Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

hasan al bisri dan al ghazali


BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Amin Syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengkaitkan ahwal ( keadaan ) dan maqamat                         ( tingkatan rohaniah ) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf, dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
Berikut ini adalah contoh sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaki.










BAB  II
PEMBAHASAN

A.    HASAN AL-BASHRI
1.     Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H ( 632 M ) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H ( 728 H ). Ia dilahirkan dua malam Sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan badar dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohaniaan senantiasa didasarkan pada Sunnah Nabi. Sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebenarannya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas bin Malik – sahabat Nabi yang utama – untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri                                 ( keistimewaannya ). Tidak ada seorang tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi lainnya”.
Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Basrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan                   Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam tak heran kalau ia menjadi Imam di Bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Tak heran pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh segmen masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur'an.

2.     Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut : “Takut ( khauf ) dan pengharapan ( raja’ ) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan ia ( Hasan Al-Bashri )”.
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini :
a.        “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut”.
b.       “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya”.
c.        “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan”.
d.       “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya”.
e.        “Orang yang beriman akan senantiasa berduka – cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggi serta bahaya yang akan mengancam”.
f.        “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya”.
g.       “Banya duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh”.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat Islam, mengatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya setelah kami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung yang besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah :
“Anak Adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau dia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga, adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.

B.    Al-GHAZALI
1.     Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H / 1058 M, 3 tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang Sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu, seraya berkata dalam wasiatnya :
“( Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kuperoleh itu melalui dua putraku ini )”.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harga titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Dimadrasah tersebut Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain ( Al-Juwaini, wafat 478 H / 1086 M ) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan restorika perdebatan.
Selama berada di naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal ini belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuliki Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq “ (lautan yang menghanyutkan ). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa secara diam-diam, dihati Imam Haramain timbul rasa iri dan mendorongnya untuk mengatakan :
“( Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal kebenaranku telah mati )?”.
Setelah Imam Haramain wafat ( 478 H / 1086 M ), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham                Al-Muluk ( w. 485 H / 1091 M ). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perbedabatan-perbedatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga merekapun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak itu nama Al-Ghazali menjadi termashyur di kawasan kerajaan Saljuk. Kemashyuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nihamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H / 1090 M. meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebadan dengan golongan-golongan yang berkembang pada saat itu.
Kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran menimbulkan pergolakan dalam diri Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan menimbulkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1114 M, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naizabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mnegarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia mempergunakan waktu tiga puluh tahun untuk mengarang. Dengan demikian, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain : filsafat dan ilmu kalam, fiqh-Ushul fiqh, takfsir, tasawfu dan akhlak.
Karya-karyanaya itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. Di kalangan Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal  ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh setelah Rasulullah SAW. Mungkin tampak berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilai serupa itu. Uniknya lagii, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh dikalangan Islam, tetapi juga di kalangan Agama Yahudi dan Kristen “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maymun ( Moses the Maimonides ). Karya-karyanya yang penting dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi itu menujukkan bahwa ia berada di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali.
Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama halnya dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai “titisan” Kristen dari                      Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen ( katolik ) melalui Orde Franciscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam sehingga memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibandingkan dengan ordo-ordo lainnya, seperti ungkapan dalam novel bess seller – nya Umberto Eco, the Name of the Rose.
Banyak literatur-litaratur yang menyebutkan tentang jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradaban Islam. Cyill Glasse, misalnya mneyebutkan “Peradaban Islam mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali. Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya bahwa tidak ada manusia yang sempurna maka Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.

2.     Ajaran tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Ditambah dengan doktrin ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnosis yang memperngaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syiah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya adalah psiko – moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya, seperti Ihya “Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidi, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas sari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka baik lahir maupun bagian, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya keanbian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathanat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. dengan demikian, ia menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia bersedia memaafkan Al-Hallaj dan Yazid                  Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani keliru dalam menilai tuhannya, seakan-akan ia berada pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah ( Taqarrub Ila Allah ) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskirpsikan jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menurut versi           Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan                      ( maqamat ) dan keadaan ( ahwal ).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagia sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada ma’rifa yan membantu menciptakan ( sa’adah ).
a.     Pandangan Al-Ghazali tentang ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong. Pada saat itulah, ketiganya menerima iluminasi ( kasyf ) dari Allah dengan menurunkan               cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disini sampailah ia ke tingkat ma’rifat. Di dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang arif ( sufi ). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama’, keyakinan adanya si Fulan dirumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.
Ma’rifat seoran sufi tidak dihalangi oleh hijab sebagiamana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama / mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berada antara Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.


b.     Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah ( ru’yatullah ). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah ( kebahagiaan ) itu sesuai dengan watak ( tabiat ). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata, terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak ketika mengdengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb – sebagai alat memperoleh ma’rifat – terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan yang lainnya. Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih bangga / senang dari pada perasaan dapat bertemu menteri. Apalagi bila mampu berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan tergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

BAB  III
KESIMPULAN
1.       Gerakan tasawuf dalam Islam pada mulanya dari kezuhudan para abid ( ahli ibadah ) yang membaktikan diri secara tulus dan ikhlas kepada Allah SWT.
2.       Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku, nafsu dan sifat-sifat.
3.       Pada zaman setelah zaman sahabat sampai abad V H terdapat para tokoh penggerak kerohanian, diantaranya adalah Hasan Al-Bishri, Al-Ghazali                       Al-Qusyairi dan Al-Muhasibi.
4.       Ajarannya Hasan Al-Bishri dijadikan kitab pedoman utama bagi Imam-Imam sufi diseluruh penjuru dunia.

DAFTAR  PUSTAKA
Ø  Syukur, Amin, Rasionalisme Dalam Tasawuf, IAIN Wali Songo, Semarang, 1994.
Ø  Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986.
Ø  ‘Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-‘Arobi, Dar Al-‘Ilm Al-Malayin, Bairut, 1983.
Ø  Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din Al-Falasafah, Dar Al-Nahdhah Al-‘Arabiyyah, Kairo, 1979.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text