Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

akad nikah


BAB I
PENDAHULUAN

Perkawinan adalah satu aqad yang memberikan hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) di antara laki-laki dan perempuan yaitu keluarga yang sakinah mawadah warrohmah. Dalam hubungan keluarga ini suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus diamalkan sesuai syari’at. Pernikahan sangat dianjurkan bagi setiap manusia yang hidup di dunia, ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3.
Jadi pernikahan atau perkawinan itu menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim-nya. pernikahan dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi beberapa rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan atau pernikahan.
Adapun macam-macam rukun dan syarat perkawinan akan diuraikan lebih jelas dalam pembahasan. Dalam pembahasan nanti penulis juga akan menambahkan bentuk shighat dalam pernikahan, yang dapat menjadi pedoman kita semua dalam kehidupan.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan
Menurut W.J.S. Poerwadarminto, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang mempunyai arti sama dengan nikah, dalam makna kata itu mendapatkan awalan pe- dan akhiran –an, sehingga mempunyai arti: perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami-isteri.[1]
Menurut Moch. Anwar dalam bukunya Fiqih Islam menerangkan, bahwa arti nikah menurut bahasa, ialah bercampur. Arti nikah menurut istilah ilmu fiqih, ialah akad antara seorang calon suami dengan seorang wali nikah yang menjamin halalnya bersetubuh antara isteri dan suaminya dengan kalimat atau kawin.[2]
Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqh Islam menerangkan, bahwa Ta’rif pernikahan ialah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.[3]
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menerangkan, bahwa Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

B.     Dasar Hukum Pernikahan
Dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. Adapun dasar hukum pernikahan secara jelas tercantum dalam Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 49 :
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariyat : 49)[5]

Dalam Al-Qur'an surat Yasin ayat 36 dinyatakan:
Artinya:
“Maha Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yasin : 36).[6]

Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu dengan melalui jenjang pernikahan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan yang disebut hukum pernikahan dalam Islam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi SAW bersabda :
مَنْ تَرَ كَ ا لتَّزْ وِ يْجَ مَخَا فَةَ ا لْعَا لَةِ فَلَيْسَ مِنّىِ . ( ر و ا ه بى د ا و د )
Artinya:
Barang siapa yang tidak mau kawin karena takut menjadi miskin (takut membiayainya), maka ia bukan umatku.[7]

C.    Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam memenuhi suatu pekerjaan, rukun disini berarti bagian pokok. Agar perkawinan yang dilaksanakan itu sah maka harus memenuhi beberapa rukun perkawinan yang terdiri atas lima macam yaitu :
1.      Calon mempelai laki-laki
2.      Calon mempelai wanita
3.      Wali
4.      Dua orang saksi
5.      Ijab Qobul[8]
Rukun-rukun perkawinan di atas harus memenuhi syarat masing-masingnya sebagai berikut :
  1. Calon mempelai laki-laki, dengan syarat :
-          Beragama Islam dan betul laki-laki
-          Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon istri.
-          Calon mempelai laki-laki tahu / kenal dengan calon istri dan tahu bahwa calon istrinya halal baginya.
-          Calon suami ridho (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
-          Tidak sedang melakukan ihrom.
-          Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
-          Tidak sedang mempunyai istri empat.
  1. Calon mempelai perempuan, dengan syarat :
-          Beragama Islam / ahli kitab.
-          Wanita yang tidak muslimah selain kitabiyah tidak boleh dikawin oleh laki-laki muslim, berdasarkan QS. Al-Baqoroh ayat 221, artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”.
-          Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa.
-          Halal bagi calon suami
-          Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa iddah, Tidak dipaksa.
-          Tidak dalam keadaan ihram haji / umroh.[9]
  1. Wali, dengan syarat : Islam, Sudah baligh, Berakal sehat, Laki-laki, Merdeka dan Adil[10]
  2. Dua orang saksi, dengan syarat : Islam, Dewasa (baligh), Berakal sehat, Adil, Laki-laki serta Mengetahui maksud nikah.
  3. Ijab Qobul, dengan syarat :
-          Diucapkan dengan kata nikah atau kazwij atau terjemahannya, maka tidak sah ijab qobul menggunakan kata lain.
-          Ada persesuaian antara ijab dan qobul
-          Berturut-turut artinya tidak berselang waktu yang lama.
-          Tidak ada syarat penghalang pernikahan.[11]
Kelima rukun perkawinan itu harus dipenuhi dengan syarat-syaratnya tersebut agar perkawinan dapat dikatakan sah, selain itu juga harus memenuhi syarat-syarat perkawinan.

Syarat-syarat shighat :
Menurut H.S.A. Al-Hamdani dalam bukunya Risalah Nikah, Shighat hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad dan saksi. Shighat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukkan waktu lampau, atau salah seorang mempergunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukkan waktu yang akan datang.[12]
Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fikih Islam menerangkan Shighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata-kata wali, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama ...”. Jawab mempelai laki-laki, “Saya terima menikahi ...”. Boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai, seperti : “Nikahkanlah saya dengan anak saya ...” karena maksudnya sama. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahkan dari keduanya.[13]


D.    Sighat Taklik Talak
1.      Pengertian Taklik Talak
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah 8, secara harfiah mengatakan bahwa taklik dimaksudkan seperti janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar. Sedangkan talak berasal dari kata “ithlaq”, artinya “melepaskan atau meninggalkan. Secara istilah, talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Jadi talik talak artinya suatu janji untuk melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar yang mana janji tersebut mempunyai pengaruh terhadap lepasnya ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.[14]
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat e memberikan penjelasan, Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janjian talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.[15]
2.      Dasar Hukum Sighat Taklik Talak
1.      Dasar Hukum al-Qur'an :
-   Surat al-Fath ayat 10 :





Artinya :
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS. Al-Fath : 10).[16]

2.      Dasar Hukum Sunnah :
عَنْ عُبَادَةَ اِ بْنِى ا لصَمِاتِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ ا لله ِصَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمْ :
مَنْ شَرَ طَ عَلَى نَفْسِهِ طَا ئِمًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَ عَلَيْهِ . (رواه البخاري)
Artinya :
Dari Ubadah Ibn al-Shamit bahwasannya Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya”. (Riwayat al-Bukhari).[17]

3.      Dasar Hukum Perdata :
a.       Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 45 :[18]
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
(1)   Taklik talak, dan
(2)   Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

b.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 :[19]
UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 29
(1)   Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)   Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)   Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)   Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

3.      Isi Sighat Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya taklik talak, yang ada hanya perjanjian perkawinan seperti dijelaskan dalam penjelasan Pasal 29. Namun Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyatakan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.
Sebelum akad nikah dilangsungkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Sejauh perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya.[20] Adapun teks (sighat) taklik talak adalah sebagai berikut :
Sighat Taklik Talak :
Sesudah akad nikah, saya .... bin .... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya bernama .... binti .... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas isteri saya itu seperti berikut :
Sewaktu-waktu saya :
(1)    meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
(2)    atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
(3)    atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya itu,
(4)    atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
..................., ...................................
(Tempat), Tanggal, bulan dan Tahun)
Suami

...........................................
(Tanda Tangan dan Nama)
Sighat taklik talak mempunyai kandungan maksud yang cukup baik dan positif, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima si isteri, meskipun sesungguhnya isteri telah mendapat hak berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Karena itu sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul, sebab sighat taklik talak mempunyai pengaruh terhadap timbulnya khulu’ dalam perkawinan.[21]
Intinya bahwa apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan isteri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, isteri berhak meminta pembatal nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika si isteri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.












BAB III
KESIMPULAN

Perkawinan adalah suatu akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah mawadah warrohmah sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunah Rosul. Agar perkawinan yang dilaksanakan itu sah maka haruslah memenuhi beberapa rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan.
v  Rukun-rukun perkawinan ada 5 macam antara lain : 1) Calon mempelai laki-laki, 2) Calon mempelai wanita, 3) Wali, 4) Dua orang saksi, 5) Ijab qobul.
v  Syarat-syarat perkawinan menurut UU perkawinan adalah sebagai berikut :
  1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Adanya ijin dari orang tua / wali bagi calon mempelai yang belum berumur 17 tahun.
  3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
  4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah / keluarga yang dilarang kawin.
  5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain.
  6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama, yang hendak dikawini.
  7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu.
Itulah rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi agar perkawinan bisa menjadi sah menurut hukum.
Demikianlah makalah yang membahas tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan saya susun. Semoga apa yang saya tulis ini bermanfaat bagi kita semua. Memang masih banyak kekurangan untuk mencapai kesempurnaan. Untuk itu penulis menginginkan adanya kritik dan saran bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 140 H/1981 M), Juz. 3.

Al-Hamdani, H.S.A., Risalah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980).

Anwar, Moch., Fiqih Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1980).

Bigha, Musthafa Diibu, Fiqih Menurut Madzhab Syafi'i, (Semarang : Cahaya Indah, tt).

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta : CV. Vulling, 1983).

Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1985).

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung , Humaniora Utama Press, 1992).

Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976).

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994).

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998).

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 8, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1981).

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994).

UU RI No. 23 tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004).

Zainuddin, A., Al-Islam 2, (Bandung : Pustaka Setia, 1998).


[1] W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), h. 453.
[2] Moch. Anwar, Fiqih Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1980), h. 110.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 374.
[4] UU RI No. 23 tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), h. 125.
[5] Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1985), h. 862.
[6] Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., h. 710.
[7] Moch. Anwar, Fiqih Islam ..., h. 112.
[8] A. Zainuddin, Al-Islam 2, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), h. 32.
[9] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta : CV. Vulling, 1983), h. 50-54.
[10] Musthafa Diibu Bigha, Fiqih Menurut Madzhab Syafi'i, (Semarang : Cahaya Indah, tt), h. 251.
[11] A. Zainuddin, Al-Islam 2 ..., h. 32-33.
[12] H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980), h. 23.
[13] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ..., h. 382.
[14] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1981), h. 9.
[15] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung , Humaniora Utama Press, 1992), h. 17.
[16] Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., h. 838.
[17] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 140 H/1981 M), Juz. 3, h. 185.
[18] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam ..., h. 29.
[19] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 295.
[20] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 155.
[21] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia ..., h. 157.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text