BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Amin Syukur, ada
dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf sunni, yaitu
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits secara
ketat, serta mengkaitkan ahwal ( keadaan ) dan maqamat ( tingkatan rohaniah ) mereka pada dua
sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf
yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau
filsafat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf, dan juga tidak dapat
sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
Berikut ini adalah contoh
sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaki.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan
Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid
yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21
H ( 632 M ) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H ( 728
H ). Ia dilahirkan dua malam Sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia
dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan
badar dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang
mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan,
kemurnian akhlak dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya
tentang kerohaniaan senantiasa didasarkan pada Sunnah Nabi. Sahabat Nabi yang
masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebenarannya. Suatu ketika seseorang
datang kepada Anas bin Malik – sahabat Nabi yang utama – untuk menanyakan
persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai
kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah
kepada syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri (
keistimewaannya ). Tidak ada seorang tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi
lainnya”.
Karir
pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh
ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Basrah, tempat yang
membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak
keilmuannya ia peroleh di sana.
Hasan
Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam tak heran kalau ia
menjadi Imam di Bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Tak heran pula
kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh segmen masyarakat. Disamping dikenal
sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan
berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi
kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur'an.
2. Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Na’im
Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut :
“Takut ( khauf ) dan pengharapan ( raja’ ) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat
Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “Demikian
takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan ia (
Hasan Al-Bashri )”.
Lebih jauh
lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini :
a.
“Perasaan takut yang menyebabkan
hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan
takut”.
b.
“Dunia adalah negeri tempat beramal.
Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan
berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan
akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya”.
c.
“Tafakur membawa kita pada kebaikan
dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat
menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana
betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun
sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh
tipuan”.
d.
“Dunia ini adalah seorang janda tua
yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya”.
e.
“Orang yang beriman akan senantiasa
berduka – cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan
takut; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang
masih tinggi serta bahaya yang akan mengancam”.
f.
“Hendaklah setiap orang sadar akan
kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak
menagih janjinya”.
g.
“Banya duka cita di dunia memperteguh
semangat amal saleh”.
Berkaitan
dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat
Islam, mengatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-bashri didasari oleh rasa
takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya setelah kami teliti
ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya,
tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya mendasari
tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “orang
beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana
orang duduk dibawah sebuah gunung yang besar yang senantiasa merasa takut
gunung itu akan menimpa dirinya”.
Diantara
ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi
adalah :
“Anak Adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau dia binasa,
binasalah engkau
Dan orang yang telah
selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat yang
bukan surga, adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana
yang bukan neraka adalah mudah.
B. Al-GHAZALI
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah,
suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H / 1058 M, 3 tahun setelah kaum
Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah
Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama,
dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya,
ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang
Sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu, seraya berkata dalam
wasiatnya :
“( Aku menyesal sekali
karena aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak
kuperoleh itu melalui dua putraku ini )”.
Sufi
tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari harga titipannya
habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi
itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah
sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Dimadrasah
tersebut Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad
Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di
Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain ( Al-Juwaini, wafat 478
H / 1086 M ) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh,
filsafat, tasawuf, dan restorika perdebatan.
Selama
berada di naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini tetapi juga
mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj.
Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal ini belum
mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu
yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali,
termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu
memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya
dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuliki Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr
Mu’riq “ (lautan yang menghanyutkan ). Kecerdasan dan keluasan wawasan
berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer. Bahkan, ada
riwayat yang menyebutkan bahwa secara diam-diam, dihati Imam Haramain timbul
rasa iri dan mendorongnya untuk mengatakan :
“( Engkau telah memudarkan
ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal
kebenaranku telah mati )?”.
Setelah Imam
Haramain wafat ( 478 H / 1086 M ), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota
tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk ( w. 485 H / 1091 M ).
Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya
perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika
perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perbedabatan-perbedatan
itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga merekapun tidak
segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak itu
nama Al-Ghazali menjadi termashyur di kawasan kerajaan Saljuk. Kemashyuran itu
menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di
Universitas Nihamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H / 1090 M. meskipun
usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif
mengadakan perdebadan dengan golongan-golongan yang berkembang pada saat itu.
Kegiatan
perdebatan dan penyelaman berbagai aliran menimbulkan pergolakan dalam diri
Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Ia pun
memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan menimbulkan Baghdad menuju Syiria,
Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh
kebenaran hakiki pada akhir hidupnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan
nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1114 M, atau pada hari
Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah, dengan meninggalkan banyak karya
tulisnya. Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan
keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa
hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad,
baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naizabur maupun setelah berada dalam
keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut
Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mnegarang pada
usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia mempergunakan waktu tiga puluh
tahun untuk mengarang. Dengan demikian, setiap tahun ia menghasilkan karya
tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, yang meliputi beberapa bidang
ilmu pengetahuan, antara lain : filsafat dan ilmu kalam, fiqh-Ushul fiqh,
takfsir, tasawfu dan akhlak.
Karya-karyanaya
itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang pemikir kelas dunia yang
sangat berpengaruh. Di kalangan Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam
hal ajaran, ia adalah orang kedua yang
paling berpengaruh setelah Rasulullah SAW. Mungkin tampak berlebihan, tetapi
banyak unsur yang mendukung kebenaran penilai serupa itu. Uniknya lagii,
pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh dikalangan Islam, tetapi juga di
kalangan Agama Yahudi dan Kristen “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi
tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maymun ( Moses the
Maimonides ). Karya-karyanya yang penting dalam sejarah perkembangan filsafat
Yahudi itu menujukkan bahwa ia berada di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali.
Di kalangan
Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura.
Sama halnya dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai
“titisan” Kristen dari
Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga
memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen ( katolik ) melalui Orde
Franciscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam
sehingga memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibandingkan dengan
ordo-ordo lainnya, seperti ungkapan dalam novel bess seller – nya
Umberto Eco, the Name of the Rose.
Banyak
literatur-litaratur yang menyebutkan tentang jasa-jasa Al-Ghazali bagi
peradaban Islam. Cyill Glasse, misalnya mneyebutkan “Peradaban Islam mencapai
kematangannya berkat Al-Ghazali. Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan.
Namun, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya
bahwa tidak ada manusia yang sempurna maka Al-Ghazali pun tidak lepas dari
kekurangan.
2. Ajaran tasawuf Al-Ghazali
Di dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur'an
dan sunnah Nabi. Ditambah dengan doktrin ahlu Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnosis yang
memperngaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syiah,
Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya,
dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Corak
tasawufnya adalah psiko – moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini
dapat dilihat dari karya-karyanya, seperti Ihya “Ulum Al-Din, Minhaj
Al-‘Abidi, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad.
Menurut
Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu lepas sari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat
Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan
hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan
moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka baik lahir
maupun bagian, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya keanbian di dunia
ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali
menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathanat
mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah,
hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan
Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat
merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. dengan
demikian, ia menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia bersedia memaafkan
Al-Hallaj dan Yazid
Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan
orang-orang Nasrani keliru dalam menilai tuhannya, seakan-akan ia berada pada
diri Al-Masih.
Al-Ghazali
sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah ( Taqarrub
Ila Allah ) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. jalan menuju ma’rifat
adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya,
Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskirpsikan jalan menuju Allah SWT.
Ma’rifat menurut versi
Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan
menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan ( maqamat ) dan
keadaan ( ahwal ).
Oleh karena
itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu
memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu
kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
Al-Ghazali
menjadikan tasawuf sebagia sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga
sampai pada ma’rifa yan membantu menciptakan ( sa’adah ).
a. Pandangan Al-Ghazali tentang ma’rifat
Menurut
Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan
roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip
dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada.
jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan
dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong. Pada saat
itulah, ketiganya menerima iluminasi ( kasyf ) dari Allah dengan
menurunkan cahaya-Nya
kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disini
sampailah ia ke tingkat ma’rifat. Di dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din,
Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang
awam, ulama dan orang arif ( sufi ). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan
bahwa si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taqlid,
yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di rumah, tanpa
menyelidikinya lagi. Bagi ulama’, keyakinan adanya si Fulan dirumah dibangun
atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak
kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya
melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam
rumah.
Ma’rifat seoran sufi tidak
dihalangi oleh hijab sebagiamana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah
dengan mata kepalanya sendiri. ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali
tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama /
mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq
rohani dan kasyf ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh
para khawash auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah
sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi
perolehan ilmu ini, berada antara Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu
Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu
melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (
ru’yatullah ). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan
bahwa As-Sa’adah ( kebahagiaan ) itu sesuai dengan watak ( tabiat ).
Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata,
terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak
ketika mengdengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh,
mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb
– sebagai alat memperoleh ma’rifat – terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat
itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi
kenikmatan yang lainnya. Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih
bangga / senang dari pada perasaan dapat bertemu menteri. Apalagi bila mampu
berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya akan
lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada
taranya.
Kelezatan
dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia
mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan tergantung pada qalb
dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb
tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari
kegelapan menuju cahaya terang.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Gerakan tasawuf dalam Islam pada
mulanya dari kezuhudan para abid ( ahli ibadah ) yang membaktikan diri secara
tulus dan ikhlas kepada Allah SWT.
2.
Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan
atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku, nafsu dan
sifat-sifat.
3.
Pada zaman setelah zaman sahabat
sampai abad V H terdapat para tokoh penggerak kerohanian, diantaranya adalah
Hasan Al-Bishri, Al-Ghazali Al-Qusyairi dan
Al-Muhasibi.
4.
Ajarannya Hasan Al-Bishri dijadikan
kitab pedoman utama bagi Imam-Imam sufi diseluruh penjuru dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Syukur,
Amin, Rasionalisme Dalam Tasawuf, IAIN Wali Songo, Semarang, 1994.
Ø Hamka,
Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta,
1986.
Ø ‘Umar
Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-‘Arobi, Dar Al-‘Ilm Al-Malayin, Bairut, 1983.
Ø Ibrahim
Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din Al-Falasafah, Dar Al-Nahdhah
Al-‘Arabiyyah, Kairo, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar