Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

PENGARUH HUKUM ISLAM MADZAB SUNNI DI INDONESIA


Muqaddimah
Hukum Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri. Mengatakan hukum Islam inipun dalam periode formatif sebelum Indonesia sebagai sebuah entitas negara-bangsa ( nation – state ) terbangn, akan lebih tepat menggunakan kata fiqh Islam.
Karena terma-terma yang berkembang dan secara massif digunakan memang kitab-kitab fiqh yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Hingga pada ragam jenis perkara dalam hal-hal yang bersentuhan dengan pengadilan, juga mengacu kepada kitab-kitab fiqh.
Martin van Bruinessen ( 1995 : 112 ) menyatakan, “Fiqhlah yang diantara semua cabang ilmu agama Islam biasanya dianggap yang paling penting. Sebab lebih dari agama lainnya, fiqh mengandung berbagai implikasi konkret bagi pelaku keseharian individu maupun masyarakat”.
Hegemoni mazhab Sunni di Indonesia, atau lebih tepatnya mazhab Syafi’iyah, mendapatkan momentumnya, karena memang para pendakwah yang masuk ke Indonesia, pada umumnya berafiliasi kepada mazhab Syafi’iy (ah).
Memang ada mazhab lain yang belakangan mulai mempengaruhi sebagian kecil umat Islam, yaitu mazhab Syi’ah, sekurang-kurangnya sejak Revolusi Iran 1979. atau bisa juga karena secara individual ada diantara orang Islam yang belajar di Iran, yang memang mayoritas berafiliasi kepada mazhah Syi’i.

Sketsa Sejarah Hukum Islam di Indonesia

Kita mengenal beberapa teori dalam sejarah hukum Islam di Indonesia. Pertama, receptie in complexu, yang menyatakan bahwa hukum Islam telah lama diserap dan hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia ( Ahmad Rafiq, 1995 : 59 – 60 ). Teori ini diintrodusir oleh Van den Berg.
Raja-raja di kerajaan Islam waktu itu yang mempunyai tiga fungsi utama pemerintahan umum, pertahanan dan keamanan dan penata bidang agama mempunyai gelar : 1) Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun, 2) Senapati Hing Ngalogo, yakni panglima tertinggi angkatan perang, dan 3) Sayidin Panatagama Kalifatullah, yaitu khalifah Allah pengatur bidang agama ( HZA. Noeh, tt : 20 ).
Adanya jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, disamping para raja-raja dan Bupati, sampai jabatan Lebai, Madin, dan Kaum adalah kosakata-kosakata yang menunjukkan bahwa pengaruh terma-terma fiqh Islam cukup berpengaruh untuk tidak mengatakan dominan.
Hukum Islam yang diterima memang dominan mazhab Syafi’iyah. Salomon Keyzer, seorang ahli hukum Islam paling awal Belanda, menilai karena Islam masuk ke Indonesia ada suatu kaitan dengan Mesir, tempat mazhab Syafi'i sudah beberapa lamanya menduduku tempat penting. Tetapi oleh Drewes ( 1989 : 7 ) dibantah. Menurutnya, Keyzer tidak tahu bahwa hampir semua orang Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut, dan mazhah Syafi'i merupakan mazhab yang ghalib. Lain halnya dengan Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa orang-orang India Selatan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Seperti kata Daniel S. Lev, meski Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, orang Islam di negeri ini memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan diri dari orang lain ( Dellar Noer, 1973 : 164 ).
Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum Islam merupakan nilai yang hidup dan subur dalam kesadaran hukum masyarakat. Meskipun upaya-upaya untuk menjadikan jarak antara orang Islam dan sistem hukum agamanya, dilakukan secara intensif oleh para pejabat pemerintah kolonial.

Mazhab Syafi’iyah Yang Dominan

Mengapa mazhab Syafi’iyah dominan ? Selain hal ini dipengaruhi oleh mazhab yang dianut oleh para pembawa Islam, juga karena kurikulum yang dipelajari di pesantren mayoritas adalah kitab-kitab fiqh mazhah Syafi’iyah. Kitab-Kitab Safinatun Najah, Sullam Al-Taufiq, Fath Al-Qorib, Al-Bajury, Al-Iqra’, Bujarimy, Al-Muharar, Minhaj Al-Tholibin, Fath Al-Wahhab, Tuhfah Al-Muhtaj dan Fath Al-Mu’in, adalah kitab-kitab Syafi’iyah.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang dipelajari diantaranya adalah Al-Waraqat, Lathaif Al-Isyarat, dan Jam’ Al-Jawami. Kemudian ditunjang kitab kaidah seperti Al-Asybah wa Al-Nadhair karangan As-Suyuthy, Al-Luma’ dan Al-Bayan.
Memang ada kitab-kitab seperti Bidayat Al-Mujtahid dan Fiqh Al-Sunnah, yang bersifat muqaranah lintas mazhab, tetapi ini baru belakangan dan itupun kelihatannya hanya menjadi koleksi pondok, dan belum atau tidak menjadi bacaan wajib yang ditelaah secara rutin.
Ini menunjukkan bahwa dominasi intelektual dalam bidang fiqh Syafi’iyah menempati wilayah yang paling dominan bagi pengembangan atmosfir fiqh di Indonesia. Ini karena memang pesantren merupakan pilar utama pengembangan ilmu agama yang relatif lebih mapan ketimbang lembaga-lembaga lainnya.
Mazhab Syafi’iyah mendapatkan momentumnya dan dilegitimasi melalui sebuah peraturan, dan dengan demikian mengikat kepada para hakim agama dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

Mazhab Sunni dan Pengaruhnya

Uraian dimuka telah menunjukkan betapa dominannya mazhab Sunni – baca Syafi’iyah – dalam peta intelektual hukum Islam di Indonesia. Sekedar ilustrasi dapat dilihat dalam tradisi Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ( NU ) yang hingga tahun-tahun 1990-an masih didominasi kitab-kitab Fiqh Syafi’iyah. Baru pada tahun 1992 dalam Munas Lampung, diputuskan kerangka pikir Ijtihad Manhajy yang mengacu kepada mazhba Maliky.
Sebenarnya NU sendiri dalam Anggaran Dasarnya mencantumkan bermazhab Sunny – Ahlus Sunnah Wal Jama’ah – yang mengikuti salah satu Imam mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Tetapi dalam praktek, juga lebih banyak pada mazhab Syafi'i.
Di Muhammadiyah dikenal adanya Majlis Tarjih, tetapi yang lebih dikedepankan adalah menempatkan kerangka kerja ijtihad lebih dikedepankan. Paling tidak mengacu kepada metode-metode yang telah ditawarkan oleh para ulama tempo dulu.
Boleh jadi yang lebih bebas dan mungkin agak banyak, variasi referensi mazhab Sunny berada di perpustakaan Perguruan Tinggi Agama, seperti IAIN dan atau PTAIS. Tetapi karena sistem dan pelaksanaan pendidikannya berbeda dengan di pesantren, jadi sepenuhnya tergantung pada kemampuan bahasa Arab yang mendasarinya. Yang jelas, sebagai wacana di lingkungan kampus, lebih terbuka meski kurang matang, mengingat target dan alokasi waktu yang memang berbeda dengan di pesantren.
Dalam perspektif peraturan perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) misalnya, memang mengacu selain pada kitab-kitab fiqh mu’tabaroh tersebut, juga dilengkapi dengan berbagai kitab dari berbagai mazhab, selain dari kajian yurisprudensi, dan studi banding ke luar negeri. Ini tentu menggembirakan. Akan tetapi ketika Kompilasi Hukum Islam telah menjadi konsensus para ulama, yang dikemas dalam bentuk bab, pasal dan ayat yang sangat rinci, maka keberadaan kitab-kitab yang bervariasi afiliasi mazhabnya tadi, maka varian tadi menjadi terdistorsi, untuk tidak mengatakan hilang.
Memang jika kita coba telusuri pada klausul-klausul yang ada dalam KHI, dapat kita temukan pola pemahaman mazhah di luar Syafi'i (yah) tetapi tampak sekali dominasi mazhab Sunny, cukup kuat. Itupun lagi-lagi mazhab Syafi’iyah.
Mencari  akar penyebabnya, mengapa mazhab lain seperti Syi’ah atau Dzahiri umpamanya tidak atau kurang mendapatkan respon di bumi Indonesia, tampaknya tidak bisa dipisahkan dari faktor sejarah itu sendiri, bagaimana Islam dan siapa yang membawanya ke bumi nusantara ini.
Mengakhiri pengantar ini, dapat saya katakan bahwa hukum Islam di Indonesia masih didominasi oleh mazhah Sunny yang berafiliasi ke dalam mazhab Syafi’iyah. Kitab-kitab yang ditulis langsung oleh Imam Syafi'i masih jarang dibaca secara rutin di pesantren-pesantren yang menjadi pilar keilmuan agama Islam di Indonesia ini.
Kalaupun ada penambahan atau pengayaan dengan mazhab Sunny di luar Syafi’iyah masih sangat langka, untuk tidak mengatakan tidak ada. Bahkan dari segi kurun waktu, juga baru pada belakangan, ketika arus informasi dan teknologi percetakan tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi.
Di perpustakaan Perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam boleh jadi khazanah fiqh berbagai mazhab Sunny termasuk Syi’ah dan Dzahiriyah dapat ditelusuri, tetapi tidak menjadi kajian utama. Jadi tingkat implikasi baik kognitif dan afektifnya sangat berbeda.
Demikian semoga bermanfaat.
Wa Allah a’alam bi Al-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text