I.
ASY’ARIYAH
A.
Riwayat Hidup
Al-Asy’ari
Nama lengkap Abu Al-Hasan Ali Bin
Ismail Al-Asyari. Ia lahir di Bashirah pada Tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada Tahun 953 M.
Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubai (w. 915) seorang terkemuka golongan
Muta’zilah. Ketika mencapai usia 40 Tahun Al-Asyari mengunci diri di rumahnya
untuk berkhalawat selama sekitar dua minggu. Didalam khalwatnya itu ia
memikirkan lebih mendalam ajaran Mu’tazilah yang rasional. Kemudian ia
menyatakan keluar dari ajaran tersebut. Adapun faktor-faktor yang menyatakan ia
keluar dari Mu’tazilah adalah sebagai berikut :
a.
Faktor
Internal
Ø Keraguanya terhadap tesis-tesis yang
dikembangkan oleh Mu’tazilah.
Ø Mimpinya bertemu Rasulullah yang mengatakan
bahwa madzab ahli Hadits itu benar, dan Mahzab Mu’tazilah salah.
Ø Perdebatannya dengan gurunya, Al-Juba’i.
Ø Karena ia menganut Madzab Syafi’i.
Ø Darah Arab padang pasir yang bersifat tradisional yang
mengalir pada dirinya, sehingga ia menolak rasionalisme yang berlebihan.
b.
Faktor
Eksternal
Ø Pamor Mu’tazilah yang pada waktu itu sudah
merosot.
Ø Kesedihannya melihat pendapat kaum Sunni
dikuasai oleh tendensi-tedensi ekstrem.
Ø Aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima
mayoritas muslim yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran
Ø Umat muslim tidak lagi memiliki pegangan aliran
teologi yang teratur
B.
Pemikiran Al-Asy’ari
Perumusan dogma al-Asy’ari pada
lutinya menyungguhkan suatu usa ha
membuat sintesa antara pandangan ortodeks yang waktu itu belum dirumukan dengan
pandangan Mu’tazilah. Namun, peru musan
teologi Al-Asy’ari kadang merupakan reaksi atas Mu’tazilah. Karenanya hasilnya
setengah sintesa setengah reaksi.
Ia menengahi antara pandangan kaum Hambali
yang sangat naqli dan kaum Mu’tazili yang sangat aqli. Dan menengahi antara
Jabariyah dan Qodariyah dengan konsep Kasb (perolehan, acquisition)
yang cukup rumit.
Adapun pemikirannya yang merupakan
reaksi terhadap Mu’tazilah, terlihat dalam antitesis paham-paham yang
dikembangan oleh Mu’tazilah, Antitesis Al-Asy’ari terhadap pandangan Mu’tazilah
itu terlihat dalam pandanganya tentang sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat,
fungsi akal dan wahyu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tentang Tuhan dan
keadilan Tuhan.
1.
Pandangan
Al-Asy’ari terhadap perbutan manusia.
Al-Asy’ari menengahi antara pandangan
Jabariyah dan Qadariyah dengan Konsep Kasbi. Arti iktidab menurutnya
adalah “Sesuatu yan terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan
demikian menjadi perolehan atau kasab bagi oran g yang dengan dayanya perbuatan itu
timbul”.
Term-term “diciptakan” dan “memperoleh”
mengandung kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan
mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatanya.
2.
Sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat yang rill dan abadi. Sifat-sifatnya tidak identik dengan zat-Nya,
tetapi tidak pula berbeda dari pada-Nya.
Mengenai antropomorfisme, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Tuhanmempunyai muka, tangan, mata, dan sebaginya dengan tidak
ditentukan bagaimana bentuk dan batasanya (tidak mempunyai bentuk dan batasan).
3.
Melihat Tuhan
Di Akhirat
Menurutnya Tuhan dapat dilihat di
akhirat. Karena sesuatu yang mempunyai wujud itu pasti dapat dilihat. Sedangkan
Tuhan itu wujud.
4.
Fungsi Ak al dan Wahyu
Akal hanya mampu mengetahui Tuhan,
sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, baik
dan buruk. Serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat
diketahui manusia berdasarkan wahyu saja.
5.
Kekuasaan
dan Kehendak Mutlak Tuhan
Tuhantidak tunduk kepada siapapun. Di
atas Tuhan tidak ada Zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa
saja yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan berbuat
saja sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
6.
Keadilan
Tuhan
Tidak ada sesuatu apapun yang wajib
bagi Tuhan. Keadilan Tuhan adalah bahwa Tuhan berbuat apapun tetap dikatakan
adil, karena kehendak Tuhan dan Kekuasan-Nya bersifat absolute.
7.
Keqadiman
Al-Qur’an
Al-Qur’an tidaklah diciptakan.
Pendapat ini diambil dari pendapat Ahmad
Ibn Hambal, bahwa Al-Qur’an itu abadi. Namun huruf dan suara yang ada pada ada
pada lidah kita tidaklah abadi. Lafadz Al-Qur’an itu baru dan yang abadi adalah
firman Allah yang dibukukan dalam Lauh Mahfuz.
C.
Tokoh-Tokoh
Asy’ari dan Pemikiranya
1.
Al-Baqillani
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Tayyib Ibn Muhammad Ibn Ja’bar Ibn
Qosim Abu Bakar Al-Baqillani. Ia lahir di Basrah. Ia adalah tokoh kedua setelah
Al-asy’ari sendiri.
a.
Tentang
Sifat Allah
Menurutnya sifat-sifat Allah bukanlah
sesuatu yang berada di luar Zat-Nya atau sesuatu yang menempel pada Zat-Nya.
Sifat disamakanya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak
ke-Esa-an-Nya. Sifat bukanlah “hal”
melainkan sesuatu yang manjub.
b.
Tentang
Perbuatan Manusia
Al-Kasab menurut Al-Baqillani adalah
perbuatan manusia disertai qudrah pada waktu perbuatan. Artinya, kasb
lahir semata-mata berhubungan dan bersamaan dengan qudrah Allah,
kemudian menjasi suatu bentuk perbuatan, sehingga antara khalq dan mukhtasib
(perolehan) itu berbeda, yang diwujudkan Tuhanialah gera k yang terdapat dalam diri manusia,
adapun bentuk atau sifat dari gerak itu di hasilkan oleh manusia sendiri.
c.
Fungsi Ak al dan Wahyu
Al-Baqillani membagi baik dan buruk
menjadi tiga kategori. Pertama, berkaitan dengan kesempurnaan dan
kekurangan sifat. Kedua, berkaitan dengan perbedaan kepentingan. Kedua
hal tersebut dapat diketahui melalui akal. Ketiga berkaitan dengan
pahala dan siksa, informasi mengenai pahala dan sisa diketahui oleh wahyu.
2.
Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali
Abdul Mali k
Ibn Syaikh Abi Muhammad. Lahir di Juwaini kawasan Nai’sabur, Persis pada Tahun 1028
M. Wafat Tahun 1085 M. Gela rnya adalah “Dhiya’u Al-Din”
tetapi telah dikenal dengan gela rnya
“Iman Haramain”. Ia adalah guru Utama
Imam Ghazali yang mengajarkan tentang study kalam, filsafat dan logika.
Al-Juwaini tkdak selamanya setuju
dengan ajaran Al-Asy’ari. Di antaranya adalah :
a.
Mengenai
Antropomorfrsme
Ia berpendapat bahwa tangan Tuhanharus
ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan harus ditakwilkan dengan
penglihatan Tuhan dan Wajah Tuhan diartikan dengan Wujud Tuhan. Keadaan Tuhan duduk
di atas tahta ditakwilkan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
b.
Mengenai
Sifat-Sifat Tuhan
Al-Jawaini membagi sifat-sifat Allah
menjadi dua kategori. Pertama, sifat nafsiyah (sifat itsbat/positif
bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat) sifat ini seperti di qidam, qiyamuhu
bi nafsihi, wahdaniyah, mukhafah lil hawadisi dan tidak mempunyai
uk uran
(intidad). Kedua, sifat ma’nawiyah (sifat yang timbul atau
ada karena suatu illat yang ada pada zat), seperti sifat berkuasa (qodirun)
c.
Mengenai
Perbuatan Manusia
Menurutnya, daya yang ada pada
manusia juga mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat di
antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada
manusia, wujud daya ini tergantung pada sebab lain. Dan wujud sebab lain ini
bergantung pada sebab lain lagi dan seterusnya sampai kepada sebab dari segala
sebab yaitu Tuhan.
3.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir lahir di desa Ghozala, di daerah
Thus yang termasuk wilayah Khurasan ,
Persia pada Tahun
450 H/1059 M. wafat di Thus pada Tahun 1111 M.
Al-Ghazali yang berpaham Asy-Ariyah
lebih popular di bandingkan dengan Al-Asy’ari sendiri sebagai pendiri paham
tersebut. Al-Asy’ari hanya dikenal sebagai pendiri paham Ahl Al-Sunnah Wal
Al-Jama’ah. Sementara Al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang sukses
memperkenalkan paham tersebut melalui karya-karyanya kepada kaum muslimin di
dunia Islam.
Paham teologi yang dikedepankan
Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan paham Al-Asy’ari.
a.
Mengenai
sifat-sifat Allah SWT
Tuhan mempunyai sifat qodim yang tidak
identik dengan zat-Nya dan mempunyai sifat di luar zat-Nya. Artinya sifat-sifat
ini tidaklah sama, bahkan lain dari esensi tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu
sendiri, sehingga adanya sifat-sifat tersebut tidak membawa kepada paham yang
kekal.
b.
Fungsi
akal dan wahyu
Akal tidak dapat membawa
kewajiban-kewajiban itu hanya ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, sebelum
wahyu datang, manusia tidak berkewajiban
mengetahui Tuhan dan mensyukuri nikmatnya.
c.
Tentang
perbuatan manusia
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
manusia dan daya umtuk berbuata dalam diri manusia, ia menekankan sisi kehendak
dan kekuasaan mutlak tuhan Karena daya untuk berbuat terdapat dalam diri
manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
d.
Tentang beuatific
vision, yaitu tuhan dapat dilihat karena setiap yang wujud itu dapat dilihat.
e.
Tetang
keadilan tuhan
Menurutnya, tuhan tidak wajib menjaga
kemaslahatan manusia. Ia tidak mempercayai kepastian janji dan ancaman tuhan
sebagaimana yang dipercaya kaum mu’tazilah. Ia menekankan pada kehendak dan
kekuasaan mutlak tuhan. Ia tidak mempercayai hukum alam yang berjalan
berdasarkan hukum kausalitas. Teori ini disebut teori kebiasaan (adat) yang
diawali dengan pandangan : (1) tuhan
telah menciptakan dalam diri kita pengetahuan bahwa ia tidak akan melakukan
sesuatu yang menyimpang, meskipun hal tersebut mungkin, (2) pengulangan dari kebiasaan
yang terus berlangsung pada benda-benda menanamkan pada pikiran kita kesan
bahwa mereka akan terus mengikuti sesuatu pola menurut kebiasaan mereka yang
lalu. Karena itu bukanlah alam atau hukum kausalitas yang ditanamkan tuhan
dalam benda-benda, melainkan kebiasaan (adat), ditambah dengan pengetahuan yang
diciptakan berulang kali.
II.
WAHBIYAH
A.
Sejarah
Berdirinya Wahabi
Nama aliran Wahabi diambil dari nama
pendirinya, yaitu Muhammad Bin Abdul Wahab Bin Sulaiman Bin Ali Bin Muhammad Bin
Ahmad Bin Rasyid Bin Barid Bin Muhammad Bin Musyrif Bin Umar. Ia lahir di Najed
Tahun 1111 H/1699 M.
Mulanya Muhammad bin abdul wahab
hidup di lingkungan sunni pengikut mazhab hambali, bahkan ayahnya syaikh abdul
wahab adalah seorang ulama besar pada zamannya, kakeknya sulaiman adalah ulama
besar di najed dan guru-gurunya juga oran g-orang
sunni yang baik. Namun sejak semula ayahnya dan guru-gurunya mempunyai firasat
yang kurang baik tentang dia bahwa dia dikhawatirkan akan berlebihan. Bahkan
mereka menyuruh oran g-orang
untuk berhati-hati terhadapnya. Dalam selang waktu yang tidak lama firasat itu
terbukti, kemudian ayahnya menentang dan memberi peringatan khusus kepadanya,
bahkan kakak kan dungnya
sulaiman bin abdul wahab, ulama besar dari mazhab hambali, menulis buku bantahan
kepadanya dengan judul Al-Sawa’iq Al-Ilahiyah Fi Al-Raddi Ala Al-Wahabiyah.
Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syaihk Muhammad Bin
Sulaiman Al-Kurdhi As-Syafi’i, menulis surat
berisi nasehat : “wahai Ibn Abdul
Wa hab , ak u
menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin,
jika kau dengar seseorang meyakini bahwa oran g
yang ditawassuli bis memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia
kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat
maupun mudharof, kalau dia menentang bolehlah kau anggap kafir, tidak mungkin
kau megkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin,
karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok
terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan
muslimim”
Asal mulanya Muhammad Bin Abdul Wahab
adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari suatu negara ke negara lain,
dan di antara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad ,
Iran , India , dan Syam. Kemudian pada
tahun 1125 H / 1713 M, ia terpengaruh
oleh seorang orientalis Inggris bern ama
Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak
itulah dia menjadi alat bagi Inggris unutk menyebarkan ajaran barunya. Sebagaimana
Inggris telah berhasil mendirikan sekte-sekte di tengah umat Islam seperti
Ahmadiyah dan Bahai. Sejak semula dia juga gemar mempelajari sejarah Nabi-Nabi
palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdab Al-Ansiy, Tula ihah Al-Asadiy, dan lain-lain. Hal ini agaknya
yang menjadi dalah satu faktor pemahamannya yang cenderung kolot.
B.
Paham
Wahabi
Salah satu dari ajaran yang diyakini
oleh Muhammad Bin Abdul Wahab adalah mengkufurkan kaum muslim Sunni yang
mengamalkan tasawuf, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil
akurat yang disampaikan Ahlusunnah
Wa l Jama’ah berkaitan dengan hal
tersebut ditolak tanpa alasan yang jelas. Bahkan lebih dari itu, menurutnya
kaum muslimin sudah syirik sejak 600 tahun silam, termasuk guru-gurunya
sendiri.
Pada satu kesempatan seorang bertanya
kepada Muhammad Bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari
neraka pada bulan Ramadhan ? “ Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah
membebaskan 100 ribu oran g, dan di akhir malam
Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan oran g yang telah dibebaskan dari awal sampai
akhir Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak
mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang
dibebaskan Allah tersebut ? Dari manakah jumlah sebanyak itu ? sedangkan engkau
membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim”. Mendengar perkataan itu
Muhammad Bin Abdul Wahab terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian tidak
menggubris nasehat dari ayahnya dan guru-gurunya.
Kalau seseorang ingin menjadi
pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat dihadapnya kemudian harus
mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua oran g tuanya. Dia juga
harus mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir, kalau mau
mengakui hal tersebut di diterima menjadi pengikutnya, kau tidak dia pun
langsung dibunuh. Ibn Abdul Wahab membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi
di hadapanya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : “Tongkatku ini masih
lebih baik dari Muhammad, karena tongkatku masih bisa digunakan untuk membunuh
ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali.
Dengan berdalih pemurnian ajaran
islam, dia terus menyebarkan ajaranya di sekitar wilayah Najed. Orang yang
minim pengetahuan agamanya banyak yang terpengaruhi. Termasuk dari pengikutnya
adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad Bin Saud (meninggal tahun 1178 H/1765 M)
pendiri Dinasti Saudi, yang kemudian menjadi mertuanya. Dia mendukung penuh dan
memenfaatkanya untuk memperluas wilayah kekuasannya. Ibnu Saud sendiri dangan
patuh pada perintah Muhammad Bin Abdul
Wa hab.
Pada Tahun 1802, mereka menyarang Karabala-Irak,
tempat di kebumikannya cucu Nabi, yaitu Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Karena
makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah SWT.
Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, mengahancurkan kubah yang ada di atas
kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad SAW.
Keberhasilan menaklukan madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada tahun
1806, dan merusak Kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutera.
Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW,
tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna
Siti Khadijah dan Masjid Abdullah Bin Abbas. Kencing di makam Kaum Solihin,
mereka berdalih memurnikan ajaran Islam, karena tempat-tempat keramat menurut
mereka sangat berpontensi menjadikan kaum Muslimin syirik kepada Allah SWT.
Wallahu A’lam.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar