PENDAHULUAN
Perkawinan atau pernikahan adalah
peristiwa yang sakral, dimana perkawinan itu merupakan pintu masuk menuju
kebahagiaan dunia ataupun kebahagiaan akhirat, karena banyak sekali manfaat
yang diperoleh seseorang ketika sudah melangsungkan pernikahan, mulai dari
mendapatkan ketenangan jiwa yang muncul dari rasa kasih dan sayang seorang
isteri apalagi ketika sudah mempunyai si buah hati. Tidak cukup disini,
kebahagiaan dari pernikahan ini pun akan tetap didapatkan kelak di akherat.
Sebab Allah lebih menyukai hamba-hambanya yang melakukan pernikahan daripada
yang melakukan perceraian. Selain itu pernikahan sendiri merupakan kesunahan
Nabi yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Tidak lepas dari pembahasan di atas tentunya pernikahan
yang bisa mengantarkan kepada pintu kebahagiaan adalah pernikahan yang sesuai
dengan syariat Islam yakni sebagaimana di tetapkan dalam Al-Qur'an serta
diuraikan dalam hadits-hadits Nabi. Penulis memandang hal ini akan berbalikan
apabila tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal ini adalah
nikah mut’ah, disini penulis akan mencoba memaparkan pembahasan mengenai nikah
mut’ah sebatas pengetahuan yang penulis miliki.
Hadits Nikah Mut’ah :
Artinya :
Dari Sahabat Ali r.a. bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah di
hari perang Khaibar dan melarang memakan keledai jinak.
Arti Mufrodat
: Maksudnya
ialah nikah mut’ah yaitu nikah dengan akad mut’ah ( bersenang-senang ) sampai
dengan batas waktu yang ditentukan. Seperti sebuah ucapan kepada seorang wanita
“Saya ingin mut’ah dengan kamu selama sekian waktu dengan imbalan harta ini”.
: Maksudnya ialah tidak liar dan dikatakan
sebagai keledai yang jinak.
PEMBAHASAN
Nikah Mut’ah disebut juga Nikah Muaqqot artinya nikah
untuk waktu tertentu atau nikah munqothi’ artinya nikah yang terputus yaitu
seorang laki-laki mengikat pernikahan dengan perempuan untuk beberapa hari,
satu minggu atau satu bulan.1)
Pernikahan ini dinamakan mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang
sementara waktu saja.2)
Nikah mut’ah bertentangan dengan hukum Al-Qur'an tentang
pernikahan, thalaq, iddah dan waris selain itu akadnya hanya semata-mata untuk
senang-senang saja antara laki-laki dan perempuan dan hanya untuk memuaskan
nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami-isteri, bukan untuk mendapatkan
keturunan serta membina rumah tangga yang sejahtera. Para
ulama madzhab terutama madzhab di kalangan Ahlusunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa
nikah mut’ah haram hukumnya. Bahkan jika pernikahan ini terjadi hukum dari
pernikahan itu adalah batal.3)
Para Imam madzhab berpendapat demikian dengan
mendasarkan pada beberapa hal berikut :
a.
Perkawinan
atau pernikahan ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan Al-Qur'an.4)
b.
Banyak
hadits-hadits Nabi SAW yang secara tegas melarang seperti hadits-hadits dari
Saburoh Al-Juhainy. Bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam peragn
penaklukkan Makkah, dimana Rasulullah mengijinkan mereka kawin mut’ah dan ia
meninggalkan nikah mut’ah ini setelah mendengar hadits tentang pengharaman
nikah mut’ah.
Artinya :
“Wahai manusia ! saya telah pernah mengizinkan kamu
kawin mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya
sampai hari kemudian”.
Artinya :
“Bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkan kami untuk
kawin mut’ah selama tiga hari kemudian beliau larang”.
Artinya :
“Kawin mut’ah telah digugurkan oleh thalak, ‘iddah
dan hukum waris”. (Diriwayatkan oleh Daruquthni dan
dianggap hasan oleh Hafizh).
Artinya :
“Dari Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang
nikah mut’ah di hari perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai jinak”.*)
c.
Riwayat
dari Umar r.a. menerangkan pada waktu ia diangkat menjadi khalifah ia
berkhotbah dihadapan orang banyak. Umar menyebutkan tentang haramnya nikah
mut’ah dan para sahabat mendiamkannya, mereka tidak menyalahkan ucapan Umar.5)
d.
Al-Khottobi
berkata bahwa haramnya kawin mut’ah sudah menjadi ijma’. Selain itu Imam
Baihaqi meriwayatkan Ja’far bin Muhammad ketika ditanya orang tentang kawin
mut’ah ia menjawab, mut’ah itu sama dengan zina. Hal ini senada dengan
perkataan Ibnu Umar dalam hadits riwayat Ibn Majah dengan sanad yang shohih.6)
“Rasulullah SAW bersabda pernah diizinkan kepada kami
untuk kawin mut’ah selama tiga hari kemudian diharamkannya”. “ Demi Allah saya
tidak melihat seseorang yang kawin mut’ah padahal ia beristeri kecuali saya
akan merajamnya dengan batu”.
e.
Nikah
mut’ah hanya bertujuan untuk pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak
dan memelihara mereka yang keduanya itu, merupakan tujuan pokok pernikahan. Hal
ini membahayakan kaum perempuan karena mereka hanya dijadikan objek atau benda
yang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Selain itu berdampak pada
anak-anak, dimana mereka tidak mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan yang
baik dari kedua orang tuanya.
Hal-hal demikianlah yang menjadi
dasar para ulama mengharamkan nikah mut’ah. Sementara di sisi lain madzhab
Syi’ah Imamiyah memperbolehkan pernikahan ini dengan mempersyaratkan sebagai
berikut :7)
1.
Ucapan
Ijab Qobulnya dengan lafadz “Zawwajtuka” atau “Unkihuka” ( Saya kawinkan kamu )
atau “Matta’tuka” ( Saya kawinkan kamu sementara ).
2.
Isteri
haruslah seorang muslimah atau ahli kitab.
3.
Dengan
maskawin dan disebutkan dengan jelas.
4.
Batas
waktunya jelas.
5.
Diputuskan
berdasarkan persetujuan masing-masing seperti sehari, sebulan dan seterusnya.
Selain mempersyaratkan pernikahan
ini, madzhab Syi’ah Imamiyah juga membuat ketentuan-ketentuannya antara lain :8)
- Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya disebutkan maa aqad nikahnya batal. Tapi kalau maharnya disebutkan sedang batas waktunya tidak disebutkan, maka perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
- Anak yang lahir menjadi anaknya.
- Tidak ada thalaq dan tidak ada li’an.
- Tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami-isteri.
- Anaknya berhak mewarisi dari ayah-ibunya dan ayah-ibunya pun berhak mewarisi dari anaknya.
- Masa iddahnya dua kali masa haid bagi yang masih berhaid. Dan bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya maka masa iddahnya adalah 45 hari.
Kaidah-kaidah yang mereka keluarkan
ini sebenarnya tidak ada dasar yang jelas, menurut mereka ( golongan syi’ah )
bahwa dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah
sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali. Padahal kita tahu ada riwayat yang
sah dari Ali kalau kebolehan nikah mut’ah itu sudah dihapuskan.
Dalalah Hadits
Ø Dalam hadits tersebut terdapat dalil mengenai
keharaman nikah mut’ah karena tidak ada ketentuan perkawinan ini dalam
Al-Qur'an dan hadits.
Ø Terdapat pula dalil mengenai keharaman memakan
daging keledai yang jinak.
Fiqh Hadits
Ø Jumhur ulama memutlakkan ketidak sahan nikah
mut’ah dan tidak seorang pun dari para ulama yang sepakat memperdebatkan hal
itu. Al-Mazari dalam kitab Al-Muallim mengatakan bahwa ijma mengakui pencegahan
dan tidak ada yang memperselisihkannya kecuali golongan yang berbuat bid’ah dan
sebagian golongan yang menolak.
Ø Ketika dinyatakan bahwa nikah mut’ah ini tidak
sah kemudian apakah hubungan suami-isteri yang dilakukan dihukumi had,
kebanyakan pengikut Maliki berpendapat tidak dihukum had karena akadnya
syubhat, Imam Syafi'i berkata atas keterangan yang diringkasnya bahwa sah
merujuk kepada Ibn Abbas r.a tentang wajib adanya had berdasar hasil ijma dan
jika rujukannya tidak sah maka dibangun dengan dasar bahwa apabila para ahli
zaman berselisih dalam suatu masalah kemudian sebagian dari mereka bersepakat
terhadap salah satu pendapat, apakah itu menjadi kesepakatan secara
keseluruhan. Ada
dua pendapat dalam hal ini yaitu jika dikatakan “Ya” maka wajib ada had, jika
“Tidak” maka seperti hubungan suami-isteri yang dilakukan dalam pernikahan yang
diperselisihkan.
Ø Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mencegah kamu
sekalian memakan daging keledai yang jinak karena hal itu dipandang suatu yang
keji sebagaimana keterangan dalam hadits Anas menurut Bukhori dan menurut
golongan Maliki ada 3 riwayat yang ketiga-tiganya memakruhkan.
Penjelasan :
Alasan yang dikemukakan bahwa halalnya kawin mut’ah
merupakan barang ijma’, sedang barang ijma’ itu menghasilkan kepastian sebaliknya
haramnya adalah barang yang dipertikaikan, sedang yang dipertikaikan itu
hasilnya hanya dugaan atau masih diragukan, maka jawabannya adalah sebagai
berikut :
Pertama, apakah alasan dari dalil yang menyatakan bahwa
“yang pasti tidak dapat dibatalkan oleh yang diragui ?”
Kedua, yang dibatalkan dengan barang yang diragukan itu
hanyalah tetap berlangsungnya hukum halalnya, sedang tetap berlangsungnya itu
termasuk barang yang diragukan pula, dan bukan barang pasti.
Adapun bacaan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab
dan Sa’id bin Jubeir : “Maka perkawinan mut’ah yang kamu lakukan sampai jangka
waktu tertentu”, itu tidaklah dianggap sebagai ayat al-Qur'an oleh golongan
yang mensyaratkannya mutawatir, dan tidak pula sebagai sunnah, sebab tadi
diriwayatkan sebagai al-Qur'an, hingga itu hanyalah sebagai tafsir atau uraian
dari ayat al-Qur'an belaka, padahal ini tidak dapat dipakai sebagai alasan.
Dan terhadap oran g-orang
yang tidak menysaratkannya mutawatir, bagi mereka tidak ada halangannya bila
ayat-ayat al-Qur'an yang masih diragukan, diganti dengan Sunnah yang juga masih
diragukan sebagaimana diakuti dalam Ilmu Uhsul !”. Sekian.9)
KESIMPULAN
Ø Hadits di atas membahas mengenai keharaman
nikah mut’ah karena nikah mut’ah bertentangan dengan hukum pernikahan menurut
Al-Qur'an seperti tidak ada thalaq, tidak ada hak mewarisi serta hanya demi
kepuasan nafsu saja.
Ø Diterangkan pula mengenai ketidak bolehan
memakan daging keledai yang jinak karena hal itu merupakan perbuatan yang keji.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Fachruddin HS., Terjemah Hadits Shohih
Muslim Ke – II, Bulan Bintang, Jakarta ,
1979.
Ø Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah VI, Alih Bahasa
: Moh. Tholib, Al-Ma’arif, Bandung ,
1980.
Ø H.SA Hamdani, Risalah Nikah, Alih Bahasa
: Agus Salim, Raja Murah, Pekalongan, 1980.
Ø Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah I, Alih Bahasa
: Mahyuddin Syaf, Penerbit Araz, Bandung ,
1980.
1) H.SA Hamdani, Risalah
Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980), hlm. 28.
2) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah,
(Bandung :
Al-Ma’arif, 1980), hlm. 32.
3) Ibid, hlm. 52.
4) H. SA. Hamdani, Op.Cit,
hlm. 28.
*) Kawin Mut’ah sebenarnya baru diharamkan
pada tahun penaklukkan kota
Mekkah sebagaimana diriwayatkan di dalam shohih Muslim bahwa para sahabat pada
waktu penaklukkan Mekkah masih diizinkan oleh Nabi kawin mut’ah. Jika benar
pada waktu perang khaibar itu diharamkan berarti terjadi nasakh ( pembatalan
hukum ) dua kali. Hal ini sama sekali tidak pernah dikenal, dan tidak terjadi
dalam syari’at Islam. Karena itu pera ulama memperselisihkan hadits ini. ada
yang berpendapat :
a. Nabi pernah melarang
memakan daging keledai penduduk khaibar pada waktu perang khaibar dan kawin
mut’ah tetapi tidak disebutkan dengan tegas sejak kapan kawin mut’ah dilarang.
Sedang hadits muslim ( hadits I ) menjelaskannya yaitu pada penaklukkan Mekkah.
b. Imam Syafi'i tetap
berpegang kepada lahir hadits itu saja, kata beliau tidak pernah saya
mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah lalu diharamkannnya, lalu
dihalalkannya kemudian diharamkannya lagi kecuali soal nikah mut’ah ( fiqh sunah ).
5) H. SA. Hamdani, Op.Cit,
hlm. 28 – 29.
6) Sayyid Sabiq, Op.Cit,
hlm. 55.
7) Ibid, hlm. 55.
8) Ibid, hlm. 55.
9) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, (Bandung : Penerbit Araz,
1980), hlm. 61-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar