Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

CINTA KASIH DALAM AJARAN ISLAM


Secara sederhana cinta bisa dikatakan sebagai paduan rasa simpati antara dua makhluk. Rasa simpati ini tidak hanya berkembang di antara pria dan wanita, akan tetapi bisa juga di antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Contoh yang mudah dimengerti untuk ini dapat kita lihat pada hubungan cinta kasih antara seorang ayah dengan anak laki-lakinya, atau antara seorang ibu dengan anak gadisnya atau dengan kata lain, cinta berarti suka atau senang terhadap sesuatu dan akan berganti dengan kesedihan (pada orang yang mencintai) bila sesuatu tidak ada padanya. Cinta adalah yang sangat dikenal tidak ada yang tidak mengetahuinya, tetapi pemahaman dan pendapat orang tetangganya berbeda. Pemahaman cinta di sini akan dikembalikan kepada Islam mengartikan kata cinta itu.
Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan ketaatan. Sebagaimana firman-Nya “Jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku (Rasulullah) niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. 3 : 31-32). Ajaran cinta islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama makhluk. Rasulullah SAW bersabda : “Hakikat seorang muslim adalah melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri” (HR. Imam Bukhari). Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (Al-Hadits).
Mencintai Tuhan pada dasarnya adalah mencintai manusia. Mari menyetir kisah seorang sufi, Abu Ben Adhim. Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah. Darn ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketentraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang sosok di kamarnya, “Apa yang sedang kamu tulis ?” Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan”. “A|dakah namaku disitu ?” kata Abu. “Tidak, tidak ada”, jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tetapi tetap cerita, “kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia”. Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai ! nama Abu Ben Adhim di atas semua nama.
Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afghanistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan. Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan ; hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya.
Kita dapat menarik kesimpulan dari penggalan cerita di atas bahwa sesungguhnya kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Atau dengan katakana jika kita benar-benar mencintai Allah secara kesungguhan hati, maka proses rasa kasih sayang untuk makhluk ciptaan-Nya akan terbentuk dalam hati kita. Selain itu, jati diri kita sebagai seorang muslim akan tampak lebih kokoh serta mampu menjalani syari’at-syari’at Islam yang diridhai dan diberkahi oleh Allah SWT. Di antara manusia banyak yang cinta dan mencintai Allah tapi lebih banyak yang mencintai dunia. Mencintai Allah adalah fardlu bagi kaum muslimin dan muslimat yang bukan sekedar dikata saja cinta kepada Allah SWT adalah hal yang utama, sebagai jalan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan melaksanakan perintah-Nya melebihi cinta kepada segala yang maujud yang selain Allah. Mencintai Allah berarti juga mencintai rasul-Nya yakni mengikuti segala petunjuk Rasul dengan sepenuh-penuhnya. Firman Allah SWT, “Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampun dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran (3) : 31).
Selain itu adapun ajaran Islam tentang kasih sayang telah lama dikumandangkannya dengan sempurna dan indah. Namun, kebanyakan dari manusia tidak menyadari dari aturan-aturan yang telah difirmankan oleh Allah SWT dan sabda-sabda Rasul-Nya. Sebagaimana syair yang mengatakan, mawaddatuhu taduumu likulli haulin, wa hal kultun mawaddatuhu taduumu”, kasih sayangnya (manusia) selalu kekal untuk segala hal yang menakutkan, dan apakah setiap orang itu kasih sayangnya selalu kekal. (Jawaahirul Balaaghah : 407). Hal ini karena tidak diniatkan semata karena Allah yang tidak dijadikan sebagai ladang amal bahkan hanya untuk memperoleh keuntungan dan kesenangan duniawi saja. Maka kasih sayang tidaklah berujung, sedangkan rasa kasih sayang adalah sebuah fitrah yang mesti direalisasikan terhadap sesama sepanjang kehidupan di dunia ini ada, tentunya dalam koridor-koridor Islam. Ini berarti bahwa Islam tidak mengenal waktu, jarak, dan tempat akan sebuah kasih sayang baik terhadap teman, sahabat, kerabat, dan keluarganya sendiri.
Rasulullah SAW bersabda, “Man laa yarhaminnaasa laa yarhamhullaah” Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya.. (H.R. Turmudzi). Dalam hadits tersebut kasih sayang seorang muslim tidaklah terhadap saudara se-Muslim saja, tapi untuk semua umat manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”, Wahai Rasulullah, “Semua kami pengasih”, jawab mereka. Berkata Rasulullah, “Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia)”. (H.R.Ath-Thabrani). Bahkan, bukan hanya kepada manusia saja ajaran Islam yang tinggi ini telah mengajarkan bagaimana kasih sayang terhadap hewan dan tumbuhan yang harus direalisasikan. Abu Bakar Shiddiq r.a. pernah berpesan kepada pasukan Usamah bin Zaid,  “Janganlah kaliah bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu”. Sebuah nasihat ini walau dalam keadaan untuk perang, ajaran Islam lain yang menarik ketika Amr bin Ash menaklukkan kota Mesir, saat itu datanglah seekor burng merpati di atas kemahnya.
Melihat kejadian ini, kemudian Amr bin Ash membuat sangkar untuk merpati tersebut di atas kemahnya. Tatkala ia mau meninggalkan perkemahannya, burung dan sangkar tersebut masih ada. Ia pun tidak mau mengganggunya dan dibiarkan burung merpati itu hidup bersama sangkar yang ia buat. Maka kota itu dijuluki sebagai kota fasthath (kemah).
Jelas bahwa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi akan kasih sayang. Kita perlu mencontoh teladan Nabi SAW dan para sahabatnya yang benar-benar merealisasikan makna kasih sayang yang tanpa batas itu, tentunya untuk mencapai keridhaan Allah semata yang bukan untuk mencari kesenangan dunia. Maka memang pantas bahwa Islam dikatakan sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Sifat kasih sayang adalah termasuk akhlak yang mulia yang dicintai Allah. Sebaliknya Allah sangat membenci akhlak yang rendah. Di antaranya kepada orang-orang yang tidak memiliki rasa belas kasih sayang. Ditegaskan hadits Rasulullah SAW, “laa tunza’ur rahmatu illa min syaqiyyin”. Rasa kasih sayang tidaklah dicabut melainkan hanya dari orang-orang yang celaka. (H.R. Ibn. Hibban).
Yang dimaksud dengan orang celaka adalah orang yang tidak memiliki rasa kasih sayang di dalam hatinya baik untuk dirinya maupun orang lain. Di sinilah perlunya kita bermuhasabah, bertafakur, apakah diri ini sudah benar menjalani hidup. Bagaimana kita mengasihi dan menyayangi ciptaan Allah sebagai akhlak yang mulia. “Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemurah, Dia mencintai sifat pemurah, dan Dia mencintai akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah”. (H.R. Na’im melalui Ibnu Abbas r.a.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text