Muqaddimah
Hukum Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perkembangan Islam itu sendiri. Mengatakan hukum Islam inipun dalam
periode formatif sebelum Indonesia sebagai sebuah entitas negara-bangsa ( nation
– state ) terbangn, akan lebih tepat menggunakan kata fiqh Islam.
Karena terma-terma yang berkembang dan secara massif
digunakan memang kitab-kitab fiqh yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam
di Indonesia. Hingga pada ragam jenis perkara dalam hal-hal yang bersentuhan
dengan pengadilan, juga mengacu kepada kitab-kitab fiqh.
Martin van Bruinessen ( 1995 : 112 ) menyatakan,
“Fiqhlah yang diantara semua cabang ilmu agama Islam biasanya dianggap yang
paling penting. Sebab lebih dari agama lainnya, fiqh mengandung berbagai
implikasi konkret bagi pelaku keseharian individu maupun masyarakat”.
Hegemoni mazhab Sunni di Indonesia, atau lebih tepatnya
mazhab Syafi’iyah, mendapatkan momentumnya, karena memang para pendakwah yang
masuk ke Indonesia, pada umumnya berafiliasi kepada mazhab Syafi’iy (ah).
Memang ada mazhab lain yang belakangan mulai
mempengaruhi sebagian kecil umat Islam, yaitu mazhab Syi’ah, sekurang-kurangnya
sejak Revolusi Iran 1979. atau bisa juga karena secara individual ada diantara
orang Islam yang belajar di Iran, yang memang mayoritas berafiliasi kepada
mazhah Syi’i.
Sketsa Sejarah Hukum Islam di Indonesia
Kita mengenal beberapa teori dalam sejarah hukum Islam
di Indonesia. Pertama, receptie in complexu, yang menyatakan bahwa hukum
Islam telah lama diserap dan hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Islam di
Indonesia ( Ahmad Rafiq, 1995 : 59 – 60 ). Teori ini diintrodusir oleh Van den
Berg.
Raja-raja di kerajaan Islam waktu itu yang mempunyai
tiga fungsi utama pemerintahan umum, pertahanan dan keamanan dan penata bidang
agama mempunyai gelar : 1) Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun, 2) Senapati
Hing Ngalogo, yakni panglima tertinggi angkatan perang, dan 3) Sayidin
Panatagama Kalifatullah, yaitu khalifah Allah pengatur bidang agama ( HZA.
Noeh, tt : 20 ).
Adanya jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku
Mufti, Tuanku Kadi, disamping para raja-raja dan Bupati, sampai jabatan Lebai,
Madin, dan Kaum adalah kosakata-kosakata yang menunjukkan bahwa
pengaruh terma-terma fiqh Islam cukup berpengaruh untuk tidak mengatakan
dominan.
Hukum Islam yang diterima memang dominan mazhab
Syafi’iyah. Salomon Keyzer, seorang ahli hukum Islam paling awal Belanda,
menilai karena Islam masuk ke Indonesia ada suatu kaitan dengan Mesir, tempat
mazhab Syafi'i sudah beberapa lamanya menduduku tempat penting. Tetapi oleh
Drewes ( 1989 : 7 ) dibantah. Menurutnya, Keyzer tidak tahu bahwa hampir semua
orang Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut, dan mazhah Syafi'i
merupakan mazhab yang ghalib. Lain halnya dengan Snouck Hurgronje yang
berpendapat bahwa orang-orang India Selatan mempunyai peranan penting dalam
penyebaran Islam di Indonesia.
Seperti kata Daniel S. Lev, meski Islam di Indonesia
banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, orang Islam di negeri
ini memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan diri dari
orang lain ( Dellar Noer, 1973 : 164 ).
Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum
Islam merupakan nilai yang hidup dan subur dalam kesadaran hukum masyarakat.
Meskipun upaya-upaya untuk menjadikan jarak antara orang Islam dan sistem hukum
agamanya, dilakukan secara intensif oleh para pejabat pemerintah kolonial.
Mazhab Syafi’iyah Yang Dominan
Mengapa mazhab Syafi’iyah dominan ? Selain hal ini
dipengaruhi oleh mazhab yang dianut oleh para pembawa Islam, juga karena
kurikulum yang dipelajari di pesantren mayoritas adalah kitab-kitab fiqh mazhah
Syafi’iyah. Kitab-Kitab Safinatun Najah, Sullam Al-Taufiq, Fath Al-Qorib,
Al-Bajury, Al-Iqra’, Bujarimy, Al-Muharar, Minhaj Al-Tholibin, Fath Al-Wahhab,
Tuhfah Al-Muhtaj dan Fath Al-Mu’in, adalah kitab-kitab Syafi’iyah.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang dipelajari diantaranya
adalah Al-Waraqat, Lathaif Al-Isyarat, dan Jam’ Al-Jawami.
Kemudian ditunjang kitab kaidah seperti Al-Asybah wa Al-Nadhair karangan
As-Suyuthy, Al-Luma’ dan Al-Bayan.
Memang ada kitab-kitab seperti Bidayat Al-Mujtahid
dan Fiqh Al-Sunnah, yang bersifat muqaranah lintas mazhab, tetapi
ini baru belakangan dan itupun kelihatannya hanya menjadi koleksi pondok, dan
belum atau tidak menjadi bacaan wajib yang ditelaah secara rutin.
Ini menunjukkan bahwa dominasi intelektual dalam bidang
fiqh Syafi’iyah menempati wilayah yang paling dominan bagi pengembangan
atmosfir fiqh di Indonesia. Ini karena memang pesantren merupakan pilar utama
pengembangan ilmu agama yang relatif lebih mapan ketimbang lembaga-lembaga
lainnya.
Mazhab Syafi’iyah mendapatkan momentumnya dan
dilegitimasi melalui sebuah peraturan, dan dengan demikian mengikat kepada para
hakim agama dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Mazhab Sunni dan Pengaruhnya
Uraian dimuka telah menunjukkan betapa dominannya mazhab
Sunni – baca Syafi’iyah – dalam peta intelektual hukum Islam di Indonesia.
Sekedar ilustrasi dapat dilihat dalam tradisi Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (
NU ) yang hingga tahun-tahun 1990-an masih didominasi kitab-kitab Fiqh
Syafi’iyah. Baru pada tahun 1992 dalam Munas Lampung, diputuskan kerangka pikir
Ijtihad Manhajy yang mengacu kepada mazhba Maliky.
Sebenarnya NU sendiri dalam Anggaran Dasarnya
mencantumkan bermazhab Sunny – Ahlus Sunnah Wal Jama’ah – yang mengikuti salah
satu Imam mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Tetapi dalam
praktek, juga lebih banyak pada mazhab Syafi'i.
Di Muhammadiyah dikenal adanya Majlis Tarjih, tetapi
yang lebih dikedepankan adalah menempatkan kerangka kerja ijtihad lebih
dikedepankan. Paling tidak mengacu kepada metode-metode yang telah ditawarkan
oleh para ulama tempo dulu.
Boleh jadi yang lebih bebas dan mungkin agak banyak,
variasi referensi mazhab Sunny berada di perpustakaan Perguruan Tinggi Agama,
seperti IAIN dan atau PTAIS. Tetapi karena sistem dan pelaksanaan pendidikannya
berbeda dengan di pesantren, jadi sepenuhnya tergantung pada kemampuan bahasa
Arab yang mendasarinya. Yang jelas, sebagai wacana di lingkungan kampus, lebih
terbuka meski kurang matang, mengingat target dan alokasi waktu yang memang
berbeda dengan di pesantren.
Dalam perspektif peraturan perundang-undangan, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) misalnya, memang mengacu selain pada kitab-kitab fiqh
mu’tabaroh tersebut, juga dilengkapi dengan berbagai kitab dari berbagai
mazhab, selain dari kajian yurisprudensi, dan studi banding ke luar negeri. Ini
tentu menggembirakan. Akan tetapi ketika Kompilasi Hukum Islam telah menjadi
konsensus para ulama, yang dikemas dalam bentuk bab, pasal dan ayat yang sangat
rinci, maka keberadaan kitab-kitab yang bervariasi afiliasi mazhabnya tadi,
maka varian tadi menjadi terdistorsi, untuk tidak mengatakan hilang.
Memang jika kita coba telusuri pada klausul-klausul yang
ada dalam KHI, dapat kita temukan pola pemahaman mazhah di luar Syafi'i (yah)
tetapi tampak sekali dominasi mazhab Sunny, cukup kuat. Itupun lagi-lagi mazhab
Syafi’iyah.
Mencari akar
penyebabnya, mengapa mazhab lain seperti Syi’ah atau Dzahiri umpamanya tidak
atau kurang mendapatkan respon di bumi Indonesia, tampaknya tidak bisa
dipisahkan dari faktor sejarah itu sendiri, bagaimana Islam dan siapa yang
membawanya ke bumi nusantara ini.
Mengakhiri pengantar ini, dapat saya katakan bahwa hukum
Islam di Indonesia masih didominasi oleh mazhah Sunny yang berafiliasi ke dalam
mazhab Syafi’iyah. Kitab-kitab yang ditulis langsung oleh Imam Syafi'i masih
jarang dibaca secara rutin di pesantren-pesantren yang menjadi pilar keilmuan agama
Islam di Indonesia ini.
Kalaupun ada penambahan atau pengayaan dengan mazhab
Sunny di luar Syafi’iyah masih sangat langka, untuk tidak mengatakan tidak ada.
Bahkan dari segi kurun waktu, juga baru pada belakangan, ketika arus informasi
dan teknologi percetakan tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi.
Di perpustakaan Perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam
boleh jadi khazanah fiqh berbagai mazhab Sunny termasuk Syi’ah dan Dzahiriyah
dapat ditelusuri, tetapi tidak menjadi kajian utama. Jadi tingkat implikasi
baik kognitif dan afektifnya sangat berbeda.
Demikian semoga bermanfaat.
Wa Allah a’alam bi Al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar