Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

nikah mut'ah


PENDAHULUAN

Perkawinan atau pernikahan adalah peristiwa yang sakral, dimana perkawinan itu merupakan pintu masuk menuju kebahagiaan dunia ataupun kebahagiaan akhirat, karena banyak sekali manfaat yang diperoleh seseorang ketika sudah melangsungkan pernikahan, mulai dari mendapatkan ketenangan jiwa yang muncul dari rasa kasih dan sayang seorang isteri apalagi ketika sudah mempunyai si buah hati. Tidak cukup disini, kebahagiaan dari pernikahan ini pun akan tetap didapatkan kelak di akherat. Sebab Allah lebih menyukai hamba-hambanya yang melakukan pernikahan daripada yang melakukan perceraian. Selain itu pernikahan sendiri merupakan kesunahan Nabi yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Tidak lepas dari pembahasan di atas tentunya pernikahan yang bisa mengantarkan kepada pintu kebahagiaan adalah pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam yakni sebagaimana di tetapkan dalam Al-Qur'an serta diuraikan dalam hadits-hadits Nabi. Penulis memandang hal ini akan berbalikan apabila tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal ini adalah nikah mut’ah, disini penulis akan mencoba memaparkan pembahasan mengenai nikah mut’ah sebatas pengetahuan yang penulis miliki.












Hadits Nikah Mut’ah :



Artinya :
Dari Sahabat Ali r.a. bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah di hari perang Khaibar dan melarang memakan keledai jinak.

Arti Mufrodat
:    Maksudnya ialah nikah mut’ah yaitu nikah dengan akad mut’ah               ( bersenang-senang ) sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Seperti sebuah ucapan kepada seorang wanita “Saya ingin mut’ah dengan kamu selama sekian waktu dengan imbalan harta ini”.
:    Maksudnya ialah tidak liar dan dikatakan sebagai keledai yang jinak.
















PEMBAHASAN


Nikah Mut’ah disebut juga Nikah Muaqqot artinya nikah untuk waktu tertentu atau nikah munqothi’ artinya nikah yang terputus yaitu seorang laki-laki mengikat pernikahan dengan perempuan untuk beberapa hari, satu minggu atau satu bulan.1) Pernikahan ini dinamakan mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.2)
Nikah mut’ah bertentangan dengan hukum Al-Qur'an tentang pernikahan, thalaq, iddah dan waris selain itu akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki dan perempuan dan hanya untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami-isteri, bukan untuk mendapatkan keturunan serta membina rumah tangga yang sejahtera. Para ulama madzhab terutama madzhab di kalangan Ahlusunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya. Bahkan jika pernikahan ini terjadi hukum dari pernikahan itu adalah batal.3)

Para Imam madzhab berpendapat demikian dengan mendasarkan pada beberapa hal berikut :
a.       Perkawinan atau pernikahan ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan Al-Qur'an.4)
b.      Banyak hadits-hadits Nabi SAW yang secara tegas melarang seperti hadits-hadits dari Saburoh Al-Juhainy. Bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam peragn penaklukkan Makkah, dimana Rasulullah mengijinkan mereka kawin mut’ah dan ia meninggalkan nikah mut’ah ini setelah mendengar hadits tentang pengharaman nikah mut’ah.







Artinya :
“Wahai manusia ! saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian”.




Artinya :
“Bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkan kami untuk kawin mut’ah selama tiga hari kemudian beliau larang”.



Artinya :
“Kawin mut’ah telah digugurkan oleh thalak, ‘iddah dan hukum waris”. (Diriwayatkan oleh Daruquthni dan dianggap hasan oleh Hafizh).



Artinya :
“Dari Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah di hari perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai jinak”.*)
c.       Riwayat dari Umar r.a. menerangkan pada waktu ia diangkat menjadi khalifah ia berkhotbah dihadapan orang banyak. Umar menyebutkan tentang haramnya nikah mut’ah dan para sahabat mendiamkannya, mereka tidak menyalahkan ucapan Umar.5)
d.      Al-Khottobi berkata bahwa haramnya kawin mut’ah sudah menjadi ijma’. Selain itu Imam Baihaqi meriwayatkan Ja’far bin Muhammad ketika ditanya orang tentang kawin mut’ah ia menjawab, mut’ah itu sama dengan zina. Hal ini senada dengan perkataan Ibnu Umar dalam hadits riwayat Ibn Majah dengan sanad yang shohih.6)


“Rasulullah SAW bersabda pernah diizinkan kepada kami untuk kawin mut’ah selama tiga hari kemudian diharamkannya”. “ Demi Allah saya tidak melihat seseorang yang kawin mut’ah padahal ia beristeri kecuali saya akan merajamnya dengan batu”.
e.       Nikah mut’ah hanya bertujuan untuk pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara mereka yang keduanya itu, merupakan tujuan pokok pernikahan. Hal ini membahayakan kaum perempuan karena mereka hanya dijadikan objek atau benda yang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Selain itu berdampak pada anak-anak, dimana mereka tidak mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
Hal-hal demikianlah yang menjadi dasar para ulama mengharamkan nikah mut’ah. Sementara di sisi lain madzhab Syi’ah Imamiyah memperbolehkan pernikahan ini dengan mempersyaratkan sebagai berikut :7)
1.       Ucapan Ijab Qobulnya dengan lafadz “Zawwajtuka” atau “Unkihuka” ( Saya kawinkan kamu ) atau “Matta’tuka” ( Saya kawinkan kamu sementara ).
2.       Isteri haruslah seorang muslimah atau ahli kitab.
3.       Dengan maskawin dan disebutkan dengan jelas.
4.       Batas waktunya jelas.
5.       Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing seperti sehari, sebulan dan seterusnya.
Selain mempersyaratkan pernikahan ini, madzhab Syi’ah Imamiyah juga membuat ketentuan-ketentuannya antara lain :8)
  1. Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya disebutkan maa aqad nikahnya batal. Tapi kalau maharnya disebutkan sedang batas waktunya tidak disebutkan, maka perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
  2. Anak yang lahir menjadi anaknya.
  3. Tidak ada thalaq dan tidak ada li’an.
  4. Tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami-isteri.
  5. Anaknya berhak mewarisi dari ayah-ibunya dan ayah-ibunya pun berhak mewarisi dari anaknya.
  6. Masa iddahnya dua kali masa haid bagi yang masih berhaid. Dan bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya maka masa iddahnya adalah 45 hari.
Kaidah-kaidah yang mereka keluarkan ini sebenarnya tidak ada dasar yang jelas, menurut mereka ( golongan syi’ah ) bahwa dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali. Padahal kita tahu ada riwayat yang sah dari Ali kalau kebolehan nikah mut’ah itu sudah dihapuskan.



Dalalah Hadits

Ø  Dalam hadits tersebut terdapat dalil mengenai keharaman nikah mut’ah karena tidak ada ketentuan perkawinan ini dalam Al-Qur'an dan hadits.
Ø  Terdapat pula dalil mengenai keharaman memakan daging keledai yang jinak.

Fiqh Hadits

Ø  Jumhur ulama memutlakkan ketidak sahan nikah mut’ah dan tidak seorang pun dari para ulama yang sepakat memperdebatkan hal itu. Al-Mazari dalam kitab Al-Muallim mengatakan bahwa ijma mengakui pencegahan dan tidak ada yang memperselisihkannya kecuali golongan yang berbuat bid’ah dan sebagian golongan yang menolak.
Ø  Ketika dinyatakan bahwa nikah mut’ah ini tidak sah kemudian apakah hubungan suami-isteri yang dilakukan dihukumi had, kebanyakan pengikut Maliki berpendapat tidak dihukum had karena akadnya syubhat, Imam Syafi'i berkata atas keterangan yang diringkasnya bahwa sah merujuk kepada Ibn Abbas r.a tentang wajib adanya had berdasar hasil ijma dan jika rujukannya tidak sah maka dibangun dengan dasar bahwa apabila para ahli zaman berselisih dalam suatu masalah kemudian sebagian dari mereka bersepakat terhadap salah satu pendapat, apakah itu menjadi kesepakatan secara keseluruhan. Ada dua pendapat dalam hal ini yaitu jika dikatakan “Ya” maka wajib ada had, jika “Tidak” maka seperti hubungan suami-isteri yang dilakukan dalam pernikahan yang diperselisihkan.
Ø  Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mencegah kamu sekalian memakan daging keledai yang jinak karena hal itu dipandang suatu yang keji sebagaimana keterangan dalam hadits Anas menurut Bukhori dan menurut golongan Maliki ada 3 riwayat yang ketiga-tiganya memakruhkan.





Penjelasan :

Alasan yang dikemukakan bahwa halalnya kawin mut’ah merupakan barang ijma’, sedang barang ijma’ itu menghasilkan kepastian sebaliknya haramnya adalah barang yang dipertikaikan, sedang yang dipertikaikan itu hasilnya hanya dugaan atau masih diragukan, maka jawabannya adalah sebagai berikut :

Pertama, apakah alasan dari dalil yang menyatakan bahwa “yang pasti tidak dapat dibatalkan oleh yang diragui ?”
Kedua, yang dibatalkan dengan barang yang diragukan itu hanyalah tetap berlangsungnya hukum halalnya, sedang tetap berlangsungnya itu termasuk barang yang diragukan pula, dan bukan barang pasti.
Adapun bacaan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab dan Sa’id bin Jubeir : “Maka perkawinan mut’ah yang kamu lakukan sampai jangka waktu tertentu”, itu tidaklah dianggap sebagai ayat al-Qur'an oleh golongan yang mensyaratkannya mutawatir, dan tidak pula sebagai sunnah, sebab tadi diriwayatkan sebagai al-Qur'an, hingga itu hanyalah sebagai tafsir atau uraian dari ayat al-Qur'an belaka, padahal ini tidak dapat dipakai sebagai alasan.
Dan terhadap orang-orang yang tidak menysaratkannya mutawatir, bagi mereka tidak ada halangannya bila ayat-ayat al-Qur'an yang masih diragukan, diganti dengan Sunnah yang juga masih diragukan sebagaimana diakuti dalam Ilmu Uhsul !”. Sekian.9)









KESIMPULAN


Ø  Hadits di atas membahas mengenai keharaman nikah mut’ah karena nikah mut’ah bertentangan dengan hukum pernikahan menurut Al-Qur'an seperti tidak ada thalaq, tidak ada hak mewarisi serta hanya demi kepuasan nafsu saja.
Ø  Diterangkan pula mengenai ketidak bolehan memakan daging keledai yang jinak karena hal itu merupakan perbuatan yang keji.
























DAFTAR  PUSTAKA


Ø  Fachruddin HS., Terjemah Hadits Shohih Muslim Ke – II, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Ø  Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah VI, Alih Bahasa : Moh. Tholib, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.
Ø  H.SA Hamdani, Risalah Nikah, Alih Bahasa : Agus Salim, Raja Murah, Pekalongan, 1980.
Ø  Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah I, Alih Bahasa : Mahyuddin Syaf, Penerbit Araz, Bandung, 1980.





1) H.SA Hamdani, Risalah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980), hlm. 28.
2) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 32.
3) Ibid, hlm. 52.
4) H. SA. Hamdani, Op.Cit, hlm. 28.
*) Kawin Mut’ah sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukkan kota Mekkah sebagaimana diriwayatkan di dalam shohih Muslim bahwa para sahabat pada waktu penaklukkan Mekkah masih diizinkan oleh Nabi kawin mut’ah. Jika benar pada waktu perang khaibar itu diharamkan berarti terjadi nasakh ( pembatalan hukum ) dua kali. Hal ini sama sekali tidak pernah dikenal, dan tidak terjadi dalam syari’at Islam. Karena itu pera ulama memperselisihkan hadits ini. ada yang berpendapat :
a. Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk khaibar pada waktu perang khaibar dan kawin mut’ah tetapi tidak disebutkan dengan tegas sejak kapan kawin mut’ah dilarang. Sedang hadits muslim ( hadits I ) menjelaskannya yaitu pada penaklukkan Mekkah.
b. Imam Syafi'i tetap berpegang kepada lahir hadits itu saja, kata beliau tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah lalu diharamkannnya, lalu dihalalkannya kemudian diharamkannya lagi kecuali soal nikah mut’ah   ( fiqh sunah ).
5) H. SA. Hamdani, Op.Cit, hlm. 28 – 29.
6) Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 55.
7) Ibid, hlm. 55.
8) Ibid, hlm. 55.
9) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, (Bandung: Penerbit Araz, 1980), hlm. 61-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text