Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

HAK DAN KEWAJIBAN


A.    HAK

1.      Pengertian Hak
Dalam zaman Yunani kuno, belum ada ahli yang berbicara tentang hak dalam arti yang sebenarnya. Bahkan bahasa Yunani tidak mempunyai kata untuk menunjukkan “hak”. Bahasa Latin memiliki kata Ius-lurus              (yang kemudian hari dipakai untuk hak). Tapi dalam pemikiran Romawi kuno, kata ini hanya menunjukkan hukum dalam arti obyektif, kadang-kadang istilah “ius” mendapat arti “hak seseorang” tapi hanya untuk menunjukkan benda yang menjadi hak.1)
Dalam arti yang lebih luas hak berarti “wewenang atau kekuasaan secara etis untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu”.2) Hak juga berarti “semacam kepemilikan, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran tersebut”.3)
Hak selalu berhubungan dengan 2 hal, yaitu :
a.       Obyektif (sesuatu yang menjadi sasaran hak).
b.      Subyektif (orang yang berwenang untuk bertindak menurut hak  itu).4)

2.      Unsur-Unsur yang diperlukan dalam meninjau hak
a.       Subyek hak bukan hanya seorang, tetapi juga kelompok yang berupa suatu lembaga, badan hukum, masyarakat, dan sebagianya.
b.      Adanya hak pada tiap manusia dan lembaga hukum tadi, menimbulkan kewajiban pada orang atau lembaga lain untuk memenuhi hak tadi.
c.       Materi hak adalah tujuan hak atau obyek hak manusia. hak manusia selengkapnya adalah pencapaian kebahagiaan sempurna.
d.      Asas hak adalah alasan untuk memperoleh hak yang ri’il. Asas hak itu juga suatu realitas yang harus ada pada manusia sebagai personalitas. Asas ini terbagi menjadi 2, yaitu :
Ø  Hak kodrati, adalah hak manusia karena kodratnya.
Ø  Hak derivat, adalah hak yang diperoleh di dalam konstelasi perjalanan hidup manusia.5)

3.      Konsep Hak
Ada juga yang disebut konsep hak (hak asasi, hak alamiah) yang juga diperoleh dalam perjalanan hidup perjuangan hidup manusia seperti, hak asasi yang dimuat dalam “Universitas Declaration of Human Rights” dari PBB.
Hak yang dikonsepsikan ini secara implisit menunjukkan bahwa di dalam perjuangan dan perjalanan hidup manusia ternyata hak manusia “belum / tidak” mendapatkan kedudukan yang semestinya. Dneagn kata lain banyak pihak yang belum melaksanakan kewajiban hidupnya dengan baik.
Pada dasarnya hak dan kwajiban, tidak perlu dirumuskan dalam suatu pernyataan yang bersifat politis. Kekuasaan moral adalah kekuasaan yang menyentuh langsung hati nurani dan tidak sekedar kulit luar semata-mata.
Ini merupakan akibat berkembangnya positivisme moral yang tidak mengakui adanya hak-hak alami.

4.      Hak Legal dan Moral
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dan suatu bentuk. Hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya. Hak legal didasarkan atas prinsip hukum.
Kalau hak legal berfungsi dalam sistem hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistem moral. Hak moral di dasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja. Sebagaimana hukum ketika perlu dibedakan. Demikian halnya dengan hal legal dan hak moral. Hak moral belum tentu merupakan hak legal. Memang benar, banyak hal moral serentak juga dengan hak legal, tetapi janji yang diadakan secara pribadi oleh dua teman, tidak menampilkan hak legal dan hanya terbatas pada hak moral saja.6)

5.      Sumber Hak
a.       Kemanusiaan
Manusialah yang mempunyai hak, timbul dari kemanusiaannya.
b.      Kebiasaan
Kebiasaan adalah ulangan perbuatan yang sama.
c.       Kontrak (perjanjian)
d.      Kebebasan bersama untuk semua
e.       Ada pendapat yang mengatakan “sumber hakiki hak asasi tentulah pada Tuhan sendiri”.7)

6.      Beberapa jenis hak yang lain
a.       Hak khusus dan hak umum
Hak khusus timbul dalam relasi khusus antara beberapa manusia atau karena fungsi khusus yang dimiliki orang satu terhadap orang lain. Hak umum dimiliki manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali. Hak umum biasa dikenal dengan istilah “Hak Asasi Manusia”.
b.      Hak positif dan hak negatif
c.       Hak individual dan hak sosial

B.     KEWAJIBAN

1.      Pengertian Kewajiban
Sebagai sisi lain dari hak, kewajiban mempunyai 2 pengertian, antara  lain :

a.       Kewajiban objektif
Adalah keharusan secara etis dan moral untuk melakukan sesuatu dan atau meninggalkannya.
b.      Kewajiban subyektif
Adalah sesuatu kewajiban yang harus dilakuakn dan atau ditinggalkan.
Kewajiban membatasi hak, artinya tidak ada hak tanpa kewajiban, yang terjalin dalam hak adalah subyek kewajiban, dan yang terjalin dalam kewajiban adalah subyek hak.8) Kewajiban itu pada dasarnya ialah kebaikan yang dengan keharusan dibebankan kepada kehendak kita yang merdeka untuk dilaksanakan.9)

2.      Pelaksanaan Kewajiban
Dalam pelaksanaan kewajiban, terletak apa yang disebut dengan tanggung jawab manusia. Dipandang dari segi ini, tanggung jawab berarti sikap atau pendirian yang menyebabkan manusia menetapkan bahwa dia hanya akan menggunakan kemerdekaannya untuk melaksanakan perbuatan yang susila.
Keharusan dari wajib adalah keharusan “principium identitatis” artinya “manusia itu harus berlaku sebagai manusia. Jika tidak, berarti ia menmungkiri kemanusiannya”.
Tanggung jawab berarti mengerti perbuatannya. Dia berhadapan dengan perbuatannya sebelum berbuat, selama berbuat, dan sesudah berbuat. Dia mengalami diri sebagai subjek yang berbuat dan mengalami perbuatannya sebagai oyek yang dibuat.

3.      Hubungan antara hak dan kewajiban
Sebagian filosof berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut “teori korelasi” itu terutama dianut oleh pengikut utiiltarisme. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi tersebut. Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut “hak”.10)
John Stuart Mill membedakan antara “duties of perfect obligation” dan “deties of imperfect obligation” : “kewajiban sempurna” dan “kewajiban tidak sempurna”. Kewajiban sempurna selalu terkait dengan hak orang lain, sedangkan kewajiban tidak sempurna tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna didasarkan atas keadilan. Sedangkan kewajiban tidak sempurna mempunyai alasan moral lain, misalnya, berbuat baik atau kemurahan hati.

C.    KEADILAN

1.      Pengertian
Kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada pihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak tersebut, sehingga masing-masing pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan atau paksaan. Memberi dan menerima yang selaras dengan hak dan kewajibannya, itulah keadilan.
Secara potensial, keadilan menunjukkan perilaku moral pada diri manusia dimana ia berusaha untuk mencapai persamaan, sedangkan secara aktual keadilan berarti bahwa “persamaan tersebut tergantung pada kebenaran”. Ketika diterapkan pada Tuhan, keadilan berarti keteraturan / kedisiplinan (inti – dzam) perbuatan-perbuatan Tuhan yang tak terhingga.11)
Sebagai perilaku positif keadilan terkadang bermakna keseimbangan dari seluruh kebaikan dan terkandung juga merupakan kebaikan tertinggi sejauh manusia dapat mempraktikkannya dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungan dengan sesamanya. Pengertian ini diungkapkan dalam Al-Qur'an dengan tema “mizan” dan dijelaskan dalam hadits sebagai suatu prinsip yang menekankan keseimbangan antara kehidupan langit dan bumi.
Menurut Al-Isfahani keadilan terdiri dari keadilan mutlak dan keadilan relatif. Yang pertama dipandang oleh akal sebagai keadilan universal dan keharusan seperti mewajibkan untuk berbuat menjauhi, berbuat kesalahan kepada siapapun yang telah menahan diri dari berbuat kesalahan terhadap diri anda yang terakhir hanya dapat diketahui melalui wahyu dan tidak berlaku untuk semua ruang dan waktu. Dalam memandang perselisihan paham antara Mu'tazilah dengan Asy’ariyyah, Al-Isfahani menyatakan banyak teolog yang memperdebatkan bahwa keadilan dan ketidak adilan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sedangkan sebagian lainnya menganggap bahwa keduanya dapat diketahui melalui akal sebelum wahyu diturunkan (seperti Mu'tazilah). Sedangkan Al-Isfahani sendiri cenderung berpendapat bahwa antara akal dan wahyu bekerja sama dalam mengetahui kebenaran etis.12)
Menurutnya, keadilan sejati terdapat dalam perbuatan baik yang dilakukan secara spontan tanpa sikap pura-pura dan mencari kebanggaan atau karena takut. Keadilan ini ditunjukkkan kepada :
a)      Tuhan, melalui pengetahuan tentang aturan-aturan-Nya.
b)      Diri sendiri, dengan menempatkan kekuatan lainnya di bawah kendali akal.
c)      Nenek moyangnya, dengan melaksanakan janji mereka (yang positif) dan mendo’akan mereka.
d)     Kepada sesamanya dengan memberikan apa yang menjadi haknya dan melakukan transaksi secara adil, menghargai dan atau menghormatinya.
e)      Kepada seluruh manusia, dengan memberikan nasehat dan saran untuk baik kepad para penguasa dan penerus mereka.
Jadi kriteria terpenting dari keadilan ada tiga, yaitu : kitab suci, penguasa (pemerintah) dan harta (uang).13)
2.      Ada 4 macam wujud keadilan (Aristotle – Notonegoro)
a.       Keadilan tukar-menukar
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya, sesuatu yang menjadi hak pihak lain, atau sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain. Keadilan ini timbul di dalam hubungan antar – manusia sebagai orang – seorang terhadap sesamanya di dalam masyarakat dengan adanya tukar-menukar, maka terjadilah saling memberi dan saling menerima.
b.      Keadilan distributif atau membagi
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat penguasanya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata, dan merata, menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. Keadilan ini terdapat dalam hubungan masyarakat sebagai warganya.
c.       Keadilan sosial
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia di dalam hubungan dengan masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara.
d.      Keadilan hukum (umum)
Yaitu mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum.








KESIMPULAN

Ø  Bahasa latin memiliki kata “ius – iurus” (yang kemudian hari dipakai untuk “hak”), tapi dalam Romawi kuno kata ini lebih spesifik penggunaannya dalam hukum.
Ø  Hak selalu berhubungan dengan 2 hal, yaitu :
-          Obyektif, dan
-          Subyektif
Ø  Konsep hak diperoleh dalam perjalanan hidup.
Ø  Sumber-sumber hak diantaranya adalah : kemanusiaan, kebiasaan, kontrak              (perjanjian, kebebasan bersama untuk semua dan sumber hakiki “hak” berasal dari Tuhan).
Ø  Sebagai sisi lain hak, kewajiban subyektif.
Ø  Pelaksanaan kewajiban terletak pada tanggung jawab.
Ø  Hubungan antara hak dan kewajiban dikenal dengan “teori korelasi”.
Ø  Secara potensial, keadilan menunjukkan perilaku moral pada diri manusia, dimana ia berusaha untuk mencapai “persamaan”, sedangkan secara aktual, keadilan berarti bahwa “persamaan tersebut tergantung pada kebenaran”.
Ø  Menurut Al-Isfahan keadilan sejati terdapat dalam perbuatan baik yang dilakukan secara spontan tanpa sikap pura-pura, dan mencari kebanggaan atau karena takut.
Ø  Keadilan ini ditunjukkan kepada : Tuhan, diri sendiri, nenek moyang, sesamanya, dan seluruh umat manusia.
Ø  Wujud keadilan antara lain : wujud tukar-menukar, keadilan distributive, keadilan sosial dan keadilan hukum.

 









DAFTAR  PUSTAKA


v  Bertens K., 1999, Etika, PT. Gramedia ; Jakarta.
v  Fakhry, Majid, 1996, Etika Dalam Islam, Pustaka Pelajar ; Jakarta
v  Poedjawiyatna, 1996, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta ; Jakarta.
v  Zubair, Charris Ahmad, 1987, Belajar Akhlak, PT. RGP ; Jakarta.
v  Zubair, Charris Ahmad, 1995, Kuliah Etika, PT. Raja Grafindo Persada ; Jakarta.


1) Bertens K., Etika, ( PT. Gramedia : Jakarta, 1999 ), hal. 65.
2) Zubair, Charris Ahmad, Kuliah Etika, ( PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 1995 ), hal. 53.
3) Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, ( Rineka Cipta :  Jakarta, 1996 ), hal. 13.
4) Ibid, hal. 60.
5) Loc.Cit, hal. 60.
6) Bertens, Op.Cit, hal. 179.
7) Poedjawiyatna, Tahu dan Pengetahuan, ( Rineka Cipta : Jakarta, 1982 ), hal. 126.
8) Zubair, Charris Ahmad, Belajar Akhlak, ( PT. RGP : Jakarta, 1987 ), hal. 115.
9) Drijarkara, Pertjikan Filsafat, ( PT. Pembangunan : Jakarta, 1966 ), hal. 92.
10) Bertens K., Op.Cit, hal. 192.
11) Fakhry, Majid,  Etika Dalam Islam, ( Pustaka Pelajar : Jakarta, 1996 ), hal. 84.             
12) Ibid, hal. 109.
13) Ibid, hal. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text