PENDAHULUAN
Islam telah menetapkan agar para suami bertanggung jawab
dalam memimpin rumah tangganya dan memenuhi hak-hak istrinya. Islam juga
memerintahkan suami untuk berlaku baik kepada istrinya sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu, bilamana hak-hak istri tidak
ditunaikan dengan baik oleh suami, padahal ia menyadari dan mampu melaksanakan
hak-hak tersebut, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasulnya dan juga
mendurhakai istrinya.
Akan tetapi, ketentuan semacam ini jarang sekali
disadari dan dihayati oleh masyarakat, karena dalam membina rumah tangganya
mereka tidak mau memperhatikan tuntutan syari’at Islam dan hanya sekedar
mengikuti tradisi yang berlaku di masyarakatnya. Sumber acuan hidup dalam
berumah tangga untuk menggauli istri sebatas yang diketahuinya dari masyarakat
atau pengalaman yang diperolehnya dari keluarganya, tanpa pernah sedikitpun
mengacu pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Padahal apa yang ia timba dari
masyarakat dan keluarga kemungkinan besar jauh dari garis ketentuan Allah dan
Rasulnya, sehingga tidak jarang para suami melakukan pelanggaran terhadap
hak-hak istri atau melakukan kedurhakaan terhadapnya. Akan tetapi hal itu
dianggapnya sesuatu yang lumrah / wajar berlaku di tengah masyarakat.
Berikut ini pemakalah akan memaparkan makalah tentang
Hak Nafkah Bagi Istri Dalam Iddah Talak Ba’in.
A.
Pengertian
Nafkah
Kata “nafaqah” terambil dari
kata الانفاق yang artinya “mengeluarkan”.[1]
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam nafkah adalah mengeluarkan yang biasanya
dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk oran g-orang yang menjadi
tanggung jawabnya.[2]
Nafkah dapat berarti “belanja”.
Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat dan
miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok seperti makanan,
pakaian dan tempat tinggal.[3]
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang
termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu : pangan, sandang dan tempat
tinggal. Madzhab Syafi’i berpendapt bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan
saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan
anggota-anggota keluarga, maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah
pangan. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan
dari oran g-orang
yang berkewajiban memenuhinya.[4]
B.
Dasar
Hukum Nafkah
Nafkah merupakan hak istri terhadap
suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang sah dan suami wajib
membayarnya. Memberi belanja hukumnya wajib menurut Al-Qur'an, Sunah dan Ijma’.
Kewajiban nafkah wajibnya menurut
Al-Qur'an sebagai berikut :
- Firman Allah SWT :
Nºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah
Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 233).[5]
Ayat ini memberikan ketegasan bagi si
suami (bapak), baik dalam pergaulan suami istri yang diliputi kasih mesra, atau
sudah bercerai sekalipun, wajib menanggung belanja dan pakaian istri atau
jandanya yang tengah menyusukan anaknya itu menurut patutnya (ma’ruf)
yaitu menurut ukuran hidup (standar) yang layak dalam kehidupan perempuan itu.[6]
- Firman Allah SWT :
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Artinya :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”. (QS. Ath-Thalaq : 6).[7]
Ayat ini menjelaskan kewajiban bagi
seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya di mana si suami
bertempat, menurut uk uran
hidup si suami sendiri. Meskipun si istri anak oran g kaya, sedang si suami tidak sekaya
mertua atau istrinya, dia pun hanya berkewajiban menyedaiakan menurut ukuran
hidupnya juga. Sejak semula kawin sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami
menyediakan tempat tinggal buat istrinya yang sesuai dengan kemampuan suami.[8]
C.
Syarat
Istri Berhak Menerima Nafkah
Akad nikah yang sah yang telah
dilakukan oleh suami-istri, menyebabkan istri telah terikat dengan hak-hak
suaminya dan telah haram dikawini oleh oran g
lain. Ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari nafkah untuk
dirinya sendiri, karena itu ia berhak mendapatkan nafkah dari oran g yang mengikatnya, yaitu suaminya,
sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
مَنْ
حَبَسَ لِنَفْعِ غَيْرِهِ كَانَتْ نَفَقَتْهُ عَلَى مَنْ حَبَسِ لاَجْلِهِ.
“Oran g yang telah mengikat dirinya untuk
kemanfaatan oran g lain, nafkahnya ditanggung
oleh oran g yang
mengikat itu”.[9]
Berdasarkan hal-hal di atas, istri
berhak menerima nafkah apabila telah ada syarat-syarat sebagai berikut :
- Telah terjadi akad nikah yang sah antara suami dan istri.
- Istri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya.
- Suaminya dapat menikmati dirinya.
- Istri telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya.
D.
Kadar
Nafkah
Allah SWT berfirman :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja[266],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa : 3).[10]
Al-Qur'an dan hadits tidak ada yang
menyebutkan dengan tegas kadar atau jumlah nafkah baik minimal atau maksimal
yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Hanya dalam ayat 6 dan 7 surat Ath-Thalaq di atas
diberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang
patut dengan arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan
penghasilan suami.[11]
Malik berpendapat bahwa besarnya
nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan
keadaan masing-masing suami-istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan
perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
Golongan Syafi’i dalam menetapkan jumlah
nafkah bukan diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi kata mereka bahwa hal ini
hanya berdasarkan syara’. Dalam hal ini golongan Syafi’i sependapat dengan
golongan Hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si
suami. Bagi suami yang kaya ditetapkan kewajiban nafkah setiap hari dua mud
(satu mud = 6 ons gandum / beras). Sedang bagi miskin ditetapkan satu hari satu
mud dan bagi yang sedang satu setengah mud.[13]
Golongan Hanafi berpendapat bahwa
agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istrinya
secukupnya yang meliputi makanan, daging, sayur mayur, buah-buahan, minyak
zaitun dan samin serta segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari sesuai
dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda menurut keadaan dan situasi
setempat.
Hambali dan Mali ki
mengatakan : apabila keadaan suami-istri berbeda, yang satu kaya dan lainnya
miskin, maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal
itu.
Sementara itu, mayoritas ulama
madzhab Imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar
kebutuhan istri yang mencakup pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal,
pelayan, alat rumah tangga, sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang
sepertiga dia di daerahnya. [14]
E.
Hak
Nafkah Bagi Istri Dalam Iddah Talak Ba’in
Seorang suami yang menceraikan
istrinya sekali atau dua kali selama dalam iddah harus menempatkan dan memberi
nafkah istrinya. Bila perceraian ba’in atau sudah tiga kali, maka dalam masa
iddah suami harus menempatkan istrinya dan tidak wajib memberi nafkah, kecuali
kalau istrinya sedang hamil, maka harus pula memberi nafkah.[15]
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat
Ath-Thalaq ayat 6 di atas.
Imam Syafi’i berkata :
“Setiap wanita yang tertalak yang suaminya memiliki rujukannya maka
bagi wanita itu nafkah selama wanita itu beriddah dari suami. Dan setiap wanita
yang ditalak yang suaminya tidak memiliki rujuknya maka tidak ada nafkah
baginya selama iddahnya dari laki-laki kecuali kalau ia hamil, maka wajib atas
laki-laki mereka nafkahnya selama ia hamil”.[16]
Abdul Majid bin Abdul
Az iz memberitahakn kepada kami dari Ibnu
Juraij ia berkata : “Abu Zubair memberitakan kepada saya dari Jabir bin
Abdullah bahwa ia menden garnya
ia berkata : “Nafkah wanita yang ditalak itu selama ia tidak haram (untuk dirujuk).
Dan bila telah haram (untuk dirujuk) maka diberi benda secara ma’ruf”.[17]
Imam Syafi’i berkata :
“Apabila seorang laki-laki mentalak istrinya maka hak bagi istrinya
ia bertempat tinggal di rumahnya (suami) sehingga iddahnya habis selama iddah
itu iddah hamil, baik talak itu memiliki rujuk atau tidak memiliki rujuk. Imam
Syafi’i berkata : “Jika rumah itu sewaan, maka sewaan itu menjadi tanggungan
suami yang mentalak atau dalam harta dari suami yang meninggal. Dan suami yang
mentalak itu tidak boleh mengeluarkan wanita dari tempat tinggal yang mana
wanita itu tinggal”.[18]
Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Al-Qur'an surat
Ath-Thalaq ayat 1 :
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6/u ( w Æèdqã_ÌøéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ wur Æô_ãøs HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 w Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºs #\øBr& ÇÊÈ
Artinya :
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Ath-Thalaq : 1).[19]
Maksudnya adalah seorang suami tidak
boleh mengeluarkan istri yang telah ditalaknya selama dalam masa iddah. Imam
Syafi’i tidak membedakan antara talak ba’in sughro maupun kubro, karena keduanya
(ba’in sughro maupun kubro) sama-sama tidak ada hak untuk merujuk bagi suami
sehingga suami tidak berkewajiban untuk menafkahi istrinya dan istri dianggap
sudah menjadi orang lain (ajnabi). Dalam talak ba’in (ba’in sughro
maupun kubro) apabila suami ingin rujuk (kembali) kepada bekas istrinya maka
harus dengan akad nikah dan mahar baru. Hanya saja yang membedakan adalah kalau
dalam talak ba’in kubro, jika suami ingin kembali kepada istirnya, maka si
istri tersebut harus menikah dengan laki-laki lain dalam arti nikah yang
sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat nikah tahlil. Sedangkan
dalam talak ba’in sughro si istri, tidak perlu menikah dengan laki-laki lain.[20]
KESIMPULAN
1.
Nafkah
dapat berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.
Keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2.
Dasar
hukum kewajiban nafkah antara lain : Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 233, Al-Qur'an surat
Ath-Thalaq ayat 6.
3.
Istri berhak
menerima nafkah apabila telah ada syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Telah
terjadi akad nikah yang sah antara suami dan istri.
b.
Istri
telah menyerahkan dirinya kepada suaminya.
c.
Suaminya
dapat menikmati dirinya.
d.
Istri
telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya.
4.
Para ulama madzhab sepakat
bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal : pangan, sandang
dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan
kedua belah pihak.
5.
Seorang
suami yang menceraikan istrinya sekali atau dua kali selama dalam iddah harus
menempatkan dan memberi nafkah istrinya. Bila perceraian ba’in atau sudah tiga
kali, maka dalam masa iddah suami harus menempatkan istrinya dan tidak wajib
memberi nafkah, kecuali kalau istrinya sedang hamil, maka harus pula memberi
nafkah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Syekh
Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu,
1986).
As’ad, Aliy, Terjemah
Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta: Menara Kudus, 1979).
Asy-Syafi’i r.a., Al-Imam, Al-Umm (Kitab Ind uk),
Jilid VIII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta
: CV. Faizan, 1984).
Bigha, Mustofa Dilbu, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang : Cahaya Ind ah, 1986).
Dahlan, Abdul
Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).
Depag RI , Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur'an, 2002).
Depag RI , Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: Direktorat
Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984).
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz 28, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1985).
Mughinyah, Muhammad
Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah. Masykur A.B., dkk, (Jakarta : Lentera
Basritama, 2000).
Mukhtar, Kamal,
Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Sabid, Sayyid, Fiqih
Sunnah Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981).
[1] Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, (Jakarta : Menara Kudus,
1979), hal. 197.
[2] Abdul Az iz
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 1281.
[3] Depag RI , Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta : Direktorat Penyelenggaraan Ibadah Haji., 1984),
hal. 184.
[4] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1974), hal. 127.
[5] Depag RI ,
Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta :
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, 2002), hal. 47.
[6] Syekh Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,
(Yogyakarta : Sumber
Il mu, 1986), hal. 240-241.
[7] Depag RI , Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit.,
hal. 817.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 28, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas, 1985), hal.
276.
[9] Kama l Mukhtar, Op.Cit.,
hal. 131.
[10] Depag RI , Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit.,
hal . 818.
[11] Depag RI , Ilmu Fiqih Jilid II, Op.Cit., hal. 189.
[12] Muhammad Jawad Mughinyah, Fiqih Lima Madzhab, Terjmah.
Masykur A.B., dkk, (Jakarta :
Lentera Basritama, 2000), hal. 422.
[13] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah Jilid 7, (Bandung : Al-Ma’arif, 1981), hal. 90.
[14] Muhammad Jawad Mughinyah, Op.Cit., hal. 423.
[15] Mustofa Dilbu Bigha, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, (Semarang : Cahaya Ind ah, 1986), hal.
288.
[16] Al-Imam Asy-Syafi’i r.a., Al-Umm (Kitab Ind uk),
Jilid VIII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta
: CV. Faizan, 1984), hal. 411.
[17] Ibid, hal. 412.
[18] Ibid, hal. 377.
[19] Depag RI , Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op.Cit.,
hal. 816.
[20] Al-Imam Asy-Syafi’i r.a., Op.Cit., hal. 411.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar