A.
Tasawuf
Pada Abad Ke-IV H
Tasawuf
abad ke IV H berkaitan dengan abad ke III H. Yang mana pada abad tersebut
terdapat dua aliran tasawuf. Yaitu pertama, aliran para sufi yang
pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk pada Al-Qur'an dan
As-Sunnah, atau pada aliran ini selalu bertandakan timbangan syari’ah.
Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka
sering mengucapkan kata-kata ganjil ( syathahat ) mereka menumbuhkan
konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah.
- Ma’rifat
Beberapa
tokoh yang mempermasalahkan ma’rifat diantaranya :
1)
Ma’ruf
Al-Karkhi ( meninggal tahun 200 H )
Ma’rifat Al-Karkhi merupakan orang
pertama yang mendefinisikan tasawuf dengan ; Tasawuf ialah menimba hakekat
realitas-realitas dan berputus asa terhadap apapun yang ditangan makhluk.
Tasawuf menurut Ma’ruf Al-Karkhi didasarkan pada syari’ah dan tuntutan-tuntutan
amal ibadah maupun ketaatannya. Sedangkan ilmu itu harus berkaitan dengan amal,
sebagaimana katanya : “Jika seorang alim beramal dengan ilmunya maka akan
luruslah kalbu orang-orang yang beriman,dan dia akan dibenci oleh orang-orang
yang kalbunya sakit”.
2)
Abu
Sulaiman Al-Darani
Diantara
kata-katanya ialah : “Tidak ada seorangpun bersikap asketis terhadap pesona
dunia ini, kecuali yang pada kalbunya, oleh Allah diletakan cahaya yang
membuatnya selalu terpesona oleh hal akherat”. Dalam hal ini dia
mengemukakan ide cahaya yang menjadi landasan pengetahuan mistis serta
pencapaian kalbu.
Hakikat,
menurut Abu Sulaiman Al-Darani berkaitan erat dengan syari’ah. Hal itu
ditegaskan dalam ucapannya : “Selama beberapa waktu aku tertimpa persoalan
aliran ini ( maksudnya para sufi ), sementara aku tidak bisa menerimanya (
maksudnya menerima dari kalbunya ) kecuali disertai dua saksi yang adil
Al-Qur'an dan As-Sunnah”.
3)
Dzun Nun
Dzun
Nun adalah orang yang paling menonjol, serta pendapat-pendapatnya paling terkenal.
Dia terkenal dengan keluasan ilmunya, kerendahan hatinya dan budi pekertinya
yang baik. Dzun Nun cenderung mengkaitkan ma’rifat dengan syari’ah sebagaimana
katanya tanda seorang arif itu tiga : cahaya ma’rifatnya tidak memudarkan
cahaya kerendah hatiannya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal
hukum lahirlah, dan banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya melanggar
tirai-tirai larangan-Nya.
- Moral dan fase-fase
jalan menuju Allah
Pada dasarnya tasawuf pada abad
ke-tiga dan ke-empat ini adalah ilmu tentang moral agama ( Islam ). Sebab aspek
moral tasawuf pada masa ini berkaitan erat dan pembahasan jiwa, klasifikasinya,
uraian kelemahannya, penyakitnya ataupun jalan keluarnya.
-
Al-Qusyairi
di dalam kitabnya Al-Risalah Al-Qusyairiyyah berkata : “Yang dimaksud para sufi
dengan penyakit jiwa adalah sifat-sifat hamba Allah yang sakit serta moral
maupun tindakannya tercela”.
-
Al-Syahrawardi
Al-Baghdadi dalam kitabnya “Awarif Al-Ma’arif”, menguraikan hubungan ilmu moral
dengan ilmu jiwa dalam pandangan para sufi sebagai berikut : “Para sufi juga
menaruh perhatian terhadap semua ilmu yang diisyaratkan pendahulu-pendahulunya
dimana yang paling terkenal yaitu ilmu jiwa”.
-
Al-Kalabadzi
dalam kitabnya “Al-Ta’arruf Li Madzhab Abi Al-Tashawwuf” berkata : hal pertama
yang harus dikuasai yaitu ilmu dan pengetahuan tentang jiwa, memberikan latihan
rohaniah atasnya dan meluruskan moralnya.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa tampak jelas hubungan erat antara ilmu tasawuf sebagai ilmu
moral dengan ilmu jiwa, dan para sufi meletakkan ilmu jiwa di bawah peringkat
moral ataupun tasawuf.[1]
-
Al-Muhasibi
Dia adalah seorang ulama yang
termashur dalam ilmu usul dan ilmu akhlak, dia adalah orang yang pertama kali
membahas moral dan hal-hal yang berkaitan dengan latihan jiwa, taubat, sabar,
tawakal, taqwa, takut, dll dan dia adalah salah seorang sufi yang
mengkompromikan ilmu syari’at dengan ilmu hakikat.
B.
Tasawuf
Abad V
Kematian
Al-Hallaj di atas tiang kayu palang menyebabkan timbulnya kesan yang sangat
tidak baik thol tasawuf. Bertambah lama bertambah bersimpanglah jalannya dengan
jalan yang dipilih oleh kaum fiqh. Kalau sekiranya di abad-abad. Ketiga dan
keempat ada pertentangan dengan ilmu fiqh, maka setelah masuk abad kelima
tasawuf bertambah naik ke puncaknya, sehingga telah mencapai soal-soal
metafisika yang tinggi.
Pada
pertengahan abad kelima timbullah seorang besar yang dapat memperdekat atau
mempertautkan kembali segela perpecahan yang terjadi. Beliau adalah Abu Hamid
Al-Ghazali. Dan pada abad kelima ini disebut Zaman Al-Ghazali.[2]
Al-Ghazali
dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058
Masyarakat,tigatahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi
ulama dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang
wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada
seorang sufi. Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari
harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya.
Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola
sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.[3]
Di
Madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad
Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizamiyah di Naisabun.
Disini ia berguru kepada Imam Haramain ( Al-Juwaini, wafat 478 H / 1068 M )
hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh – ushul fiqh, filsafat, tasawuf
dan retorika perdebatan. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini
benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para
ahli ilmu tersebut. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki
Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’rifq
( lautan yang menghayutkan ). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir
yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer.
1)
Ajaran
Tasawuf Al-Ghazali
Dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memiliki tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunah Nabi ditambah dengan
doktrin Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah.[4]
Ya
sangat, menarik beliau dalam tasawuf ialah latihan-latihan jiwanya. Latihan
mempertinggi sifat-sifat yang terpuji ( mahmudah ) dan menahan dorongan nafsu
untuk sifat-sifat yang tercela ( madmumah ). Sehingga menjadi bersihlah hati
sehingga dapat mendekati Tuhan, dengan dihiasi dzikir. Dipelajarinya dengan
seksama perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya yang
berhubungan dengan ilmu kebatinan. Sebagian besar yang dipentingkan adalah rasa
( Zauq ). Memperoleh tujuan yang sejati yaitu kebahagiaan dengan melalui bekal
dan alat yaitu taqwa.[5]
2)
Pandangan
Al-Ghazali Tentang Ma’rifat
Al-Ghazali
menilai negatif terhadap syathahat, karena syathahat memiliki kelemahan. Beliau
menyodorkan paham baru tentang ma’rifat yakni pendekatan diri kepada Allah (
taqarrub ila Allah ) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Didalam kitab Ihya’
Ulum Ad-Dhin, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan
bagi orang awam, ulama dan orang arif ( sufi ). Ma’rifat seorang sufi tidak
dihalangi oleh hijab, ma’rifat menurut Al-Ghazali dibangun atas dasar dzauq
rohani dan kasyf ilahi.[6]
Menurut
Al-Ghazali, ma’rifat bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Ilmu yang sejati
atau ma’rifat yang sebenarnya ialah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah,
yaitu ujud Tuhan meliputi segala ujud. Tidak ada yang ujud, melainkan Allah dan
perbuatan Allah.[7]
3)
Pandangan
Al-Ghazali Tentang As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (
ru’yatullah ). Dalam kitab “Kimiya As-Saladah”, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah
sesuai dengan watak. Sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya, kenikmatan qalb
( sebagai alat memperoleh ma’rifat ) terletak ketika melihat Allah. Melihat
Allah merupakan kenikmatan yang paling agung karena ma’rifat itu sendiri agung
dan mulia.[8]
Pada abad ke-V selain Al-Ghazali juga terdapat tokoh sufi yaitu :
-
Al-Qusyairi,
Dia adalah tokoh terkemuka pada abad kelima hijriyah, yang cenderung mengadakan
pembaharuan, yakni dengan mengambilkan tasawuf berlandakan Al-Qur'an dan
As-sunah yang merupakan ciri utama dari ajaran tasawuf, sunni, Al-Qusyairi
mengecam keras pada sufi pada masanya karena kegemaran mereka memakai pakaian
orang-orang miskin. Tokoh selanjutnya.
-
Al-Harawi
: Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh. Al-Harawi
berbicara tentang maqam ketenangan ( sakinah ) maqom ketenangan timbul dari
perasaan rela terhadap Allah, sebagai pencegah timbulnya ungkapan-ungkapan yang
aneh.[9]
C.
Tasawuf
Abad VI
Pada
tasawuf abad keenam datanglah aliran baru, yaitu perpaduan tasawuf dengan
filsafat. Apad abad keenam ini, karena tasawuf banyak dipadu dengan filsafat
maka dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.[10]
Tokoh-tokohnya antara lain :
1.
Ibn Arabi
Nama
lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al-Haitami. Ia
lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. karya yang telah
dihasilkannya antara lain Al-Futuhat Al-Makkiyah, tarjuman Al-Asuywan dan masih
banyak lagi.[11]
Ajaran
tasawuf dari Ibn Arabi adalah :
-
Wahdatul
wujud ( kesatuan wujud ) yaitu bahwa wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan
pada hakekatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan
antara keduanya dari segi hakekat. Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara a’bid
( menyembah ) dengan ma’buat ( yang disembah ), keduanya adalah satu.[12]
-
Al-Haqiqat
Ul Muhammadiyah, alam ini tidak dapat dipisahkan dadri ajaran hakikat
muhammadiyah atau nur Muhammad. Menurut beliau, tahapan-tahapan kejadian proses
penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a.
Wujud
Tuhan sebagai wujud mutlak.
b.
Wujud
hakekat muhammadiyah sebagai emanasi ( pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan
kemudian muncullah yang wujud dengan proses tahapan penciptaan alam semesta.[13]
2.
Umar Ibn
Al-Faridh
Dia
berasal dari Homat ( Tarah Syam ), lahir di Mesir. Dia terkenal dengan
keistimewaannya mengubah syair pencintaan kepada Tuhan. Syair yang bernilai
tinggi dalam lapangan kecintaan kepada Tuhan. Dorongan rasa keindahan dalam
jiwa yang sejati. Sama sekali adalah kesaksian terhadap yang haq, yang mutlak
dan jujur, timbul dari kebersihan jiwa dan terang jernihnya penglihatan mata
rohani.[14]
Syair
kecintaan pada Tuhan dari Ibnu Faridh telah menimbulkan inspirasi bagi berpuluh
dan beratus penyair lain, sehingga sesudah abad keenam dan ketujuh lahir
syair-syair shufiyah.[15]
3.
Ibnu’l
Sabi’in
Nama
lengkapnya Ibn Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr.
Seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ajaran tasawufnya :
-
Paham
kesatuan mutlak, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Ibn Sabi’in
menempatkan ketuhanan pada tempat yang pertama. Wujud Allah, menurutnya adalah
asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara
wujud materi yang tampak justru dirujukan pada wujud mutlak yang rohaniah.
Pendapat
Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut, merupakan dasar dari paham,
khususnya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban dengan
Allah.[16]
4.
Ibn
Masarrah
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Massarah. Ia merupakan seorang sufi
sekaligus filosof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh besar terhadap
esoteric mazhab Al-Mariyyah. Ia termasuk sufi aliran ittihadiyyah. Ia penganut
sejati aliran Mu'tazilah. Namun berpaling pada mazhab Neoplatonisme. Oleh
karena itu ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani kuno.
Ajaran tasawufnya meliputi :
-
Jalan
menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah.
-
Dengan
penakwilan ala philun ( aliran isma’iliyyah ) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ia
menolak adanya kebangkitan jasmani.
-
Siksa
neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.[17]
KESIMPULAN
a.
Pada abad
ke-IV tasawuf terbagi menjadi 2 aliran yaitu aliran suci dan aliran filosofis.
Dalam aliran sunni para pengasasnya mengkaitkan tasawuf tersebut dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalam aliran filosofis didalam tasawufnya
terkandung pendapat-pendapat mereka tentang penyatuan dengan Tuhan ataupun
hulul yang dicapai seorang sufi, yang bertitik tolakkan keadaan sirna ( fana ).
b.
Pada abad
ke-V dikenal dengan tasawuf zaman Al-Ghazali, yang memuat ajaran tasawufnya
adalah mempertinggi sifat-sifat terpuji ( mahmudah ) dan menahan dorongan hawa
nafsu untuk sifat-sifat tercela ( madmunah ).
c.
Pada abad
ke-VI dikenal dengan tasawuf falsafi, karena banyak dipengaruhi oleh
aliran-aliran filsafat seperti Socrates, plato, aristoteles, stoa, neo
platonisme, dsb. Tokohnya antara lain :
1.
Ibn Arabi,
ajaran tasawufnya mengenai Wahdatul Wujud dan Al-Haqiqat Ul Muhammadiyah.
2.
Umar Ibn
Al-Faridh dengan ajaran tasawuf tentang syair percintaan pada Tuhan.
3.
Ibnu’l
Sabi’in, dengan ajaran tasawufnya mengenai paham kesatuan mutlak.
4.
Ibn
Masarrah, dengan ajaran tasawuf meliputi :
-
Jalan
menuju keselamatan dengan menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah.
-
Menolak
adanya kebangkitan jasmani
-
Siksa
neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
Demikian
makalah ini kami sampaikan dan kami menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu apabila ada saran dan kritik yang sifatnya membangun kami ucapkan
terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
§ Hamka,
Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panjimas,
1993.
§ Rosihan
Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
§ Dr.
Asmaran AS., MA, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002.
§ Al-Taftazani,
Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung, Pustaka, 1985.
[2] Prof. Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, (
Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993 ), hlm. 119-120.
[3] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (
Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),
hlm. 109-112.
[8] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (
Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),
hlm. 116.
[10] Prof. Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, (
Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993 ), hlm. 132.
[11] Drs. Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (
Bandung : Pustaka Setia, 2000 ),
hlm. 144-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar