahzab Mu’tazilah salah.
Ø Perdebatannya dengan gurunya, Al-Juba’i.
Ø Karena ia menganut Madzab Syafi’i.
Ø  Darah Arab padang pasir yang bersifat tradisional yang mengalir pada dirinya, sehingga ia menolak rasionalisme yang berlebihan.
b.  Faktor Eksternal
Ø  Pamor Mu’tazilah yang pada waktu itu sudah merosot.
Ø  Kesedihannya melihat pendapat kaum Sunni dikuasai oleh tendensi-tedensi ekstrem.
Ø  Aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima mayoritas muslim yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran
Ø  Umat muslim tidak lagi memiliki pegangan aliran teologi yang teratur
B.     Pemikiran Al-Asy’ari
Perumusan dogma al-Asy’ari pada lutinya menyungguhkan suatu usaha membuat sintesa antara pandangan ortodeks yang waktu itu belum dirumukan dengan pandangan Mu’tazilah. Namun, perumusan teologi Al-Asy’ari kadang merupakan reaksi atas Mu’tazilah. Karenanya hasilnya setengah sintesa setengah reaksi.
Ia menengahi antara pandangan kaum Hambali yang sangat naqli dan kaum Mu’tazili yang sangat aqli. Dan menengahi antara Jabariyah dan Qodariyah dengan konsep Kasb (perolehan, acquisition) yang cukup rumit.
Adapun pemikirannya yang merupakan reaksi terhadap Mu’tazilah, terlihat dalam antitesis paham-paham yang dikembangan oleh Mu’tazilah, Antitesis Al-Asy’ari terhadap pandangan Mu’tazilah itu terlihat dalam pandanganya tentang sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat, fungsi akal dan wahyu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tentang Tuhan dan keadilan Tuhan.
1.  Pandangan Al-Asy’ari  terhadap perbutan manusia.
Al-Asy’ari menengahi antara pandangan Jabariyah dan Qadariyah dengan Konsep Kasbi. Arti iktidab menurutnya adalah “Sesuatu yan terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasab bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul”.
Term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatanya.
2.  Sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang rill dan abadi. Sifat-sifatnya tidak identik dengan zat-Nya, tetapi tidak pula berbeda dari pada-Nya.
Mengenai antropomorfisme, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhanmempunyai muka, tangan, mata, dan sebaginya dengan tidak ditentukan bagaimana bentuk dan batasanya (tidak mempunyai bentuk dan batasan).


3.  Melihat Tuhan Di Akhirat
Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat. Karena sesuatu yang mempunyai wujud itu pasti dapat dilihat. Sedangkan Tuhan itu wujud.
4.  Fungsi Akal dan Wahyu
Akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, baik dan buruk. Serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu saja.
5.  Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Tuhantidak tunduk kepada siapapun. Di atas Tuhan tidak ada Zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa saja yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan berbuat saja sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
6.  Keadilan Tuhan
Tidak ada sesuatu apapun yang wajib bagi Tuhan. Keadilan Tuhan adalah bahwa Tuhan berbuat apapun tetap dikatakan adil, karena kehendak Tuhan dan Kekuasan-Nya bersifat absolute.
7.  Keqadiman Al-Qur’an
Al-Qur’an tidaklah diciptakan. Pendapat ini  diambil dari pendapat Ahmad Ibn Hambal, bahwa Al-Qur’an itu abadi. Namun huruf dan suara yang ada pada ada pada lidah kita tidaklah abadi. Lafadz Al-Qur’an itu baru dan yang abadi adalah firman Allah yang dibukukan dalam Lauh Mahfuz.
Para pengikut Asy’ariyah tidak selamanya memiliki pandangan yang sama dengan Al-Asy’ari. Adakalanya pemikiran pengikutnya justru lebih dekat kepada paham teologi lawannya, Mu’tazilah. Pengikut Al-Asy’ari yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya ialah Abu Bakar Al-Baqilani dan Imam Al-Juawaini yang kemudian tidak sepenuhnya sepaham dengan Al-Asy’ari. Pengikutnya yang terkenal lagi adalah Al-Ghozali sebagai pewaris setia ajaran Al-Asy’ari.
C.     Tokoh-Tokoh Asy’ari dan Pemikiranya
1.  Al-Baqillani
Nama lengkapnya Abu Bakar  Muhammad Ibn Tayyib Ibn Muhammad Ibn Ja’bar Ibn Qosim Abu Bakar Al-Baqillani. Ia lahir di Basrah. Ia adalah tokoh kedua setelah Al-asy’ari sendiri.
Ada beberapa pemikiran kalam Al-Baqillani yang tidak sejalan dengan Al-Asy’ari, di antaranya adalah :
a.   Tentang Sifat Allah
Menurutnya sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang berada di luar Zat-Nya atau sesuatu yang menempel pada Zat-Nya. Sifat disamakanya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak ke-Esa-an-Nya. Sifat bukanlah “hal”  melainkan sesuatu yang manjub.
b.  Tentang Perbuatan Manusia
Al-Kasab menurut Al-Baqillani adalah perbuatan manusia disertai qudrah pada waktu perbuatan. Artinya, kasb lahir semata-mata berhubungan dan bersamaan dengan qudrah Allah, kemudian menjasi suatu bentuk perbuatan, sehingga antara khalq dan mukhtasib (perolehan) itu berbeda, yang diwujudkan Tuhanialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu di hasilkan oleh manusia sendiri.
c.   Fungsi Akal dan Wahyu
Al-Baqillani membagi baik dan buruk menjadi tiga kategori. Pertama, berkaitan dengan kesempurnaan dan kekurangan sifat. Kedua, berkaitan dengan perbedaan kepentingan. Kedua hal tersebut dapat diketahui melalui akal. Ketiga berkaitan dengan pahala dan siksa, informasi mengenai pahala dan sisa diketahui oleh wahyu.
2.  Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali Abdul Malik Ibn Syaikh Abi Muhammad. Lahir di Juwaini kawasan Nai’sabur, Persis pada Tahun 1028 M. Wafat Tahun 1085 M. Gelarnya adalah “Dhiya’u Al-Din” tetapi telah dikenal dengan gelarnya “Iman Haramain”. Ia adalah guru Utama  Imam Ghazali yang mengajarkan tentang study kalam, filsafat dan logika.
Al-Juwaini tkdak selamanya setuju dengan ajaran Al-Asy’ari. Di antaranya adalah :
a.       Mengenai Antropomorfrsme
Ia berpendapat bahwa tangan Tuhanharus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan harus ditakwilkan dengan penglihatan Tuhan dan Wajah Tuhan diartikan dengan Wujud Tuhan. Keadaan Tuhan duduk di atas tahta ditakwilkan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
b.      Mengenai Sifat-Sifat Tuhan
Al-Jawaini membagi sifat-sifat Allah menjadi dua kategori. Pertama, sifat nafsiyah (sifat itsbat/positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat) sifat ini seperti di qidam, qiyamuhu bi nafsihi, wahdaniyah, mukhafah lil hawadisi dan tidak mempunyai ukuran (intidad). Kedua, sifat ma’nawiyah (sifat yang timbul atau ada karena suatu illat yang ada pada zat), seperti sifat berkuasa (qodirun)
c.       Mengenai Perbuatan Manusia
Menurutnya, daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat di antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini tergantung pada sebab lain. Dan wujud sebab lain ini bergantung pada sebab lain lagi dan seterusnya sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3.  Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir lahir di desa Ghozala, di daerah Thus yang termasuk wilayah Khurasan, Persia pada Tahun 450 H/1059 M. wafat di Thus pada Tahun 1111 M.
Al-Ghazali yang berpaham Asy-Ariyah lebih popular di bandingkan dengan Al-Asy’ari sendiri sebagai pendiri paham tersebut. Al-Asy’ari hanya dikenal sebagai pendiri paham Ahl Al-Sunnah Wal Al-Jama’ah. Sementara Al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang sukses memperkenalkan paham tersebut melalui karya-karyanya kepada kaum muslimin di dunia Islam.
Paham teologi yang dikedepankan Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan paham Al-Asy’ari.
a.       Mengenai sifat-sifat Allah SWT
Tuhan mempunyai sifat qodim yang tidak identik dengan zat-Nya dan mempunyai sifat di luar zat-Nya. Artinya sifat-sifat ini tidaklah sama, bahkan lain dari esensi tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri, sehingga adanya sifat-sifat tersebut tidak membawa kepada paham yang kekal.
b.      Fungsi akal dan wahyu
Akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban itu hanya ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, sebelum wahyu datang,  manusia tidak berkewajiban mengetahui Tuhan dan mensyukuri nikmatnya.
c.       Tentang perbuatan manusia
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya umtuk berbuata dalam diri manusia, ia menekankan sisi kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan Karena daya untuk berbuat terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
d.      Tentang beuatific vision, yaitu tuhan dapat dilihat karena setiap yang wujud itu dapat dilihat.
e.       Tetang keadilan tuhan
Menurutnya, tuhan tidak wajib menjaga kemaslahatan manusia. Ia tidak mempercayai kepastian janji dan ancaman tuhan sebagaimana yang dipercaya kaum mu’tazilah. Ia menekankan pada kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan. Ia tidak mempercayai hukum alam yang berjalan berdasarkan hukum kausalitas. Teori ini disebut teori kebiasaan (adat) yang diawali dengan pandangan : (1)  tuhan telah menciptakan dalam diri kita pengetahuan bahwa ia tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang, meskipun hal tersebut mungkin, (2) pengulangan dari kebiasaan yang terus berlangsung pada benda-benda menanamkan pada pikiran kita kesan bahwa mereka akan terus mengikuti sesuatu pola menurut kebiasaan mereka yang lalu. Karena itu bukanlah alam atau hukum kausalitas yang ditanamkan tuhan dalam benda-benda, melainkan kebiasaan (adat), ditambah dengan pengetahuan yang diciptakan berulang kali.

II.    WAHBIYAH
A.    Sejarah Berdirinya Wahabi
Nama aliran Wahabi diambil dari nama pendirinya, yaitu Muhammad Bin Abdul Wahab Bin Sulaiman Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid Bin Barid Bin Muhammad Bin Musyrif Bin Umar. Ia lahir di Najed Tahun 1111 H/1699 M.
Mulanya Muhammad bin abdul wahab hidup di lingkungan sunni pengikut mazhab hambali, bahkan ayahnya syaikh abdul wahab adalah seorang ulama besar pada zamannya, kakeknya sulaiman adalah ulama besar di najed dan guru-gurunya juga orang-orang sunni yang baik. Namun sejak semula ayahnya dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia dikhawatirkan akan berlebihan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Dalam selang waktu yang tidak lama firasat itu terbukti, kemudian ayahnya menentang dan memberi peringatan khusus kepadanya, bahkan kakak kandungnya sulaiman bin abdul wahab, ulama besar dari mazhab hambali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul Al-Sawa’iq Al-Ilahiyah Fi Al-Raddi Ala Al-Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syaihk Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdhi As-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat : “wahai Ibn Abdul Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bis memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun mudharof, kalau dia menentang bolehlah kau anggap kafir, tidak mungkin kau megkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimim”
Asal mulanya Muhammad Bin Abdul Wahab adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari suatu negara ke negara lain, dan di antara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India, dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, ia terpengaruh  oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris unutk menyebarkan ajaran barunya. Sebagaimana Inggris telah berhasil mendirikan sekte-sekte di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Bahai. Sejak semula dia juga gemar mempelajari sejarah Nabi-Nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdab Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy, dan lain-lain. Hal ini agaknya yang menjadi dalah satu faktor pemahamannya yang cenderung kolot.
B.     Paham Wahabi
Salah satu dari ajaran yang diyakini oleh Muhammad Bin Abdul Wahab adalah mengkufurkan kaum muslim Sunni yang mengamalkan tasawuf, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan Ahlusunnah Wal Jama’ah berkaitan dengan hal tersebut ditolak tanpa alasan yang jelas. Bahkan lebih dari itu, menurutnya kaum muslimin sudah syirik sejak 600 tahun silam, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seorang bertanya kepada Muhammad Bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan ? “ Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut ? Dari manakah jumlah sebanyak itu ? sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim”. Mendengar perkataan itu Muhammad Bin Abdul Wahab terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian tidak menggubris nasehat dari ayahnya dan guru-gurunya.
Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat dihadapnya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga harus mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir, kalau mau mengakui hal tersebut di diterima menjadi pengikutnya, kau tidak dia pun langsung dibunuh. Ibn Abdul Wahab membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapanya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkatku masih bisa digunakan untuk membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali.
Dengan berdalih pemurnian ajaran islam, dia terus menyebarkan ajaranya di sekitar wilayah Najed. Orang yang minim pengetahuan agamanya banyak yang terpengaruhi. Termasuk dari pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad Bin Saud (meninggal tahun 1178 H/1765 M) pendiri Dinasti Saudi, yang kemudian menjadi mertuanya. Dia mendukung penuh dan memenfaatkanya untuk memperluas wilayah kekuasannya. Ibnu Saud sendiri dangan patuh pada perintah Muhammad Bin Abdul Wahab.
Pada Tahun 1802, mereka menyarang Karabala-Irak, tempat di kebumikannya cucu Nabi, yaitu Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah SWT. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, mengahancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad SAW. Keberhasilan menaklukan madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada tahun 1806, dan merusak Kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutera. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la termasuk  kubah tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Siti Khadijah dan Masjid Abdullah Bin Abbas. Kencing di makam Kaum Solihin, mereka berdalih memurnikan ajaran Islam, karena tempat-tempat keramat menurut mereka sangat berpontensi menjadikan kaum Muslimin syirik kepada Allah SWT. Wallahu A’lam.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text