Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

nafkah istri


PENDAHULUAN

Islam telah menetapkan agar para suami bertanggung jawab dalam memimpin rumah tangganya dan memenuhi hak-hak istrinya. Islam juga memerintahkan suami untuk berlaku baik kepada istrinya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu, bilamana hak-hak istri tidak ditunaikan dengan baik oleh suami, padahal ia menyadari dan mampu melaksanakan hak-hak tersebut, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasulnya dan juga mendurhakai istrinya.
Akan tetapi, ketentuan semacam ini jarang sekali disadari dan dihayati oleh masyarakat, karena dalam membina rumah tangganya mereka tidak mau memperhatikan tuntutan syari’at Islam dan hanya sekedar mengikuti tradisi yang berlaku di masyarakatnya. Sumber acuan hidup dalam berumah tangga untuk menggauli istri sebatas yang diketahuinya dari masyarakat atau pengalaman yang diperolehnya dari keluarganya, tanpa pernah sedikitpun mengacu pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Padahal apa yang ia timba dari masyarakat dan keluarga kemungkinan besar jauh dari garis ketentuan Allah dan Rasulnya, sehingga tidak jarang para suami melakukan pelanggaran terhadap hak-hak istri atau melakukan kedurhakaan terhadapnya. Akan tetapi hal itu dianggapnya sesuatu yang lumrah / wajar berlaku di tengah masyarakat.
Berikut ini pemakalah akan memaparkan makalah tentang Hak Nafkah Bagi Istri Dalam Iddah Talak Ba’in.










PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nafkah
Kata “nafaqah” terambil dari kata الانفاق yang artinya “mengeluarkan”.[1] Dalam Ensiklopedi Hukum Islam nafkah adalah mengeluarkan yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[2]
Nafkah dapat berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.[3]
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu : pangan, sandang dan tempat tinggal. Madzhab Syafi’i berpendapt bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga, maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.[4]

B.     Dasar Hukum Nafkah
Nafkah merupakan hak istri terhadap suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang sah dan suami wajib membayarnya. Memberi belanja hukumnya wajib menurut Al-Qur'an, Sunah dan Ijma’.
Kewajiban nafkah wajibnya menurut Al-Qur'an sebagai berikut :

  1. Firman Allah SWT :
Nºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 233).[5]

Ayat ini memberikan ketegasan bagi si suami (bapak), baik dalam pergaulan suami istri yang diliputi kasih mesra, atau sudah bercerai sekalipun, wajib menanggung belanja dan pakaian istri atau jandanya yang tengah menyusukan anaknya itu menurut patutnya (ma’ruf) yaitu menurut ukuran hidup (standar) yang layak dalam kehidupan perempuan itu.[6]

  1. Firman Allah SWT :
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq : 6).[7]

Ayat ini menjelaskan kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya di mana si suami bertempat, menurut ukuran hidup si suami sendiri. Meskipun si istri anak orang kaya, sedang si suami tidak sekaya mertua atau istrinya, dia pun hanya berkewajiban menyedaiakan menurut ukuran hidupnya juga. Sejak semula kawin sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal buat istrinya yang sesuai dengan kemampuan suami.[8]

C.    Syarat Istri Berhak Menerima Nafkah
Akad nikah yang sah yang telah dilakukan oleh suami-istri, menyebabkan istri telah terikat dengan hak-hak suaminya dan telah haram dikawini oleh orang lain. Ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya sendiri, karena itu ia berhak mendapatkan nafkah dari orang yang mengikatnya, yaitu suaminya, sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
مَنْ حَبَسَ لِنَفْعِ غَيْرِهِ كَانَتْ نَفَقَتْهُ عَلَى مَنْ حَبَسِ لاَجْلِهِ.
Orang yang telah mengikat dirinya untuk kemanfaatan orang lain, nafkahnya ditanggung oleh orang yang mengikat itu”.[9]

Berdasarkan hal-hal di atas, istri berhak menerima nafkah apabila telah ada syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Telah terjadi akad nikah yang sah antara suami dan istri.
  2. Istri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya.
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya.
  4. Istri telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya.

D.    Kadar Nafkah
Allah SWT berfirman :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa : 3).[10]

Al-Qur'an dan hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas kadar atau jumlah nafkah baik minimal atau maksimal yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Hanya dalam ayat 6 dan 7 surat Ath-Thalaq di atas diberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut dengan arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.[11]
Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal : pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami-istri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu maka nafkahnya disesuaikan pula dengan itu. Yang dimaksud dengan kadar berada dan tidak beradanya istri adalah kadar berada dan tidak beradanya keluarganya, yakni kadar kehidupan keluarganya. Mereka berbeda pendapat tentang apabila salah seorang di antara suami-istri itu kaya, sedangkan yang satu lagi miskin. Dalam keadaan seperti itu, apakah nafkah tersebut diukur berdasar kondisi suami saja, misalnya bila dia kaya, maka nafkahnya juga besar, sekalipun istrinya miskin, dan kecil manakala suami dalam keadaan ekonomi yang sulit. Sekalipun istinya kaya, ataukah diperhitungkan berdasarkan kondisi mereka berdua, yang demikian nafkah tersebut ditetapkan dengan ukuran sedang (antara mampu dan tidak mampu).[12]
Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.

Golongan Syafi’i dalam menetapkan jumlah nafkah bukan diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi kata mereka bahwa hal ini hanya berdasarkan syara’. Dalam hal ini golongan Syafi’i sependapat dengan golongan Hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami. Bagi suami yang kaya ditetapkan kewajiban nafkah setiap hari dua mud (satu mud = 6 ons gandum / beras). Sedang bagi miskin ditetapkan satu hari satu mud dan bagi yang sedang satu setengah mud.[13]
Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istrinya secukupnya yang meliputi makanan, daging, sayur mayur, buah-buahan, minyak zaitun dan samin serta segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda menurut keadaan dan situasi setempat.
Hambali dan Maliki mengatakan : apabila keadaan suami-istri berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal itu.
Sementara itu, mayoritas ulama madzhab Imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan istri yang mencakup pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, alat rumah tangga, sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang sepertiga dia di daerahnya. [14]

E.     Hak Nafkah Bagi Istri Dalam Iddah Talak Ba’in
Seorang suami yang menceraikan istrinya sekali atau dua kali selama dalam iddah harus menempatkan dan memberi nafkah istrinya. Bila perceraian ba’in atau sudah tiga kali, maka dalam masa iddah suami harus menempatkan istrinya dan tidak wajib memberi nafkah, kecuali kalau istrinya sedang hamil, maka harus pula memberi nafkah.[15] Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ath-Thalaq ayat 6 di atas.

Imam Syafi’i berkata :
“Setiap wanita yang tertalak yang suaminya memiliki rujukannya maka bagi wanita itu nafkah selama wanita itu beriddah dari suami. Dan setiap wanita yang ditalak yang suaminya tidak memiliki rujuknya maka tidak ada nafkah baginya selama iddahnya dari laki-laki kecuali kalau ia hamil, maka wajib atas laki-laki mereka nafkahnya selama ia hamil”.[16]

Abdul Majid bin Abdul Aziz memberitahakn kepada kami dari Ibnu Juraij ia berkata : “Abu Zubair memberitakan kepada saya dari Jabir bin Abdullah bahwa ia mendengarnya ia berkata : “Nafkah wanita yang ditalak itu selama ia tidak haram (untuk dirujuk). Dan bila telah haram (untuk dirujuk) maka diberi benda secara ma’ruf”.[17]
Imam Syafi’i berkata :
“Apabila seorang laki-laki mentalak istrinya maka hak bagi istrinya ia bertempat tinggal di rumahnya (suami) sehingga iddahnya habis selama iddah itu iddah hamil, baik talak itu memiliki rujuk atau tidak memiliki rujuk. Imam Syafi’i berkata : “Jika rumah itu sewaan, maka sewaan itu menjadi tanggungan suami yang mentalak atau dalam harta dari suami yang meninggal. Dan suami yang mentalak itu tidak boleh mengeluarkan wanita dari tempat tinggal yang mana wanita itu tinggal”.[18]

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ath-Thalaq     ayat  1 :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ
Artinya :
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Ath-Thalaq : 1).[19]

Maksudnya adalah seorang suami tidak boleh mengeluarkan istri yang telah ditalaknya selama dalam masa iddah. Imam Syafi’i tidak membedakan antara talak ba’in sughro maupun kubro, karena keduanya (ba’in sughro maupun kubro) sama-sama tidak ada hak untuk merujuk bagi suami sehingga suami tidak berkewajiban untuk menafkahi istrinya dan istri dianggap sudah menjadi orang lain (ajnabi). Dalam talak ba’in (ba’in sughro maupun kubro) apabila suami ingin rujuk (kembali) kepada bekas istrinya maka harus dengan akad nikah dan mahar baru. Hanya saja yang membedakan adalah kalau dalam talak ba’in kubro, jika suami ingin kembali kepada istirnya, maka si istri tersebut harus menikah dengan laki-laki lain dalam arti nikah yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat nikah tahlil. Sedangkan dalam talak ba’in sughro si istri, tidak perlu menikah dengan laki-laki lain.[20]






KESIMPULAN

1.      Nafkah dapat berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2.      Dasar hukum kewajiban nafkah antara lain : Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 233, Al-Qur'an surat Ath-Thalaq ayat 6.
3.      Istri berhak menerima nafkah apabila telah ada syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Telah terjadi akad nikah yang sah antara suami dan istri.
b.      Istri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya.
c.       Suaminya dapat menikmati dirinya.
d.      Istri telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya.
4.      Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal : pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak.
5.      Seorang suami yang menceraikan istrinya sekali atau dua kali selama dalam iddah harus menempatkan dan memberi nafkah istrinya. Bila perceraian ba’in atau sudah tiga kali, maka dalam masa iddah suami harus menempatkan istrinya dan tidak wajib memberi nafkah, kecuali kalau istrinya sedang hamil, maka harus pula memberi nafkah.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986).

As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979).

Asy-Syafi’i r.a., Al-Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid VIII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta : CV. Faizan, 1984).

Bigha, Mustofa Dilbu, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang : Cahaya Indah, 1986).

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, 2002).

Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 28, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1985).

Mughinyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000).

Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).

Sabid, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981).




[1] Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979), hal. 197.
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 1281.
[3] Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984), hal. 184.
[4] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 127.
[5] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, 2002), hal. 47.
[6] Syekh Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986), hal. 240-241.
[7] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit., hal. 817.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 28, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1985), hal. 276.
[9] Kamal Mukhtar, Op.Cit., hal. 131.
[10] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit., hal . 818.
[11] Depag RI, Ilmu Fiqih Jilid II, Op.Cit.,  hal. 189.
[12] Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hal. 422.
[13] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 90.
[14] Muhammad Jawad Mughinyah, Op.Cit., hal. 423.
[15] Mustofa Dilbu Bigha, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang : Cahaya Indah, 1986), hal. 288.
[16] Al-Imam Asy-Syafi’i r.a., Al-Umm (Kitab Induk), Jilid VIII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta : CV. Faizan, 1984), hal. 411.
[17] Ibid, hal. 412.
[18] Ibid, hal. 377.
[19] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit., hal. 816.
[20] Al-Imam Asy-Syafi’i r.a., Op.Cit., hal. 411.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text