Social Icons

Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Abad I dan Abad II


Ilmu dan Sejarah

1.   Perpautan Ilmu dan Sejarahnya
Sebelum kita mempelajari hadits, terlebih dahulu kita mempelajari pengantarnya yang meliputi sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya dan pokok-pokok dasar yang menjadi pedoman dalam menghadapinya ( hadits ).
Apakah faedah kita mempelajari hadits dan sejarah ilmu-ilmunya sebelum kita mempelajari hadits ?
Dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh ilmu itu              (sejarah perkembangannya), dapatlah kita mengetahui betapa proses pertumbuhannya dan perkembangannya dari masa ke masa. Mempelajari sejarah perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, amat diperlukan karena dipandang satu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan.
  1. Soal-soal yang dihadapi dalam mempelajari sejarah ilmu hadits.
Mempelajari sejarah ilmu hadits harus dititik beratkan kepada dua soal yang terpokok :
a.       Mempelajari periode-periode ilmu hadits dan nadhariyah-nadhariyahnya, serta memperhatikan keadaan masyarakat yang telah mendukung nadhariyah-nadhariyah itu dan lapangan-lapangan yang telah ditempuh olehnya.
b.      Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadits dengan sedalam-dalamnya.
Selain dari itu, kita pelajari manhaj-manhaj yang telah dijalani dan tujuan-tujuan yang dimaksudkan serta nilai-nilai hasil yang telah diperoleh. Demikian pula natijah-natijah yang telah dicapai.
B.  Hadits Dalam Periode Pertama ( Masa Rasul )
Masa pertama : masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi dibangkit hingga beliau wafat pada tahun 11 H.             ( dari 13 S.H. – 11 H ).
  1. Masa pertumbuhan hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya.
Rasul hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi dikala beliau tak ada dirumah dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab.
Nabi bergaul dengan mereka dirumah, dimasjid, dipasar, dijalan, didalam safar dan didalam hadlar.
  1. Para sahabat yang banyak menerima pelajaran dari Nabi
a.       Yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as sabiqunal awwalun, seperti Khulafa Empat dan Abddullah Ibnu Mas’ud.
b.      Yang selalu belajar disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Hurairah.
c.       Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn Abbas.
d.      Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu : Ummahatul Mu’minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.
  1. Sebab-sebab hadits ditulis tiap-tiap Nabi menyampaikannya
Perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak boleh membukukan hadits disebabkan oleh faktor-faktor ini :
a.       Mentadwinkan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah keadaan yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut diatas padahal orang-orang  yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.
b.      Karena orang Arab – disebabkan mereka tak pandai menulis dan membaca tulisan – kuat berpegang pada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
c.       Karena dikhawatirkan akan bercampur dengan catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur'an dengan tidak disengaja.
Muslim memberitakan dari Abu Said Al-Khudry, bahwa Nabi SAW bersabda :

“Jangan anda tulis apa yang anda dengar daripadaku, selain dari Al-Qur'an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu yang selain dari Al-Qur'an, hendaklah dihapuskan’.
           
Dan Nabi bersabda lagi :

“Dan ceritakanlah daripadaku . Tak ada keberatan anda ceritakan apa yang anda dengar daripadaku. Barang siapa berdusta terhadap diriku (membuat sesuatu kedustaan, padahal aku tidak mengatakannya) hendaklah dia bersedia menempati kediamannya didalam neraka”.
Hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi. Memang ada beberapa atsar yang shahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadits dimasa Nabi.
  1. Kedudukan usaha menulis hadits dimasa Nabi SAW
Riwayat-riwayat yang benar menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasulullah SAW, seperti Shahifah Abdullah Ibn Amer Ibn ‘Ash yang dinamai Ash Shadiqah.
Ada pula riwayat yang menerangkan baha Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis didalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga dan lain-lainnya.
Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah itu. Mereka berkata kepada Abdullah, “Anda selalu menulis apa yang ada dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum”.
Mendengar itu Abdullah pergi bertanya kepada Nabi, apakah boleh dia menulis hadits-hadits yang didengarnya dari Nabi. Nabi bersabda :

“Tulislah apa yang anda dengar daripadaku, demi Tuhan yang jiwaku ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku selain kebenaran”.

  1. Pembatalan larangan menulis hadits
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita fahamkan bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Qur'an, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhary yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam keadaan sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, dikala itu Nabi dalam keadaan sakit berat, menghalanginya karena ditakuti menambah sakit beliau.
Dan dapat pula dipahamkan bahwa sesudah Al-Qur'an dibukukan barulah di keluarkan izin menulis sunnah.
C.  Hadits Dalam Periode Kedua ( Masa Khulafaur Rasyidin – Masa Membatasi Riwayat ).
  1. Sikap sahabat terhadap usaha mengembangkan hadits sebelum dan sesudah Nabi wafat.
Perintah mentablighkan hadits, diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Amer Ibnu Ash, bahwa Nabi SAW bersabda :

“Sampaikanlah daripadaku, walaupun hanya seayat”.
Kata Al-Mudhiry, “Makna hadits ini ialah sampaikanlah daripadaku segala hadits-haditsku walaupun hanya sedikit”.
Kata Al-Baidlawy, Nabi bersabda, walaupun seayat. Beliau tidak mengatakan walaupun sehadits, karena perintah menyapaikan hadits (mentabligkannya) dapat difahamkan dari hadits ini dengan jalan Aulawiyah (lebih patut atau lebih perlu) lantaran ayat Al-Qur'an walaupun sudah tersebar dan banyak pendukungnya, Allah sendiri telah menjamin terpelihara dari hilang dan rusak.
  1. Hadits dimasa Abu Bakar dan Umar
Para sahabat, sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam dikota Mekkah, mereka pergi kekota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lainpun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para sahabat itu.
Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam karangan tabi’in. Perkembangan hadits dan memperbanyak riwayatnya, yang terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar yaitu masa Utsman dan Ali.
  1. Sebab-sebab pada masa Abu Bakar dan Umar hadits tidak tersebar dengan pesat
Dengan tegas-tegas menerangkan bahwa Umar di ketika memegang tampuk ke khalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang membanyakan periwayatan hadits. Saat mengutus utusan ke Irak, beliau mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al-Qur'an dan mengembangan kebagusan tajwidnya serta mencegah mereka membanyakan riwayat.
  1. Cara-cara para sahabat meriwayatkan hadits
Cara sahabat-sahabat Nabi meriwayatkan hadits ada dua :
a.       Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi dan yang mereka hafal benar dari lafal Nabi itu.
b.      Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli dari Nabi.
  1. Lafal-lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkan hadits dan nilai-nilainya.
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi, maupun perbuatannya. Para ahli ushul membaginya kepada lima derajat :
a.       Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, sami’tu Rasulullahi yaqulu kadza = saya dengar Rasulullah SAW berkata begini  ..... , atau akhbarani = mengkhabarkan kepadaku ...... , atau haddatsani = menceritakan kepadaku  ....... , atau syafahani = berbicara dihadapanku  .......
b.      Derajat kedua, ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rasulullah SAW bergini, atau mengkhabarkan Rasul begini, atau  menceritakan Rasul begini.
c.       Derajat ketiga, ialah seorang shahaby berkata, Rasulullah SAW menyuruh begini, atau menegah ini. Ini dihukum marfu’ menurut madzhab jumhur.
d.      Derajat keempat, ialah seorang shahaby berkata, Kami diperintahkan begini, atau ditegahkan begini.
e.       Derajat kelima, ialah seorang shahaby berkata, Adalah mereka (kami) para sahabat berbuat begini. Maka jika disandarkan kepada zaman Rasul, memberi pengertian boleh.
  1. Ketelitian para sahabat dalam menerima hadits dari sesama sahabat
Sahabat Rasulullah SAW dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui isi Al-Qur'an dengan sepenuhnya. Mereka dengan segera mengikuti segala awammir dan menjauhi segala nawahi. Apabila mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul mereka bersegera mengajarkannya kepada orang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanat dan untuk mencari rahmat.
Dengan demikian segeralah hadits-hadits itu tersebar dikalangan ummat. Maka apabila hadits itu terlupa oleh seseorang, tetap ada orang yang menghafalnya.
  1. Hadits di masa Utsman dan Ali
Di ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman r.a. dan dibuka pintu perlawatan kepada para sahabat serta umat mulai memerlukan sahabat, istimewa sahabat-sahabat kecil, bergeraklah sahabat-sahabat kecil mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat untuk mencari hadits.
  1. Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan hadits dan mengumpulkannya dalam sebuah buku
Para sahabat tidak membukukan hadits dikarenakan lafal-lafal sunnah itu tidak terjamin kesempurnaannya sebagaimana Allah telah menjaga                 Al-Qur'an dengan nadhamnya yang paling indah yang tak dapat diciptakan oleh manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text