Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

TASAWUF PADA ABAD KE – IV, V DAN VI


A.    Tasawuf Pada Abad Ke-IV H
Tasawuf abad ke IV H berkaitan dengan abad ke III H. Yang mana pada abad tersebut terdapat dua aliran tasawuf. Yaitu pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau pada aliran ini selalu bertandakan timbangan syari’ah.
Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka sering mengucapkan kata-kata ganjil ( syathahat ) mereka menumbuhkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah.
  1. Ma’rifat
Beberapa tokoh yang mempermasalahkan ma’rifat diantaranya :
1)      Ma’ruf Al-Karkhi ( meninggal tahun 200 H )
Ma’rifat Al-Karkhi merupakan orang pertama yang mendefinisikan tasawuf dengan ; Tasawuf ialah menimba hakekat realitas-realitas dan berputus asa terhadap apapun yang ditangan makhluk. Tasawuf menurut Ma’ruf Al-Karkhi didasarkan pada syari’ah dan tuntutan-tuntutan amal ibadah maupun ketaatannya. Sedangkan ilmu itu harus berkaitan dengan amal, sebagaimana katanya : “Jika seorang alim beramal dengan ilmunya maka akan luruslah kalbu orang-orang yang beriman,dan dia akan dibenci oleh orang-orang yang kalbunya sakit”.
2)      Abu Sulaiman Al-Darani
Diantara kata-katanya ialah : “Tidak ada seorangpun bersikap asketis terhadap pesona dunia ini, kecuali yang pada kalbunya, oleh Allah diletakan cahaya yang membuatnya selalu terpesona oleh hal akherat”. Dalam hal ini dia mengemukakan ide cahaya yang menjadi landasan pengetahuan mistis serta pencapaian kalbu.
Hakikat, menurut Abu Sulaiman Al-Darani berkaitan erat dengan syari’ah. Hal itu ditegaskan dalam ucapannya : “Selama beberapa waktu aku tertimpa persoalan aliran ini ( maksudnya para sufi ), sementara aku tidak bisa menerimanya ( maksudnya menerima dari kalbunya ) kecuali disertai dua saksi yang adil Al-Qur'an dan As-Sunnah”.
3)      Dzun Nun
Dzun Nun adalah orang yang paling menonjol, serta pendapat-pendapatnya paling terkenal. Dia terkenal dengan keluasan ilmunya, kerendahan hatinya dan budi pekertinya yang baik. Dzun Nun cenderung mengkaitkan ma’rifat dengan syari’ah sebagaimana katanya tanda seorang arif itu tiga : cahaya ma’rifatnya tidak memudarkan cahaya kerendah hatiannya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahirlah, dan banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.
  1. Moral dan fase-fase jalan menuju Allah
Pada dasarnya tasawuf pada abad ke-tiga dan ke-empat ini adalah ilmu tentang moral agama ( Islam ). Sebab aspek moral tasawuf pada masa ini berkaitan erat dan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya ataupun jalan keluarnya.
-          Al-Qusyairi di dalam kitabnya Al-Risalah Al-Qusyairiyyah berkata : “Yang dimaksud para sufi dengan penyakit jiwa adalah sifat-sifat hamba Allah yang sakit serta moral maupun tindakannya tercela”.
-          Al-Syahrawardi Al-Baghdadi dalam kitabnya “Awarif Al-Ma’arif”, menguraikan hubungan ilmu moral dengan ilmu jiwa dalam pandangan para sufi sebagai berikut : “Para sufi juga menaruh perhatian terhadap semua ilmu yang diisyaratkan pendahulu-pendahulunya dimana yang paling terkenal yaitu ilmu jiwa”.
-          Al-Kalabadzi dalam kitabnya “Al-Ta’arruf Li Madzhab Abi Al-Tashawwuf” berkata : hal pertama yang harus dikuasai yaitu ilmu dan pengetahuan tentang jiwa, memberikan latihan rohaniah atasnya dan meluruskan moralnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tampak jelas hubungan erat antara ilmu tasawuf sebagai ilmu moral dengan ilmu jiwa, dan para sufi meletakkan ilmu jiwa di bawah peringkat moral ataupun tasawuf.[1]
-          Al-Muhasibi
Dia adalah seorang ulama yang termashur dalam ilmu usul dan ilmu akhlak, dia adalah orang yang pertama kali membahas moral dan hal-hal yang berkaitan dengan latihan jiwa, taubat, sabar, tawakal, taqwa, takut, dll dan dia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syari’at dengan ilmu hakikat.

B.     Tasawuf Abad V
Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang menyebabkan timbulnya kesan yang sangat tidak baik thol tasawuf. Bertambah lama bertambah bersimpanglah jalannya dengan jalan yang dipilih oleh kaum fiqh. Kalau sekiranya di abad-abad. Ketiga dan keempat ada pertentangan dengan ilmu fiqh, maka setelah masuk abad kelima tasawuf bertambah naik ke puncaknya, sehingga telah mencapai soal-soal metafisika yang tinggi.
Pada pertengahan abad kelima timbullah seorang besar yang dapat memperdekat atau mempertautkan kembali segela perpecahan yang terjadi. Beliau adalah Abu Hamid Al-Ghazali. Dan pada abad kelima ini disebut Zaman Al-Ghazali.[2]
Al-Ghazali dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 Masyarakat,tigatahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.[3]
Di Madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizamiyah di Naisabun. Disini ia berguru kepada Imam Haramain ( Al-Juwaini, wafat 478 H / 1068 M ) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’rifq          ( lautan yang menghayutkan ). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer.
1)      Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memiliki tasawuf sunni yang berdasarkan  Al-Qur'an dan sunah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah.[4]
Ya sangat, menarik beliau dalam tasawuf ialah latihan-latihan jiwanya. Latihan mempertinggi sifat-sifat yang terpuji ( mahmudah ) dan menahan dorongan nafsu untuk sifat-sifat yang tercela ( madmumah ). Sehingga menjadi bersihlah hati sehingga dapat mendekati Tuhan, dengan dihiasi dzikir. Dipelajarinya dengan seksama perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya yang berhubungan dengan ilmu kebatinan. Sebagian besar yang dipentingkan adalah rasa ( Zauq ). Memperoleh tujuan yang sejati yaitu kebahagiaan dengan melalui bekal dan alat yaitu taqwa.[5]


2)      Pandangan Al-Ghazali  Tentang Ma’rifat
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat, karena syathahat memiliki kelemahan. Beliau menyodorkan paham baru tentang ma’rifat yakni pendekatan diri kepada Allah ( taqarrub ila Allah ) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Didalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Dhin, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang arif ( sufi ). Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, ma’rifat menurut Al-Ghazali dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf ilahi.[6]
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya ialah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah, yaitu ujud Tuhan meliputi segala ujud. Tidak ada yang ujud, melainkan Allah dan perbuatan Allah.[7]
3)      Pandangan Al-Ghazali Tentang  As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah ( ru’yatullah ). Dalam kitab “Kimiya As-Saladah”, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah sesuai dengan watak. Sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya, kenikmatan qalb ( sebagai alat memperoleh ma’rifat ) terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan yang paling agung karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia.[8]

Pada abad ke-V selain Al-Ghazali juga terdapat tokoh sufi yaitu :
-          Al-Qusyairi, Dia adalah tokoh terkemuka pada abad kelima hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengambilkan tasawuf berlandakan Al-Qur'an dan As-sunah yang merupakan ciri utama dari ajaran tasawuf, sunni, Al-Qusyairi mengecam keras pada sufi pada masanya karena kegemaran mereka memakai pakaian orang-orang miskin. Tokoh selanjutnya.


-          Al-Harawi : Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh. Al-Harawi berbicara tentang maqam ketenangan ( sakinah ) maqom ketenangan timbul dari perasaan rela terhadap Allah, sebagai pencegah timbulnya ungkapan-ungkapan yang aneh.[9]

C.    Tasawuf Abad VI
Pada tasawuf abad keenam datanglah aliran baru, yaitu perpaduan tasawuf dengan filsafat. Apad abad keenam ini, karena tasawuf banyak dipadu dengan filsafat maka dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.[10] Tokoh-tokohnya antara lain :
1.      Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. karya yang telah dihasilkannya antara lain Al-Futuhat Al-Makkiyah, tarjuman Al-Asuywan dan masih banyak lagi.[11]
Ajaran tasawuf dari Ibn Arabi adalah :
-          Wahdatul wujud ( kesatuan wujud ) yaitu bahwa wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakekatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakekat. Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara a’bid                           ( menyembah ) dengan ma’buat ( yang disembah ), keduanya adalah satu.[12]
-          Al-Haqiqat Ul Muhammadiyah, alam ini tidak dapat dipisahkan dadri ajaran hakikat muhammadiyah atau nur Muhammad. Menurut beliau, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak.
b.      Wujud hakekat muhammadiyah sebagai emanasi ( pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah yang wujud dengan proses tahapan penciptaan alam semesta.[13]

2.      Umar Ibn Al-Faridh
Dia berasal dari Homat ( Tarah Syam ), lahir di Mesir. Dia terkenal dengan keistimewaannya mengubah syair pencintaan kepada Tuhan. Syair yang bernilai tinggi dalam lapangan kecintaan kepada Tuhan. Dorongan rasa keindahan dalam jiwa yang sejati. Sama sekali adalah kesaksian terhadap yang haq, yang mutlak dan jujur, timbul dari kebersihan jiwa dan terang jernihnya penglihatan mata rohani.[14]
Syair kecintaan pada Tuhan dari Ibnu Faridh telah menimbulkan inspirasi bagi berpuluh dan beratus penyair lain, sehingga sesudah abad keenam dan ketujuh lahir syair-syair shufiyah.[15]

3.      Ibnu’l Sabi’in
Nama lengkapnya Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ajaran tasawufnya :
-          Paham kesatuan mutlak, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat yang pertama. Wujud Allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukan pada wujud mutlak yang rohaniah.
Pendapat Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut, merupakan dasar dari paham, khususnya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban dengan Allah.[16]
4.      Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Massarah. Ia merupakan seorang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh besar terhadap esoteric mazhab Al-Mariyyah. Ia termasuk sufi aliran ittihadiyyah. Ia penganut sejati aliran Mu'tazilah. Namun berpaling pada mazhab Neoplatonisme. Oleh karena itu ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani kuno.
Ajaran tasawufnya meliputi :
-          Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah.
-          Dengan penakwilan ala philun ( aliran isma’iliyyah ) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ia menolak adanya kebangkitan jasmani.
-          Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.[17]


















KESIMPULAN

a.       Pada abad ke-IV tasawuf terbagi menjadi 2 aliran yaitu aliran suci dan aliran filosofis. Dalam aliran sunni para pengasasnya mengkaitkan tasawuf tersebut dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalam aliran filosofis didalam tasawufnya terkandung pendapat-pendapat mereka tentang penyatuan dengan Tuhan ataupun hulul yang dicapai seorang sufi, yang bertitik tolakkan keadaan sirna ( fana ).
b.       Pada abad ke-V dikenal dengan tasawuf zaman Al-Ghazali, yang memuat ajaran tasawufnya adalah mempertinggi sifat-sifat terpuji ( mahmudah ) dan menahan dorongan hawa nafsu untuk sifat-sifat tercela ( madmunah ).
c.       Pada abad ke-VI dikenal dengan tasawuf falsafi, karena banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat seperti Socrates, plato, aristoteles, stoa, neo platonisme, dsb. Tokohnya antara lain :
1.      Ibn Arabi, ajaran tasawufnya mengenai Wahdatul Wujud dan Al-Haqiqat Ul Muhammadiyah.
2.      Umar Ibn Al-Faridh dengan ajaran tasawuf tentang syair percintaan pada Tuhan.
3.      Ibnu’l Sabi’in, dengan ajaran tasawufnya mengenai paham kesatuan mutlak.
4.      Ibn Masarrah, dengan ajaran tasawuf meliputi :
-          Jalan menuju keselamatan dengan menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah.
-          Menolak adanya kebangkitan jasmani
-          Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.

Demikian makalah ini kami sampaikan dan kami menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu apabila ada saran dan kritik yang sifatnya membangun kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR  PUSTAKA

§  Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1993.
§  Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
§  Dr. Asmaran AS., MA, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
§  Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung, Pustaka, 1985.


[1] Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, ( Bandung : Pustaka, 1985 ), hlm. 95-105.
[2] Prof. Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993 ), hlm. 119-120.
[3] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),             hlm. 109-112.
[4] Ibid, hlm. 113.
[5] Prof. Hamka, Op.Cit, hlm. 125.
[6] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.Cit, hlm. 115-116.
[7] Prof. Hamka, Op.Cit, hlm. 126.
[8] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),             hlm. 116.
[9] Dr. Asmaran AS., MA, Pengantar Studi Tasawuf, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 ).
[10] Prof. Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993 ), hlm. 132.
[11] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),             hlm. 144-145
[12] Ibid, hlm. 145-147.
[13] Ibid, hlm. 152-153.
[14] Prof. Hamka, Op.Cit, hlm. 146.
[15] Ibid, hlm. 148.
[16] Drs. Rosihan Anwar dan Muchtar Solihin, Op.Cit, hlm. 160-162.
[17] Ibid, hlm. 163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text