Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

PERKEMBANGAN ISLAM MASA ORBA


A.    Konsep Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Baru

Berdasarkan UU No. 2 / 1989 makna satu-satunya dari “Pendidikan Agama Islam” adalah sebagai salah satu bidang studi pendidikan yang bersama-sama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi kurikulum wajib bagi setieap jenis, jalur dan jenjang pendidikan ( pasal 39 (2) ). Sedangkan istilah “Pendidikan Islam” tidak dikenal dengan UU tersebut, karena lembaga pendidikan yang berciri agama, yang di Indonesia tidak terdapat, baik sekolah maupun luar sekolah, ( termasuk pondok ) harus tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional. Jadi, kalaupun suatu lembaga pendidikan menjadikan Islam sebagai landasan sistemnya, harus tetap dalam konteks ke – Indonesiaan yang bentuk konkritnya harus dilengkai dengan Pendidikan Pancasila.
Memang dalam UU No. 2 / 1989 tidak terdapat ketentuan bahwa kurikulum pendidikan luar sekolah harus mengikuti pendidikan sekolah, namun Pancasila dengan P4-nya telah menjadi konsensus bangsa Indonesia sebagai ideologi dan falsafah hidup, maka secara moral seluruh satuan pendidikan hendaklah mengacu pada cita-cita nasional, sehingga keberadaannya akan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sesuai dengan UU No. 2 / 1989 pasal 39 (2) : “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila; b) Pendidikan Agama dan c) Pendidikan Kewarganegaraan”. Sedangkan jalur pendidikan ada            2 macam : jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah ( pasal 10 ayat 1 ).
Makna lain dari pendidikan Islam adalah sebagai ilmu, yang umumnya dikembangkan dalam Fakultas Tarbiyah baik negeri ( IAIN ) maupun swasta, yaitu sebagai “Ilmu Pendidikan Islam” yang meliputi : Sejarah Pendidikan Islam, Teori Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam.
Nomeclatur bagi lembaga pendidikan berciri khas agama Islam yang selama ini digunakan adalah “Perguruan Agama Islam” sebagaimana terlihat dari nama instansi yang mengelola lembaga tersebut, yaitu “Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan diundangnya UU No. 2 / 1989, maka nama itu diubah menjadi “Lembaga Pendidikan Keagamaan” yang bagi Islam adalah sangat wajar apabila ditambah kata “Islam” di belakangnya. Namun penamaan ini membawa konsekuensi “penciutan” terhadap maknanya, karena apabila sebelum adanya undang-undang tersebut yang termasuk ke dalam Perguruan Agama Islam adalah :
1.      Raudhat Al-Athafal / Bustan Al-Athfal ( Taman Kanak-Kanak Islam ), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sebagai jalur pendidikan formal, dan
2.      Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan non formal.
Maka dengan adanya UU No. 2 / 1989 terdapat berbagai perubahan antara lain :
  1. Kelompok yang pertama di atas sekarang dinamakan jalur “pendidikan sekolah” kecuali tingkat taman kanak-kanak yang termasuk ke dalam pendidikan “pra sekolah” sedangkan yang kedua disebut “jalur pendidikan luar sekolah”.
  2. Dengan adanya PP. No. 28 / 1990, No. 29 / 1990 ( sebagai pelaksanaan UU no. 2 / 1989 ) dan dipertegas oleh Kep. Mendikbud nomor 0487 / U / 1989, No. 054 / U / 1993 dan 0489 / U / 1992, maka keduudkan Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai “SD yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarkaan oleh Departemen Agama”, demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, masing-masing sebagai “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) dan Sekolah Menengah Umum ( SMU ) yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama”. Selanjutnya dipertegas lagi, bahwa Madrasah Ibtidaiyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD di samping bahan kajian lain yang diberikan berdasarkan ketentuan yang berlaku” ( Kep. Mendikbud No. 0487 / 1992 pasal 19 ). Demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah “wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SLTP dan SMU di samping dengan bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut” ( Kep. Mendikbud No. 054 / U / 1993 pasal 20 dan Kep. Mendikbud                  No. 0489 / U / 1992 pasal 20 ).
Dengan demikian, jelas bahwa kini yang dinamakan “Perguruan Agama Islam” dalam arti tradisional hanya ada satu, yaitu yang bernama “Pendidikan Keagamaan” dan hanya satu jenjang yaitu pendidikan menengah. Dan menurut PP No. 29 / 1990 pasal 3 (3) disebutkan : “Pendidikan Menengah Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Selanjutnya pasal 4 (3) menyatakan bahwa penamaan Sekolah Menengah Keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekolah semacam itu ada pada waktu ini adalah Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK ) dengan pertimbangna jam pelajaran agama : Umum      ( 65 % ) dan Agama ( 35 % ). MAPK ini merupakan pengembangan dari program ilmu-ilmu agama ( jurusan ilmu agama ) pada Madrasah Aliyah dengan perbandingan antara pelajaran agama dengan umum 98 : 142 atau 41 % : 59 % . Karena tamatan jurusan ini ternyata kurang berkompeten untuk memasuki IAIN, maka dikembangkan menjadi MAPK yang dari pengalaman penerimaan para tamatannya ke IAIN Walisongo memang menujukkan adanya kemampuan yang lebih baik. Jadi dapat kita katakan bahwa MAPK – lah yang kini merupakan satu-satunya bentuk Sekolah Menengah Keagamaan Islam yang murni, yang juga terbuka bagi masyarakat untuk mendirikannya. Dan dengan tidak mentuup kemungkinan para tamatannya untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi umum dengan menempuh ujian akhir Aliyah atau SMU secara individu diharapkan siswa MAPK ini merupakan sumber daya calon-calon mahasiswa IAIN.
Masalah lain dalam kaitan ini adalah lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang kini tidak lain smaa dengan SD, SLTP dan SMU Islam ( atau SD, SLTP dan SMU Dep. Agama ), sesuai dengan label “berciri khas agama Islam” dituntut untuk menunjukkan kekhasan cirinya itu. Dalam kaitan ini Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Depaq menyatakan bahwa “ciri khas agama Islam ini akan diformulasikan dalam kegiatan intra dan ekstra kurikuler”. Fomulasi dalam bentuk intra kurikuler akan berupa penjabaran mata pelajaran pendidikan agama di SD / SLTP / SMU                ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran seperti Al-Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhalk, Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Waktu yang disediakan diperkirakan akan lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum madrasah yang sekarang ( Zamakhsyri Dhofier, 1993 ).
Memang pandangan sepintas memberikan kesan adanya “dualisme” dalam sistem pendidikan nasional, karena dua lembaga pendidikan yang hakikatnya sama, dikelola oleh dua departemen yang notabene sama-sama pemerintah. Namun apabila melihat latar belakagn historis maupun kultural, khususnya tentang peran lembaga pendidikan Islam, dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia, status demikian bagi madrasah-madrasah tersebut merupakan satu “bentuk kearifan” dari kondisi obyektif di Indonesia saat ini yang menggambarkan adanya kemajemukan dalam kesatuan ( Bhinneka Tunggal Ika ) dalam sistem pendidikan. Dengan demikian, ide tentang sistem dan sub-sistem dalam pendidikan di Indonesia tetap terjamin.
Selanjutnya terdapat sedikit perbedaan orientasi tamatan Madrasah Aliyah dalam melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi  dibandingkan sistem pendidikan Madrasah sebelumnya. Apabila MAPK terutama berorientasi                   di IAIN, maka tamatan Aliyah adalah terutama berorientasi ke perguruan tinggi umum, dengan tidak tertutup kemungkinan ke IAIN tergantung kepada kemampuan individual.
Khusus IAIN, baik UUSPN maupun PP 30 / 1990 tidak menyebutkan sebagai jenis pendidikan tinggi khusus sebagaimana Madrasah. Namun, apabila dilihat dari tujuan dan keahlian yang ingin dicapai oleh pendidikan ini, baik akademik maupun profesional, maka analog dengan pendidikan mengenah, cukup alasan untuk memasukkan IAIN ke dalam kategori “Pendidikan Tinggi Keagamaan” yang dikelola oleh Departemen Agama walaupun secara akademik harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Depdikbud ( UUPSN pasal 12 dan 19 ). Karena peraturan khusus tentang IAIN belum ada, menurut hemat penulis, di samping status yang sampai sekarang juga belum keluar, masih diperlukan adanya peraturan khusus, baik berbentuk PP ataupun Keputusan Menteri.
Tentang Pondok Pesantren sebagai jalur pendidikan keagamaan luar sekolah, yang kini berperan sebagai “mitra” sekolah telah banyak dibahas baik dalam forum pertemuan ilmiah sebagai salah satu proyek pembangunan bidang agam aoleh Depag, yaitu proyek Pembangunan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren. Lewat proyek ini telah dimasukkan pendidikan ketrampilan, antara lain penjahitan dan perajutan, administrasi dan manajemen, pertukangan, pertanian, peternakan, bahkan juga fotografi ( Abdurrahman Saleh, et.al., 1978 ).
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang membuat Pesantren tetap survise yaitu : semangat percaya diri sendiri, mandiri, sederhana dan rasa solidaritas ( ukhuwah ) yang tinggi ( H.M. Yusuf Hasyim, 1987 ). Ciri-ciri yang demikian, pada hakikatnya juga merupakan ciri-ciri manusia yang diharapkan oleh pendidikan nasional yang diformulasikan ke dalam konsep “manusia seutuhnya”. Beberapa prinsip lain yang diajukan Mastuhu ( 1987 ) adalah wisdom ( kearifan ) sebagai tujuan yang akan dicapai ( meskipun apabila berlebihan dapat menjauhkan santri dari kehiduan riil ), kebebasan yang terpimpin ( oleh kyai ), self-government                   ( mengatur diri sendiri secara kolektif ), hubungan kyai, guru, santri dan masyarakat yang mesra dan ibadah ( bahwa semua aktivitas di Pondok adalah dalam rangka ibadah kepada Allah ).
Dari berbagai penelitian dan pengamatan para pakar, ada ciri khas lain yang menonjol, yaitu peran “kyai” pemilik / pimpinan pondok dengan kharismanya yang sangat dominan, yang merupakan unsur utama dan pertama dari suatu Pondok Pesantren. Hal ini karma otoritas keagamaan yang dimilikinya dan moral yang tinggi sebagai “bapak”, penasehat dan contoh kepribadian                    ( uswah khasanah ) dan lebih penting lagi dipercaya sebagai “pewaris Nabi” yang bisa memberikan barokah kepada sekelilingnya ( Wolfgang Krocer, Abdurrahman Wahid, 1988 ).
Kepemimpinan kharismatis yang demikian, ternyata bisa menjadi kendala bagi upaya pengembangan suatu pondok, karena dengan meninggalnya seorang kyai pimpinan pondok, pondok tersebut mengalami semacam krisis kepemimpinan. Krisis ini akan dapat diatasi apabila sang kyai mempunyai anak / keturunan yang setaraf dengan kharismanya ( Sudjoko Prasojo, 1975 ). Atas dasar ini maka diperlukan adanya upaya untuk lebih menjadikan kepemimpinan pondok lebih bersifat “rasional / demokratis” agar kesinambungannya lebih terpimpin.
Dalam kaitannya dengan pembangunan dan pendidikan nasional, maka lembaga pendidikan luar sekolah yang sebagian besar terletak di pedesaan ini diharpakan mampu berperan sebagai agent of development khususnya bagi masyarakat pedesaan sebagaimana yang kini telah banyak ditunjukkan oleh banyak pondok seperti Darul Falah di Jawa Barat, Pabelan di Jawa Tengah dan An-Nuqayyah di Jawa Timur. Untuk ini sekalipun masih ada kendala sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dr. Hiroko Horikoshi ( di Jawa Barat ) terhadap perubahand an mempertahankan kedudukan yang berpengaruh dalam sistem tradisional. Akan tetapi, menurut Krocher ( 1988 ) bahwa “pesantren telah menunjukkan penyesuaian mereka dengan perubahan sosial, dengan menerima inovasi-inovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa Kuno – dengan menerima pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan praktik sebelumnya”. Yang jelas adalah bahwa kini kebanyakan Pesantren telah membuka madrasah, dari jenjang Ibtidaiyah bahkan sampai Perguruan Tinggi, sehingga kebanyaka mereka sesungguhnya telah masuk ke dalam pola pendidikan sekolah. Dan karena materi utamanya adalah ilmu-ilmu agama Islam, akan lebih mudah untuk mewujudkan pendidikan keagamaan semacam MAPK.
Satu hal lagi yang ada di Pesantren yaitu bahwa masalah “dikotomi” yang ada di sekolah-sekolah umum ( bahkan juga di beberapa Madrasah ), tidak kita jumpai di Pesantren yang dapat mengintegrasikan pelajaran ( agama dan umum ) ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga berakibat terbukanya sistem belajar yang luas dan fleksibel, karena pada hakikatnya semua aktifitas               sehari-hari di Pesantren yang memacu kehidupan mandiri itu adalah belajar ( Wolfgang Karcher, log.cit ). Dalam kaitan ini, pimpinan Pondok modern Gontor pernah mengatakan kepada penulis waktu berkunjung ke sana, bahwa “kurikulum di Pesantren ini 100 % agama dan 100 % pengetahuan umum”.
Dengan adanya uluran tangan Prof. Habibie yang menawarkan pemasukan teknologi ke dalam Pondok Pesantren dan dengan beberapa inovasi yang diperlukan, kiranya potensi Pondok Pesantren dapat dikembangkan secara optimal.

B.     Konsep Pendidikan Islam Pada Zaman Reformasi

Pelaksanaan UU Sisdiknas yang baru ini menjadi “pekerjaan rumah (PR)” bagi umat Islam secara keseluruhan. PP yang berkaitan dengan UU Sisdiknas tersebut perlu segera dibuat dan diterbitkan. Materi PP juga jangan sampai menyimpang dari UU tersebut. Jika ada pembelokan UU Sisdiknas melalui PP, maka hal ini akan menjadi skandal politik. “Masyarakat bisa menjadi kecewa dan semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah, jika sampai terjadi penyimpangan UU Sisdiknas lewat PP”, kata Sekretaris Umum ( Sekum ) MUI Pusat Dr. Din Syamsuddin.
Seperti dikemukakan Menag Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar saat menghadiri Kongres Nasional Al-Qur'an yang merupakan rangkaian MTQN XX di Palangkaraya belum lama ini, bahwa pemerintah saat ini sedang menyiapkan sebanyak 15 PP untuk penjabaran UU Sisdiknas tersebut. PP dimaksud antara lain mencakup tentang hak dan kewajiban peserta didik, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dewan pendidikan dan komite sekolah, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan jarak jauh.
Dalam pembuatan PP ini, umat dan ormas Islam perlu benar-benar mengawasi. Jangan sampai ada PP yang menyimpang dari ruh dan substansi UU Sisdiknas. Sebab, meskipun RUU Sisdiknas telah disahkan, tidak berarti perjuangan umat Islam untuk membangun sistem pendidikan yang menghargai HAM, bersemangat pluralis, dan sekaligus Islami, telah selesai. Karena ada kelompok yang tidak terpusatkan dan bisa jadi akan tetap memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara lain, misalnya melalui “permainan” PP.
Setelah gagal menolak RUU melalui berbagai lobi-lobi politik dan aksi unjuk rasa, bisa jadi mereka akan “mengincar” PP sebagai jalan untuk mengamankan kepentingan mereka. Apalagi FPDI-P, fraksi partai yang sedang berkuasa saat rapat pengesahan UU Sisdiknas sengaja tidak mau hadir. Hal itu menunjukkan fraksi itu seakan menunjukkan tidak mau bertanggung jawab atas implikasi dari UU Sisdiknas. Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengingatkan agar umat dan ormas Islam mengamati dengan cermat proses pembuatan PP tersebut. Dikhawatirkan akan ada tangan-tangan jahil yang akan menyimpangkan substansi UU Sisdiknas melalui PP. Sebab, jika PP tersebut menyimpang dari substasi UU Sisdiknas, akan sia-sialah upaya keras umat Islam dalam mendukung UU tersebut.
Dalam bahasa mantan Ketua Panja RUU Sisdiknas Prof. Anwar Arifin, penentangan terhadap RUU Sisdiknas sebenarnya bukan pada tatanan konseptual            ( UU ), tetapi lebih pada pelaksanaannya, dan ini adalah wilayah PP.
Atas pertimbangan itu, sehingga persetujuan DPR terhadap RUU Sisdiknas menjadi UU sebenarnya baru merupakan langkah awal untuk membenahi sistem pendidikan nasional yang dewasa ini tidak mampu lagi menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Selain masalah PP, yang perlu dilakukan lagi adalah sosialisasi UU Sisdiknas itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui isi pasal-pasa demi pasal krusialnya, misalnya pasa 12 ayat (1) huruf a tentang pelaksanaan pengajaran agama di sekolah. Jika pasa ini masih dilanggar seperti yang banyak terjadi selama ini maka masyarakat layak melaporkannya ke instansi yang berwenang, terutama menyangkut pelaksanaan Pasal 12 ayat (1) huruf a. Meskipun, dalam UU Sisdiknas itu sendiri tidak ada pasal sanksinya.
Sebagaimana diketahui, bunyi pasal 12 ayat (1) itu adalah “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Semangat yang dipesankan dalam pasal dan ayat tersebut sebenarnya hanya menginginkan pelurusan pengajaran agama pada jalur yang benar. Dengan kata lain, pendidikan agama harus dilakukan sesuai dengan komposisi agama peserta didik. Siswa muslim sangat pantas memperoleh pendidikan agama Islam, siswa Kristen mendapatkan pendidikan agama Kristen, murid Hindu memperoleh pendidikan agama Hindu dan seterusnya. Di sinilah sebenarnya suara pluralisme dinyatakan dengan jelas, yakni pengakuan keragaman agama peserta didik dan mendorong mereka memperoleh pengetahuan agamanya. Bagi peserta didik kalangan non muslim, memang hal itu tidak banyak pengaruhnya karena mereka relatif telah memperoleh haknya. Sebagai contoh, sekolah-sekolah Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur dan Perguruan Madania di Jakarta dan Bogor menyediakan guru-guru agama Kristen bagi murid-muridnya yang beragama Kristen ( HM Nur Asyik, Republika, 02 Juni 2003 ), demikian pula              di sekolah-sekolah negeri.
Lain halnya dengan peserta didik dari kalangan muslim, selama ini mereka selalu dirugikan jika bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan non muslim. Di lembaga-lembaga tersebut, para peserta didik muslim diwajibkan mengikuti pelajaran agama yang disediakan lembaga tanpa memperdulikan agama mereka. Padahal selama ini tidak pernah ada perlawanan dari kaum muslim. Sudah saatnya anak didik muslim memperoleh pengajaran agama yang benar setelah sekian puluh tahun mereka yang sekolah di lembaga-lembaga swasta non muslim kehilangan kesempatan “mengenal” agamanya.

C.  Dampak Konsep Yang Dihasilkan Oleh Kedua Zaman

Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous adalah pesantren yang telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk                ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam. Pesantren yang mempunyai pengertian archaic, juga mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan nuansa agama. Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara penyampaian ilmu maupun agama secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai kesamaan yaitu telah tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan karena pengaruh historis. Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung bersifat tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana yang kita lihat di dalam perkembangan pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng.
Pesantren dan madrasah adalah milik kebudayaan Indonesia. Dan oleh karena pendidikan adalah sebenarnya merupakan gagasan kebudayaan, maka mendidik berarti pula menggagas kebudayaan masa depan. Di sinilah letaknya arti pesantren di dalam membangun kebudayaan masa depan. Seperti Malik Fadjar mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu kesatuand ari gejolak magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar. Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari kedua gelombang peradaban ini. pendidikan pesantren akan survise dan menjadi pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka terhadap gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang merupakan kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah.

 

1.   Kekuatan Pendidikan Islam : Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat

Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.
Apabila dewasa ini kita berbicara mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat                ( community – based management ( CBM ) maka pesantren merupakan model archaic dari pendidikan tersebut. Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada akhirnya community – based management dari pendidikan akan bermuara kepada manajemen sekolah ( school – based management ( SBM ) atau manajemen madrasah yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah pengelolaan yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para pengelolanya baik kepala sekolahnya maupun para gurunya di dalam melaksanakan misi sekolah. Tentunya manajemen pendidikan CBM dan SBM menuntut para pengelola yang mempunyai pandangan yang luas serta menguasai teknik-teknik manajemen modern, termasuk manajemen sekolah.

2.   Kelemahan : Cenderung Kepada Ortodoksi

Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan madrasah justru disitulah pula terletak kelemahannya. Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri.                   Di dalam pertumbuhannya tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri                 di tengah-tengah masyarakat yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada di dalam kondisi yang serba sulit. Keadaan ini pula yang telah melahirkan suatu defense mechanism untuk mengungkung diri dari pengaruh luar. Kecurigaan yang berlebihan menyebabkan isolasi dan menolak perubahan. Isolasionisme ini juga diperkuat lagi dengan sifat keragaman dari pendidikan pesantren dan madrasah. Pengelolaan pesantren dan madrasah yang berorientasi kepada masyarakat telah melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk dicarikan standar untuk meningkatkan mutu. Di dalam menghadapi tuntutan dunia modern karena standar-standar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan pesantren dan madrasah perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut                     di dalam kehidupan global yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita generalisasikan. Sebagai ilustrasi bagaimana lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang di tengah-tengah kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di desa Cukir sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi, Pondok Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan pesantren. Ternyata kekutan pesantren dapat dilestarikan apabila di kelola dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif terhadap tuntutan perubahan.
Setelah kita lihat apa yang merupakan visi pendidikan Islam dan kemudian dituangkan dalam misi yaitu program-program dan kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan visi tersebut, langkah selanjutnya ialah penyusunan program aksi di dalam suatu rencana yang matang dan fleksibel untuk dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu secara bertahap. Pada tahap pelaksanaan inilah terdapat berbagai kendala dan masalah-masalah konkret yang perlu diatasi. Tidak jarang perencanaan yang telah matang disusun harus mengalami penyesuaian-penyesuaian di lapangan karena kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, kepemimpinan, dan partisipasi masyarakat yang berbagai ragam. Salah satu komponen dari pelaksanaan yang berhasil ialah pengelolaan. Pengelolaan pada dasarnya berarti bagamana menjaga, mengarahkan, mengevaluasi, dan menyesuaikan rencana-rencana yang telah disusun rapi agar visi dan misi yang telah ditetapkan dapat dicapai secara bertahap. Pengelolaan pendidikan Islam menjadi lebih kompleks oleh sebab dia bukan hanya berkenaan dengan masalah-masalah intern kelembagaan dan kepemimpinan pendidikan Islam, juga seperti yang telah diuraikan dia mengadapi berbagai masalah dualisme dan dikotomi pendidikan dalam kaitan dengan pembinaan sistem pendidikan nasional, dan sekaligus menghadapi gelombang perubahan globalisasi.
Sesuai dengan permasalahannya, menurut pendapat penulis pengelolaan pendidikan Islam meliputi empat bidang prioritas yaitu :
1)      Peningkatan kualitas,
2)      Pengembangan invonasi dan kreativitas,
3)      Membangun jaringan kerja sama ( networking ), dan
4)      Pelaksanaan otonomi daerah.

a.   Meningkatkan Kualitas

Di dalam berbagai survei dan penelitian mengenai pendidikan Islam jelas menunjukkan suatu “gap” yang sangat lebar antara lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi seperti SMU Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasab Ibtidaiyah di Malang dibandingkan dengan tingkat kualitas beberapa madrasah lainnya yang tersebar di daerah-daerah. Di dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam diperlukan berbagai usaha dan persiapan tenaga-tenaga yang berkuailtas sampai kepada penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Di dalam pemanfaatan sumber-sumber daya pendidikan tersebut diperlukan pengelolaan yag baik agar dengan sumber-sumber yang terbatas itu dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas secara optimal.
Terbitnya SKB 3 Menteri yang terkenal bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang non-agama. Di dalam usaha untuk peningkatan komponen pendidikan non-agama perlu selalu dicermati agar kita tidak jauh dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lainnya. Diperlukan suatu pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri khas pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta oleh perubahan zaman.


b.      Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas
Dengan adanya kecenderungan untuk memanfaatkan kekuatan pendidikan Islam yang berbasis pada masyarakat, maka terdapat suatu ruangan yang terbuka bagi pengembangan inovasi dan kreativitas. Sebenarnya pengembangan kedua komponen tersebut telah merupakan bagian dari pendidikan pendidikan dan pesantren. Community – based education management dalam pendidikan Islam bukanlah suatu hal yang baru. Yang baru mungkin berupa penyesuaian kembali asas-asas pengelolaan yang lebih berdimensi keluar dan berdimensi global.
Di dalam hal ini diperlukan suatu kerja sama yang erat antara lembaga pendidikan dengan masyarakat yang menggunakan pemimpin-pemimpin in-formal untuk menggerakkan masyarakat ke arah visi yang modern. School – based management yang dikenal di dalam sistem pendidikan pesantren maupun madrasah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pengelola serta para guru untuk mengembangkan kemampuan inovasinya serta kreativitasnya. Coba kita lihat misalnya masalah akreditasi yang kini ditentukan dari atas seharusnya muncul dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Gontor atau Tebuireng tidak memerlukan akreditasi seperti yang kita kenal dewasa ini. Ada atau tidaknya akreditasi kedua pondok pesantren yang sangat progresif tersebut dengan sendirinya memperoleh akreditasi dari masyarakat. Inilah sistem akreditasi yang sebenarnya.

c.       Membangun Jaringan ( Networking )
Telah kita lihat betapa pendidikan Islam mempunyai profil yang sangat beragam dengan berbagai tingkat mutu serta kekuatannya masing-masing. Boleh dikatakan masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri sendiri-sendiri. memang ada usaha atau kecenderungan masyarakat untuk menegerikan madrasah yang ada. Menurut pendapat penulis kecenderungan tersebut merupakan suatu langkah mundur. Dengan adanya keinginan masyarakat untuk menegerikan madrasah-madrasah swasta berarti mereka melepaskan otonomi lembaga pendidikannya meskipun penegerian madrasah-madrasah tersebut bukan berarti suatu yang negatif. Barang kali yang dibutuhkan ialah perlunya dibangun suatu jaringan kerja sama yang lebih baik antara madrasah-madrasah, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta.
Dewasa ini telah selesai diadakan pemetaan sekolah ( school mapping ) yang akan sangat berguna bagi usaha peningkatan mutu pendidikan madrasah. Dengan networking tersebut juga dapat dibangun suatu educational management information system ( EMIS ) yang akan sangat berguna di dalam pengelolaan termasuk pemanfaatan sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Di dalam kaitan ini pula perlu dibangun suatu kerja sama dengan pendidikan tinggi ( universitas / IAIN ) di daerah agar antara pendidikan tinggi, menengah, dan dasar terdapat suatu kerja sama yang saling menguntugnkan demi untuk pembangunan daerah. Di dalam kaitan ini barang kali dapat mengambil pengalaman dari pelaksanaan Land-grant College di Amerika Serikat.

d.      Otonomi Daerah : UU No. 22 Tahun 1999
Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 kepengurusan pendidikan dan kebudayaan diserahkan kepada daerah bahkan kepada kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang snagat jauh di dalam pengelolaan pendidikan yang lebih dekat kepada kebutuhan masyarakat dan daerah. Pendidikan Islam yang telah dilaksanakan melalui pondok-pondok pesantren dan madrasah adalah sebenarnya merupakan pelaksanaan otonomi pendidikan. Oleh sebab itu sudah tiba masa bagi kita untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan pengalaman-pengalaman pengelolaan otonomi pendidikan sebagaimana yang telah dilaksanakan di pondok-pondok pesantren dan madrasah. Kajian mengenai pengalaman-pengalaman tersebut bukan hanya bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam tetapi juga bagi pengembangan pendidikan nasional yang lebih merakyat.
Dengan uraian di atas, makin jelas kepada kita betapa relevansinya pengalaman pengelolaan pendidikan Islam di dalam menghadapi perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat dengan demokratisasi pendidikan nasional. Proses demokratisasi ini yang merupakan salah satu unsur penting di dalam reformasi total kehidupan berbangsa dan bernegara kita, ternyata sudah kita mulai secara lebih mendasar di dalam sistem pendidikan kita khususnya di dalam pendidikan Islam yang telah mempunyai pengalaman dalam pelaksanaannya.
Di dalam kaitan ini pendidikan Islam merupakan ujung tombak dari usaha reformasi pengelolaan pendidikan nasional yaitu mengembalikan kepedulian masyarakat terhadap pendidikannya. Selama ini pendidikan nasional telah mencabut dari akarnya ialah kehilangan peran serta masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pendidikan nasional kini cenderung kepada pembentukan kemampuan intelektual semata-mata dan kehilangan orientasi kepada pembentukan mental dan emosional. Visi pendidikan nasional di dalam era reformasi ialah membagnun manusia Indonesia yang utuh yaitu yang bertakwa, bermoral dan inovatif di dalam membangun masyarakatnya sendiri. Untuk pelaksanaannya di perlukan pengelola-pengelola pendidikan yang menghayati visi dan misi serta mempunyai kemampuan untuk mengelola sistem pendidikan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text