A.
Konsep
Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Baru
Berdasarkan UU No. 2 / 1989 makna
satu-satunya dari “Pendidikan Agama Islam” adalah sebagai salah satu bidang
studi pendidikan yang bersama-sama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan menjadi kurikulum wajib bagi setieap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan ( pasal 39 (2) ). Sedangkan istilah “Pendidikan Islam” tidak dikenal
dengan UU tersebut, karena lembaga pendidikan yang berciri agama, yang di
Indonesia tidak terdapat, baik sekolah maupun luar sekolah, ( termasuk pondok )
harus tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional. Jadi, kalaupun suatu
lembaga pendidikan menjadikan Islam sebagai landasan sistemnya, harus tetap
dalam konteks ke – Indonesiaan yang bentuk konkritnya harus dilengkai dengan
Pendidikan Pancasila.
Memang dalam UU No. 2 / 1989 tidak
terdapat ketentuan bahwa kurikulum pendidikan luar sekolah harus mengikuti
pendidikan sekolah, namun Pancasila dengan P4-nya telah menjadi konsensus
bangsa Indonesia sebagai ideologi dan falsafah hidup, maka secara moral seluruh
satuan pendidikan hendaklah mengacu pada cita-cita nasional, sehingga
keberadaannya akan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ini sesuai dengan UU No. 2 / 1989 pasal 39 (2) : “Isi kurikulum setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila; b)
Pendidikan Agama dan c) Pendidikan Kewarganegaraan”. Sedangkan jalur pendidikan
ada 2 macam : jalur pendidikan
sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah ( pasal 10 ayat 1 ).
Makna lain dari pendidikan Islam
adalah sebagai ilmu, yang umumnya dikembangkan dalam Fakultas Tarbiyah baik
negeri ( IAIN ) maupun swasta, yaitu sebagai “Ilmu Pendidikan Islam” yang
meliputi : Sejarah Pendidikan Islam, Teori Pendidikan Islam dan Filsafat
Pendidikan Islam.
Nomeclatur bagi lembaga pendidikan berciri khas agama Islam yang selama ini
digunakan adalah “Perguruan Agama Islam” sebagaimana terlihat dari nama
instansi yang mengelola lembaga tersebut, yaitu “Direktorat di bawah Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan diundangnya UU No. 2 / 1989,
maka nama itu diubah menjadi “Lembaga Pendidikan Keagamaan” yang bagi Islam
adalah sangat wajar apabila ditambah kata “Islam” di belakangnya. Namun penamaan
ini membawa konsekuensi “penciutan” terhadap maknanya, karena apabila sebelum
adanya undang-undang tersebut yang termasuk ke dalam Perguruan Agama Islam
adalah :
1.
Raudhat
Al-Athafal / Bustan Al-Athfal ( Taman Kanak-Kanak
Islam ), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sebagai
jalur pendidikan formal, dan
2.
Pondok
Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan non formal.
Maka dengan adanya UU No. 2 / 1989
terdapat berbagai perubahan antara lain :
- Kelompok yang pertama di atas
sekarang dinamakan jalur “pendidikan sekolah” kecuali tingkat taman
kanak-kanak yang termasuk ke dalam pendidikan “pra sekolah” sedangkan yang
kedua disebut “jalur pendidikan luar sekolah”.
- Dengan adanya PP. No. 28 / 1990,
No. 29 / 1990 ( sebagai pelaksanaan UU no. 2 / 1989 ) dan dipertegas oleh
Kep. Mendikbud nomor 0487 / U / 1989, No. 054 / U / 1993 dan 0489 / U /
1992, maka keduudkan Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai “SD yang
berciri khas Agama Islam yang diselenggarkaan oleh Departemen Agama”,
demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, masing-masing
sebagai “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) dan Sekolah
Menengah Umum ( SMU ) yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan
oleh Departemen Agama”. Selanjutnya dipertegas lagi, bahwa Madrasah
Ibtidaiyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD
di samping bahan kajian lain yang diberikan berdasarkan ketentuan yang
berlaku” ( Kep. Mendikbud No. 0487 / 1992 pasal 19 ). Demikian juga
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah “wajib memberikan bahan kajian
sekurang-kurangnya sama dengan SLTP dan SMU di samping dengan bahan kajian
lain yang diberikan pada madrasah tersebut” ( Kep. Mendikbud No. 054 / U /
1993 pasal 20 dan Kep. Mendikbud No. 0489 / U / 1992
pasal 20 ).
Dengan demikian, jelas bahwa kini
yang dinamakan “Perguruan Agama Islam” dalam arti tradisional hanya ada satu,
yaitu yang bernama “Pendidikan Keagamaan” dan hanya satu jenjang yaitu
pendidikan menengah. Dan menurut PP No. 29 / 1990 pasal 3 (3) disebutkan : “Pendidikan
Menengah Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan
khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Selanjutnya pasal 4 (3)
menyatakan bahwa penamaan Sekolah Menengah Keagamaan ditetapkan oleh Menteri
Agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekolah semacam itu ada pada waktu
ini adalah Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK ) dengan pertimbangna jam
pelajaran agama : Umum ( 65 % ) dan
Agama ( 35 % ). MAPK ini merupakan pengembangan dari program ilmu-ilmu agama (
jurusan ilmu agama ) pada Madrasah Aliyah dengan perbandingan antara pelajaran
agama dengan umum 98 : 142 atau 41 % : 59 % . Karena tamatan jurusan ini
ternyata kurang berkompeten untuk memasuki IAIN, maka dikembangkan menjadi MAPK
yang dari pengalaman penerimaan para tamatannya ke IAIN Walisongo memang
menujukkan adanya kemampuan yang lebih baik. Jadi dapat kita katakan bahwa MAPK
– lah yang kini merupakan satu-satunya bentuk Sekolah Menengah Keagamaan Islam
yang murni, yang juga terbuka bagi masyarakat untuk mendirikannya. Dan dengan
tidak mentuup kemungkinan para tamatannya untuk memasuki jenjang pendidikan
tinggi umum dengan menempuh ujian akhir Aliyah atau SMU secara individu
diharapkan siswa MAPK ini merupakan sumber daya calon-calon mahasiswa IAIN.
Masalah lain dalam kaitan ini adalah
lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang kini
tidak lain smaa dengan SD, SLTP dan SMU Islam ( atau SD, SLTP dan SMU Dep.
Agama ), sesuai dengan label “berciri khas agama Islam” dituntut untuk
menunjukkan kekhasan cirinya itu. Dalam kaitan ini Direktur Pembinaan Perguruan
Agama Islam Depaq menyatakan bahwa “ciri khas agama Islam ini akan
diformulasikan dalam kegiatan intra dan ekstra kurikuler”. Fomulasi dalam
bentuk intra kurikuler akan berupa penjabaran mata pelajaran pendidikan agama
di SD / SLTP / SMU ke
dalam mata pelajaran-mata pelajaran seperti Al-Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhalk,
Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Waktu yang disediakan diperkirakan akan
lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum madrasah
yang sekarang ( Zamakhsyri Dhofier, 1993 ).
Memang pandangan sepintas memberikan
kesan adanya “dualisme” dalam sistem pendidikan nasional, karena dua lembaga
pendidikan yang hakikatnya sama, dikelola oleh dua departemen yang notabene
sama-sama pemerintah. Namun apabila melihat latar belakagn historis maupun
kultural, khususnya tentang peran lembaga pendidikan Islam, dalam perjalanan
sejarah pendidikan Indonesia, status demikian bagi madrasah-madrasah tersebut
merupakan satu “bentuk kearifan” dari kondisi obyektif di Indonesia saat ini
yang menggambarkan adanya kemajemukan dalam kesatuan ( Bhinneka Tunggal Ika )
dalam sistem pendidikan. Dengan demikian, ide tentang sistem dan sub-sistem
dalam pendidikan di Indonesia tetap terjamin.
Selanjutnya terdapat sedikit
perbedaan orientasi tamatan Madrasah Aliyah dalam melanjutkan pendidikannya ke
pendidikan tinggi dibandingkan sistem
pendidikan Madrasah sebelumnya. Apabila MAPK terutama berorientasi di IAIN, maka tamatan Aliyah
adalah terutama berorientasi ke perguruan tinggi umum, dengan tidak tertutup
kemungkinan ke IAIN tergantung kepada kemampuan individual.
Khusus IAIN, baik UUSPN maupun PP 30
/ 1990 tidak menyebutkan sebagai jenis pendidikan tinggi khusus sebagaimana
Madrasah. Namun, apabila dilihat dari tujuan dan keahlian yang ingin dicapai
oleh pendidikan ini, baik akademik maupun profesional, maka analog dengan
pendidikan mengenah, cukup alasan untuk memasukkan IAIN ke dalam kategori “Pendidikan
Tinggi Keagamaan” yang dikelola oleh Departemen Agama walaupun secara
akademik harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Depdikbud ( UUPSN
pasal 12 dan 19 ). Karena peraturan khusus tentang IAIN belum ada, menurut
hemat penulis, di samping status yang sampai sekarang juga belum keluar, masih
diperlukan adanya peraturan khusus, baik berbentuk PP ataupun Keputusan
Menteri.
Tentang Pondok Pesantren sebagai
jalur pendidikan keagamaan luar sekolah, yang kini berperan sebagai “mitra”
sekolah telah banyak dibahas baik dalam forum pertemuan ilmiah sebagai salah
satu proyek pembangunan bidang agam aoleh Depag, yaitu proyek Pembangunan dan
Bantuan kepada Pondok Pesantren. Lewat proyek ini telah dimasukkan pendidikan
ketrampilan, antara lain penjahitan dan perajutan, administrasi dan manajemen,
pertukangan, pertanian, peternakan, bahkan juga fotografi ( Abdurrahman Saleh,
et.al., 1978 ).
Pondok Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang membuat
Pesantren tetap survise yaitu : semangat percaya diri sendiri, mandiri,
sederhana dan rasa solidaritas ( ukhuwah ) yang tinggi ( H.M. Yusuf
Hasyim, 1987 ). Ciri-ciri yang demikian, pada hakikatnya juga merupakan
ciri-ciri manusia yang diharapkan oleh pendidikan nasional yang diformulasikan
ke dalam konsep “manusia seutuhnya”. Beberapa prinsip lain yang diajukan
Mastuhu ( 1987 ) adalah wisdom ( kearifan ) sebagai tujuan yang akan
dicapai ( meskipun apabila berlebihan dapat menjauhkan santri dari kehiduan
riil ), kebebasan yang terpimpin ( oleh kyai ), self-government ( mengatur diri sendiri
secara kolektif ), hubungan kyai, guru, santri dan masyarakat yang mesra dan
ibadah ( bahwa semua aktivitas di Pondok adalah dalam rangka ibadah kepada
Allah ).
Dari berbagai penelitian dan
pengamatan para pakar, ada ciri khas lain yang menonjol, yaitu peran “kyai”
pemilik / pimpinan pondok dengan kharismanya yang sangat dominan, yang
merupakan unsur utama dan pertama dari suatu Pondok Pesantren. Hal ini karma
otoritas keagamaan yang dimilikinya dan moral yang tinggi sebagai “bapak”,
penasehat dan contoh kepribadian ( uswah khasanah )
dan lebih penting lagi dipercaya sebagai “pewaris Nabi” yang bisa memberikan
barokah kepada sekelilingnya ( Wolfgang Krocer, Abdurrahman Wahid, 1988 ).
Kepemimpinan kharismatis yang
demikian, ternyata bisa menjadi kendala bagi upaya pengembangan suatu pondok,
karena dengan meninggalnya seorang kyai pimpinan pondok, pondok tersebut
mengalami semacam krisis kepemimpinan. Krisis ini akan dapat diatasi apabila
sang kyai mempunyai anak / keturunan yang setaraf dengan kharismanya ( Sudjoko
Prasojo, 1975 ). Atas dasar ini maka diperlukan adanya upaya untuk lebih
menjadikan kepemimpinan pondok lebih bersifat “rasional / demokratis” agar
kesinambungannya lebih terpimpin.
Dalam kaitannya dengan pembangunan
dan pendidikan nasional, maka lembaga pendidikan luar sekolah yang sebagian
besar terletak di pedesaan ini diharpakan mampu berperan sebagai agent of
development khususnya bagi masyarakat pedesaan sebagaimana yang kini telah
banyak ditunjukkan oleh banyak pondok seperti Darul Falah di Jawa Barat,
Pabelan di Jawa Tengah dan An-Nuqayyah di Jawa Timur. Untuk ini sekalipun masih
ada kendala sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dr. Hiroko Horikoshi ( di Jawa
Barat ) terhadap perubahand an mempertahankan kedudukan yang berpengaruh dalam
sistem tradisional. Akan tetapi, menurut Krocher ( 1988 ) bahwa “pesantren
telah menunjukkan penyesuaian mereka dengan perubahan sosial, dengan menerima
inovasi-inovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka
kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa Kuno – dengan
menerima pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan
praktik sebelumnya”. Yang jelas adalah bahwa kini kebanyakan Pesantren telah
membuka madrasah, dari jenjang Ibtidaiyah bahkan sampai Perguruan Tinggi,
sehingga kebanyaka mereka sesungguhnya telah masuk ke dalam pola pendidikan
sekolah. Dan karena materi utamanya adalah ilmu-ilmu agama Islam, akan lebih
mudah untuk mewujudkan pendidikan keagamaan semacam MAPK.
Satu hal lagi yang ada di Pesantren
yaitu bahwa masalah “dikotomi” yang ada di sekolah-sekolah umum ( bahkan juga
di beberapa Madrasah ), tidak kita jumpai di Pesantren yang dapat
mengintegrasikan pelajaran ( agama dan umum ) ke dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Ini juga berakibat terbukanya sistem belajar yang luas dan
fleksibel, karena pada hakikatnya semua aktifitas sehari-hari di Pesantren yang
memacu kehidupan mandiri itu adalah belajar ( Wolfgang Karcher, log.cit ).
Dalam kaitan ini, pimpinan Pondok modern Gontor pernah mengatakan kepada
penulis waktu berkunjung ke sana, bahwa “kurikulum di Pesantren ini 100 % agama
dan 100 % pengetahuan umum”.
Dengan adanya uluran tangan Prof.
Habibie yang menawarkan pemasukan teknologi ke dalam Pondok Pesantren dan
dengan beberapa inovasi yang diperlukan, kiranya potensi Pondok Pesantren dapat
dikembangkan secara optimal.
B.
Konsep
Pendidikan Islam Pada Zaman Reformasi
Pelaksanaan UU Sisdiknas yang baru
ini menjadi “pekerjaan rumah (PR)” bagi umat Islam secara keseluruhan. PP yang
berkaitan dengan UU Sisdiknas tersebut perlu segera dibuat dan diterbitkan.
Materi PP juga jangan sampai menyimpang dari UU tersebut. Jika ada pembelokan
UU Sisdiknas melalui PP, maka hal ini akan menjadi skandal politik. “Masyarakat
bisa menjadi kecewa dan semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah, jika
sampai terjadi penyimpangan UU Sisdiknas lewat PP”, kata Sekretaris Umum (
Sekum ) MUI Pusat Dr. Din Syamsuddin.
Seperti dikemukakan Menag Prof. Dr.
H. Said Agil Husin Al-Munawar saat menghadiri Kongres Nasional Al-Qur'an yang
merupakan rangkaian MTQN XX di Palangkaraya belum lama ini, bahwa pemerintah
saat ini sedang menyiapkan sebanyak 15 PP untuk penjabaran UU Sisdiknas
tersebut. PP dimaksud antara lain mencakup tentang hak dan kewajiban peserta
didik, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dewan pendidikan dan
komite sekolah, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan anak
usia dini, dan pendidikan jarak jauh.
Dalam pembuatan PP ini, umat dan
ormas Islam perlu benar-benar mengawasi. Jangan sampai ada PP yang menyimpang
dari ruh dan substansi UU Sisdiknas. Sebab, meskipun RUU Sisdiknas telah
disahkan, tidak berarti perjuangan umat Islam untuk membangun sistem pendidikan
yang menghargai HAM, bersemangat pluralis, dan sekaligus Islami, telah selesai.
Karena ada kelompok yang tidak terpusatkan dan bisa jadi akan tetap
memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara lain, misalnya melalui
“permainan” PP.
Setelah gagal menolak RUU melalui
berbagai lobi-lobi politik dan aksi unjuk rasa, bisa jadi mereka akan
“mengincar” PP sebagai jalan untuk mengamankan kepentingan mereka. Apalagi
FPDI-P, fraksi partai yang sedang berkuasa saat rapat pengesahan UU Sisdiknas
sengaja tidak mau hadir. Hal itu menunjukkan fraksi itu seakan menunjukkan
tidak mau bertanggung jawab atas implikasi dari UU Sisdiknas. Karena itu, tidak
berlebihan jika ada yang mengingatkan agar umat dan ormas Islam mengamati
dengan cermat proses pembuatan PP tersebut. Dikhawatirkan akan ada
tangan-tangan jahil yang akan menyimpangkan substansi UU Sisdiknas melalui PP.
Sebab, jika PP tersebut menyimpang dari substasi UU Sisdiknas, akan sia-sialah
upaya keras umat Islam dalam mendukung UU tersebut.
Dalam bahasa mantan Ketua Panja RUU
Sisdiknas Prof. Anwar Arifin, penentangan terhadap RUU Sisdiknas sebenarnya
bukan pada tatanan konseptual
( UU ), tetapi lebih pada pelaksanaannya, dan ini adalah wilayah PP.
Atas pertimbangan itu, sehingga
persetujuan DPR terhadap RUU Sisdiknas menjadi UU sebenarnya baru merupakan
langkah awal untuk membenahi sistem pendidikan nasional yang dewasa ini tidak
mampu lagi menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Selain masalah PP, yang perlu
dilakukan lagi adalah sosialisasi UU Sisdiknas itu sendiri. Hal ini dimaksudkan
agar masyarakat mengetahui isi pasal-pasa demi pasal krusialnya, misalnya pasa
12 ayat (1) huruf a tentang pelaksanaan pengajaran agama di sekolah. Jika pasa
ini masih dilanggar seperti yang banyak terjadi selama ini maka masyarakat
layak melaporkannya ke instansi yang berwenang, terutama menyangkut pelaksanaan
Pasal 12 ayat (1) huruf a. Meskipun, dalam UU Sisdiknas itu sendiri tidak ada
pasal sanksinya.
Sebagaimana diketahui, bunyi pasal 12
ayat (1) itu adalah “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama”.
Semangat yang dipesankan dalam pasal
dan ayat tersebut sebenarnya hanya menginginkan pelurusan pengajaran agama pada
jalur yang benar. Dengan kata lain, pendidikan agama harus dilakukan sesuai
dengan komposisi agama peserta didik. Siswa muslim sangat pantas memperoleh
pendidikan agama Islam, siswa Kristen mendapatkan pendidikan agama Kristen,
murid Hindu memperoleh pendidikan agama Hindu dan seterusnya. Di sinilah
sebenarnya suara pluralisme dinyatakan dengan jelas, yakni pengakuan keragaman
agama peserta didik dan mendorong mereka memperoleh pengetahuan agamanya. Bagi
peserta didik kalangan non muslim, memang hal itu tidak banyak pengaruhnya
karena mereka relatif telah memperoleh haknya. Sebagai contoh, sekolah-sekolah
Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur dan Perguruan Madania di Jakarta dan Bogor
menyediakan guru-guru agama Kristen bagi murid-muridnya yang beragama Kristen (
HM Nur Asyik, Republika, 02 Juni 2003 ), demikian pula di sekolah-sekolah negeri.
Lain halnya dengan peserta didik
dari kalangan muslim, selama ini mereka selalu dirugikan jika bersekolah di
lembaga-lembaga pendidikan non muslim. Di lembaga-lembaga tersebut, para
peserta didik muslim diwajibkan mengikuti pelajaran agama yang disediakan
lembaga tanpa memperdulikan agama mereka. Padahal selama ini tidak pernah ada
perlawanan dari kaum muslim. Sudah saatnya anak didik muslim memperoleh
pengajaran agama yang benar setelah sekian puluh tahun mereka yang sekolah di
lembaga-lembaga swasta non muslim kehilangan kesempatan “mengenal” agamanya.
C. Dampak Konsep Yang Dihasilkan Oleh Kedua Zaman
Apabila kita berbicara mengenai
pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah.
Menurut para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous
adalah pesantren yang telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak
zaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan
pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang
masuk ke Indonesia sejalan
dengan arus modernisasi Islam. Pesantren yang mempunyai pengertian archaic,
juga mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan
mungkin pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan nuansa
agama. Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara penyampaian ilmu maupun
agama secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai kesamaan yaitu
telah tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan
karena pengaruh historis. Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung
bersifat tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana
yang kita lihat di dalam perkembangan pesantren modern seperti Pesantren
Tebuireng.
Pesantren dan madrasah adalah milik
kebudayaan Indonesia. Dan oleh karena pendidikan adalah sebenarnya merupakan
gagasan kebudayaan, maka mendidik berarti pula menggagas kebudayaan masa depan.
Di sinilah letaknya arti pesantren di dalam membangun kebudayaan masa depan.
Seperti Malik Fadjar mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu
kesatuand ari gejolak magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang
menerjang dari luar. Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari kedua
gelombang peradaban ini. pendidikan pesantren akan survise dan menjadi
pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka terhadap
gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang
merupakan kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah.
1. Kekuatan Pendidikan Islam
: Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat
Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang
demokratisasi di dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan
hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang
apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan
diri sendiri. Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan
dalam suatu masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat
demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang
memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya pengelolaan pesantren banyak
ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa
kehidupan pesantren telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang
memilikinya.
Apabila dewasa ini kita berbicara
mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola
oleh masyarakat ( community
– based management ( CBM ) maka pesantren merupakan model archaic
dari pendidikan tersebut. Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu
diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada
akhirnya community – based management dari pendidikan akan bermuara
kepada manajemen sekolah ( school – based management ( SBM ) atau
manajemen madrasah yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah
pengelolaan yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para
pengelolanya baik kepala sekolahnya maupun para gurunya di dalam melaksanakan
misi sekolah. Tentunya manajemen pendidikan CBM dan SBM menuntut para pengelola
yang mempunyai pandangan yang luas serta menguasai teknik-teknik manajemen
modern, termasuk manajemen sekolah.
2. Kelemahan :
Cenderung Kepada Ortodoksi
Apabila kita teliti kekuatan dari
pendidikan pesantren dan madrasah justru disitulah pula terletak kelemahannya.
Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah
terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa
pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada
keunikannya bahwa pesantren dan madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat
sendiri. Di dalam
pertumbuhannya tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri di tengah-tengah masyarakat
yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada
di dalam kondisi yang serba sulit. Keadaan ini pula yang telah melahirkan suatu
defense mechanism untuk mengungkung diri dari pengaruh luar. Kecurigaan
yang berlebihan menyebabkan isolasi dan menolak perubahan. Isolasionisme ini
juga diperkuat lagi dengan sifat keragaman dari pendidikan pesantren dan
madrasah. Pengelolaan pesantren dan madrasah yang berorientasi kepada
masyarakat telah melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk
dicarikan standar untuk meningkatkan mutu. Di dalam menghadapi tuntutan dunia
modern karena standar-standar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan
pesantren dan madrasah perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan
meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut di dalam kehidupan global
yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan
kelemahan dari sistem pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat
kita generalisasikan. Sebagai ilustrasi bagaimana lahir dan berkembangnya
Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang di tengah-tengah kemajuan teknologi
di sekitar pabrik gula di desa Cukir sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan
ilmu dan teknologi, Pondok Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap
nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan pesantren.
Ternyata kekutan pesantren dapat dilestarikan apabila di kelola dengan
cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif terhadap tuntutan perubahan.
Setelah kita lihat apa yang merupakan
visi pendidikan Islam dan kemudian dituangkan dalam misi yaitu program-program
dan kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan visi tersebut, langkah selanjutnya ialah
penyusunan program aksi di dalam suatu rencana yang matang dan fleksibel untuk
dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu secara bertahap. Pada tahap
pelaksanaan inilah terdapat berbagai kendala dan masalah-masalah konkret yang
perlu diatasi. Tidak jarang perencanaan yang telah matang disusun harus
mengalami penyesuaian-penyesuaian di lapangan karena kondisi sosial budaya,
politik, ekonomi, kepemimpinan, dan partisipasi masyarakat yang berbagai ragam.
Salah satu komponen dari pelaksanaan yang berhasil ialah pengelolaan.
Pengelolaan pada dasarnya berarti bagamana menjaga, mengarahkan, mengevaluasi,
dan menyesuaikan rencana-rencana yang telah disusun rapi agar visi dan misi
yang telah ditetapkan dapat dicapai secara bertahap. Pengelolaan pendidikan
Islam menjadi lebih kompleks oleh sebab dia bukan hanya berkenaan dengan
masalah-masalah intern kelembagaan dan kepemimpinan pendidikan Islam, juga
seperti yang telah diuraikan dia mengadapi berbagai masalah dualisme dan
dikotomi pendidikan dalam kaitan dengan pembinaan sistem pendidikan nasional,
dan sekaligus menghadapi gelombang perubahan globalisasi.
Sesuai dengan permasalahannya,
menurut pendapat penulis pengelolaan pendidikan Islam meliputi empat bidang
prioritas yaitu :
1)
Peningkatan
kualitas,
2)
Pengembangan
invonasi dan kreativitas,
3)
Membangun
jaringan kerja sama ( networking ), dan
4)
Pelaksanaan
otonomi daerah.
a. Meningkatkan
Kualitas
Di dalam berbagai survei dan
penelitian mengenai pendidikan Islam jelas menunjukkan suatu “gap” yang
sangat lebar antara lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi seperti
SMU Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasab Ibtidaiyah di Malang dibandingkan
dengan tingkat kualitas beberapa madrasah lainnya yang tersebar di
daerah-daerah. Di dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam
diperlukan berbagai usaha dan persiapan tenaga-tenaga yang berkuailtas sampai
kepada penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Di dalam pemanfaatan
sumber-sumber daya pendidikan tersebut diperlukan pengelolaan yag baik agar
dengan sumber-sumber yang terbatas itu dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas
secara optimal.
Terbitnya SKB 3 Menteri yang terkenal
bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam khususnya untuk bidang non-agama. Di dalam usaha untuk
peningkatan komponen pendidikan non-agama perlu selalu dicermati agar kita
tidak jauh dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lainnya. Diperlukan suatu
pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri khas
pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta
oleh perubahan zaman.
b.
Mengembangkan
Inovasi dan Kreativitas
Dengan adanya kecenderungan untuk
memanfaatkan kekuatan pendidikan Islam yang berbasis pada masyarakat, maka
terdapat suatu ruangan yang terbuka bagi pengembangan inovasi dan kreativitas.
Sebenarnya pengembangan kedua komponen tersebut telah merupakan bagian dari
pendidikan pendidikan dan pesantren. Community – based education management
dalam pendidikan Islam bukanlah suatu hal yang baru. Yang baru mungkin berupa
penyesuaian kembali asas-asas pengelolaan yang lebih berdimensi keluar dan
berdimensi global.
Di dalam hal ini diperlukan suatu
kerja sama yang erat antara lembaga pendidikan dengan masyarakat yang
menggunakan pemimpin-pemimpin in-formal untuk menggerakkan masyarakat ke arah
visi yang modern. School – based management yang dikenal di dalam sistem
pendidikan pesantren maupun madrasah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi para pengelola serta para guru untuk mengembangkan kemampuan inovasinya
serta kreativitasnya. Coba kita lihat misalnya masalah akreditasi yang kini
ditentukan dari atas seharusnya muncul dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Gontor atau Tebuireng tidak
memerlukan akreditasi seperti yang kita kenal dewasa ini. Ada atau tidaknya akreditasi
kedua pondok pesantren yang sangat progresif tersebut dengan sendirinya
memperoleh akreditasi dari masyarakat. Inilah sistem akreditasi yang
sebenarnya.
c.
Membangun
Jaringan ( Networking )
Telah kita lihat betapa pendidikan Islam mempunyai profil yang
sangat beragam dengan berbagai tingkat mutu serta kekuatannya masing-masing.
Boleh dikatakan masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri
sendiri-sendiri. memang ada usaha atau kecenderungan masyarakat untuk
menegerikan madrasah yang ada. Menurut pendapat penulis kecenderungan tersebut
merupakan suatu langkah mundur. Dengan adanya keinginan masyarakat untuk
menegerikan madrasah-madrasah swasta berarti mereka melepaskan otonomi lembaga
pendidikannya meskipun penegerian madrasah-madrasah tersebut bukan berarti
suatu yang negatif. Barang kali yang dibutuhkan ialah perlunya dibangun suatu
jaringan kerja sama yang lebih baik antara madrasah-madrasah, baik yang
dikelola oleh negara maupun oleh swasta.
Dewasa ini telah selesai diadakan
pemetaan sekolah ( school mapping ) yang akan sangat berguna bagi usaha
peningkatan mutu pendidikan madrasah. Dengan networking tersebut juga
dapat dibangun suatu educational management information system ( EMIS )
yang akan sangat berguna di dalam pengelolaan termasuk pemanfaatan
sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut dapat dimanfaatkan secara
optimal. Di dalam kaitan ini pula perlu dibangun suatu kerja sama dengan
pendidikan tinggi ( universitas / IAIN ) di daerah agar antara pendidikan
tinggi, menengah, dan dasar terdapat suatu kerja sama yang saling menguntugnkan
demi untuk pembangunan daerah. Di dalam kaitan ini barang kali dapat mengambil
pengalaman dari pelaksanaan Land-grant College di Amerika Serikat.
d.
Otonomi
Daerah : UU No. 22 Tahun 1999
Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 kepengurusan pendidikan dan kebudayaan diserahkan kepada daerah bahkan
kepada kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang snagat jauh di dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih dekat kepada kebutuhan masyarakat dan daerah.
Pendidikan Islam yang telah dilaksanakan melalui pondok-pondok pesantren dan
madrasah adalah sebenarnya merupakan pelaksanaan otonomi pendidikan. Oleh sebab
itu sudah tiba masa bagi kita untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan
pengalaman-pengalaman pengelolaan otonomi pendidikan sebagaimana yang telah
dilaksanakan di pondok-pondok pesantren dan madrasah. Kajian mengenai
pengalaman-pengalaman tersebut bukan hanya bermanfaat bagi pengembangan
pendidikan Islam tetapi juga bagi pengembangan pendidikan nasional yang lebih
merakyat.
Dengan uraian di atas, makin jelas
kepada kita betapa relevansinya pengalaman pengelolaan pendidikan Islam di
dalam menghadapi perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat dengan
demokratisasi pendidikan nasional. Proses demokratisasi ini yang merupakan
salah satu unsur penting di dalam reformasi total kehidupan berbangsa dan
bernegara kita, ternyata sudah kita mulai secara lebih mendasar di dalam sistem
pendidikan kita khususnya di dalam pendidikan Islam yang telah mempunyai
pengalaman dalam pelaksanaannya.
Di dalam kaitan ini pendidikan Islam
merupakan ujung tombak dari usaha reformasi pengelolaan pendidikan nasional
yaitu mengembalikan kepedulian masyarakat terhadap pendidikannya. Selama ini
pendidikan nasional telah mencabut dari akarnya ialah kehilangan peran serta
masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pendidikan nasional kini
cenderung kepada pembentukan kemampuan intelektual semata-mata dan kehilangan
orientasi kepada pembentukan mental dan emosional. Visi pendidikan nasional di
dalam era reformasi ialah membagnun manusia Indonesia yang utuh yaitu yang
bertakwa, bermoral dan inovatif di dalam membangun masyarakatnya sendiri. Untuk
pelaksanaannya di perlukan pengelola-pengelola pendidikan yang menghayati visi
dan misi serta mempunyai kemampuan untuk mengelola sistem pendidikan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar