|
Dalam era globalisasi sekarang ini, problem yang muncul
dalam Islam adalah banyak orang yang tidak mengetahui ilmu mawaris, sehingga
sangat sulit dicarikan orang yang benar-benar menguasai ilmu ini. Disisi lain
banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga
akibatnya mereka membagi harta warisan menurut kehendak mereka sendiri dan
tidak mengikuti pada cara-cara syari’at Islam yang benar. Syari’at Islam juga
menetapkan hak kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, misalnya pembagian harta sama rata
antara semua anak. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris. Untuk itu pemakalah akan mencoba memaparkan ;
pengertian dan hukum mawaris, sebab dan halangan mawaris, siapa saja yang
berhak mendapatkan warisan, jumlah bilangan warisan, dan pelaksanaan pembagian
warisan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mawaris
Mawaris, secara etimologis, merupakan
bentuk jamak dari kata ( mirats, lirbs, wirts, wiratsah, dan terats )
yang berarti warisan harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh
para warisnya.[1]
Dan waris berasal dari bahasa Arab Warisa
– Yuwarisu – warisan yang berarti mempusakai. Istilah yang sama dengan
warisan adalah Faraidh yang menurut bahasa artinya adalah kadar /
bagian.[2]
Orang yang meninggalkan harta disebut muwarists, sedangkan orang yang berhak
menerima waris disebut warits. Sayid sabiq menggunakan istilah faraidh, yang
artinya bagian yang ditentukan bagi ahli waris. Ilmu faridh dapat diartikan
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta
pusaka bagi ahli waris.[3]
B. Hukum Mawaris
Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pembagian warisan yang diterima dari harta peninggalan itu
untuk setiap yang berhak.[4]
Jadi hukum mempelajari ilmu faraidh
adalah fardhu kifayah, artinya kita sudah ada orang yang mempelajarinya
jujurlah kewajiban bagi orang yang lainnya. Begitu pentingnya ilmu faraidh,
sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai separoh ilmu. Disamping itu
oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut.[5]
Hukum kewarisan adalah Islam mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang
tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah
manusia yang menyukai harta benda, tidak jarang memotivasi seseorang untuk
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk
didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.[6]
C. Sebab-Sebab Kewarisan
- Sebab-Sebab Kewarisan
Dalam Islam sebab-sebab kewarisan ada
4 yaitu :
1)
Karena
hubungan kekerabatan adalah hubungan darah ( nasab, genetik ) yang mengikat
para ahli waris dengan muwarits. Dasar hukum bahwa kekerabatan memiliki hak
waris adalah surat
An-Nisa’ ayat 7.
2)
Karena
hubungan perkawinan ( Al-Muskoharoh )
Hubungan perkawinan dapat saling
mewarisi antara suami dan isteri
( QS. An-Nisa ayat 12 ) yang masih dalam ikatan perkawinan.
3)
Karena
hubungan perwalian ( wala’ )
Hubungan perwalian merupakan salah
satu sebab seseorang mendapatkan warisan. Yang dimaksud dengan Al-Wala’ adalah
hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya atau melalui
perjanjian tolong-menolong.
4)
Karena
hubungan islam
Jika orang Islam yag meninggal dunia dan tidak ada ahli
warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal umat
Islam, dengan jalan pusaka. Rasulullah SAW bersabda :
“Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli
waris”.
( Riwayat Ahmad dan Abu Daud ).[7]
- Halangan-Halangan Kewarisan
Keadaan yang menyebabkan seseorang
ahli waris terhalang dalam memperoleh warisan adalah sebagai berikut :
1)
Perbudakan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya :
“Allah memberikan perumpamaan tentang seorang budak
yang memiliki, tidak mampu melakukan apa jugapun, dan seseorang yang kami
berikan rezeki kepadanya yang baik, kemudian ia membelanjakan sebagian
daripadanya secara sembunyi dan secara terang-terangan. Samakah itu ? Segala
puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui”.
( QS. 16 : 75 ).
2)
Pembunuhan
Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Malik, dan Ahmad
dari Umar :
“Si pembunuh tidak menerima harta warisan”.
Ini memang ada sebabnya, apabila
si pembunuh diperbolehkan mendapatkan warisan akan terjadi didalam masyarakat
kekacauan lantara pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang
menghendaki memperoleh harta warisan dari orang-orang yang akan dibunuhnya.
3)
Berlainan
Agama
Keadaan berlainan agama
menghalangi memperoleh harta warisan. Dalam hal ini yang dimaksud ialah antara
ahli waris dengan muwarits berbeda agama.
Dasarnya
hadits berikut ini yang artinya :
“Seorang
muslim tidak akan mewarisi dari seorang kafir, dan seorang kafir tidak akan
mewarisi dari seorang muslim”. ( Muttafaq ‘alaih ).
Seorang murtad yang tadinya
beragama Islam, sekalipun tidak Islam lagi, para fugoha berpendapat orang yang
murtad baik lelaki maupun perempuan tidak menerima harta warisan dari muwarist
yang beragama Islam, murtad dan kafir.
4)
Berlainan
Negara
Berlainan negeri, yang berarti
berlainan tempat, tetapi negeri-negeri itu melakukan hukum Islam, tidak menjadi
penghalang antara sesama muslim, ahli waris dengan muwarits, untuk memperoleh
harta warisan. Jelasnya, antara sesama muslim dan negeri-negeri Islam tidak
terhalang untuk memperoleh harta warisan.
D. Ahli Waris dan Permasalahannya
Ahli waris adalah orang-orang yang
bisa memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal. Orang-orang yang boleh (
mungkin ) mendapat pusaka dari seorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15
orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a)
Dari pihak
laki-laki
1.
Anak laki-laki
dari yang meninggal
2.
Anak
laki-laki dari anak laki-laki ( cucu ) dari pihak ayah laki-laki dan terus
kebawah asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3.
Bapa dari
yang meninggal
4.
Datuk dari
pihak bapa ( bapa-bapa ) dan terus keatas pertaliannya belum putus dari pihak
bapa.
5.
Saudara
laki-laki seibu sebapa
6.
Saudara
laki-laki sebapa saja
7.
Saudara
laki-laki seibu saja
8.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapa
9.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapa saja
10.
Saudara
laki-laki dari bapa ( paman ) dari pihak bapa yang seibu saja.
11.
Saudara
laki-laki dari bapa yang sebapa saja.
12.
Anak
laki-laki dari saudara bapa yang laki-laki ( paman ) yang seibu sebapa
13.
Suami
14.
Laki-laki
yang memerdekakan mayat
Jika 15 orang tersebtu di atas
semua ada, maka yang mendapat harta pusaka daripada mereka itu hanya 3 orang
saja, yaitu :
1.
Bapa
2.
anak
laki-laki
3.
Suami
b)
Dari pihak
perempuan
1.
Anak
perempuan
2.
Anak
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah asal pertaliannya dengan
yang meninggal masih terus laki-laki.
3.
Ibu
4.
Ibu dan
bapa
5.
Ibu dari
ibu terus keatas pihak ibu sebelum tersilang laki-laki.
6.
Saudara
perempuan yang seibu sebapa
7.
Saudara
perempuan yang sebapa
8.
Saudara
perempuan yang seibu
9.
Isteri
10.
Perempuan
yang memerdekakan si mayat
Jika 10 orang tersebut di atas
semuanya ada, maka yang dapat mewarisi daripada mereka-mereka itu hanya 5 orang
saja, yaitu :
1.
Isteri
2.
Anak
perempuan
3.
Anak
perempuan dan anak laki-laki
4.
Ibu
5.
Saudara
perempuan yang seibu sebapa
Dan sekiranya 25 orang tersebut di
atas dari pihak laki-laki dan pihak perempuan semua ada, maka yang tetap pasti
mendapat hanya salah seorang dari dua laki-laki isteri, ibu dan bapa, anak
laki-laki dan perempuan.
Anak yang ada dalam kandungan ibunya
juga mendapat pusaka dan keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih
dalam kandungan ibunya.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya :
Berkata Rasulullah SAW : “Apabila menangis anak yang
baru lahir mendapat pusaka”. ( HR. Abu Daud ). [8]
Ø Ahli waris ditinjau dari sebabnya maka ahli
waris dapat dibagi menjadi 2 yaitu :[9]
1.
Ahli waris
Nasabiyah
Ahli waris Nasabiyah adalah ahli
waris karena kekerabantannya kepada muwarits. Ahli waris Nasabiyah ini terdiri
dari 13 laki-laki dan 8 perempuan. Ahli waris laki-laki berdasarkan urutan
kelompoknya, terdiri dari anak laki-laki, anak laki-laki dan seterusnya
kebawah, bapak, kakek dari bapak, saudara laki-laki sekandung, saudara
laki-laki seayah, paman ( saudara
bapak sekandung ), paman seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki
paman seayah.
2.
Ahli waris
Sababiyah
Adapun ahli waris perempuan
berdasarkan urusan terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dari garis
laki-laki, ibu, nenek dari gairs bapak, nenek dari garis ibu, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu.
3.
Furodhul
Muqodarah
Ialah bagian yang telah ditentukan
bagi ahli waris yang mendapat :
2/3, 1/2,1/3, ¼, 1/6, dan 1/8.
Ø Masing-masing bagian di atas adalah untuk ahli
waris sebagai berikut :
1.
Ahli waris
yang mendapat 2/3 :
1)
2 anak
perempuan atau lebih jika tidak ada anak laki-laki.
2)
2 cucu,
perempuan atau lebih jika tidak ada anak perempuan.
3)
2 saudara
perempuan sekandung atau lebih.
4)
2 saudara
perempuan seayah atau lebih jika tidak ada saudara sekandung
2.
Ahli waris
yang mendapat 1/2 :
1.
Anak
perempuan tunggal
2.
Cucu
perempuan dari anak laki-laki
3.
Saudara
perempuan sekandung / seayah tunggal
4.
Suami jika
isteri yang meninggal itu tidak punya anak / cucu
3.
Ahli waris
yang mendapat 1/3 :
1.
Ibu, jika
anaknya yang meninggal itu tidak punya anak / cucu atau tidak punya saudara 2
orang / lebih sekandung seayah seibu
2.
2 saudara
seibu ( laki-laki atau perempuan ) atau lebih
4.
Ahli waris
yang mendapat 1/4 :
1.
Suami,
jika isteri yang meninggal ada anak / cucu dari anak laki-laki.
2.
Isteri,
jika isteri suami yang meninggal itu tidak ada anak / cucu dari anak laki-laki.
5.
Ahli waris
yang mendapat bagian 1/6 :
1.
Ibu, jika
yang meninggal itu ada anak / cucu atau 2 saudara lebih.
2.
Bapak,
jika yang meninggal itu ada anak / cucu.
3.
Nenek,
jika yang meninggal itu tidak punya ibu.
4.
Cucu
perempuan dan anak laki-laki jika ada anak perempuan tunggal, dan jika ada 2
anak perempuan atau lebih. Maka cucu perempuan tidak dapat.
6.
Ahli waris
yang mendapat 1/8 :
Yaitu isteri yang suami yang
meninggal ia tidak ada anak / cucu.[10]
Ø Hijab
Hijab artinya penutup atau penghalang
Maksudnya adalah penutup atau penghalang ahli waris yang
semestinya mendapat bagian menjadi tidak mendapat bagian atau tetap menerima
warisan tapi jumlahnya berkurang, karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertalian kerabatnya.
Hijab ada 2 macam, yaitu :
a.
Hijab
Nuqshan, yaitu penghalang yang dapat mengurangi bagian yang seharusnya diterima
oleh ahli waris. Misal : isteri bisa mendapat 1/4 warisan, karena ada anak maka
ia mendapatkan 1/8.
b.
Hijab
Hirmun, yaitu penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan warisan
sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kerabatnya.
Ø Dzawil Furudh dan Ashabah
Dzawil furudh artinya yang
mempunyai bagian tertentu. maksudnya ahli waris yang bagiannya sudah tertentu,
sebagaimana dijelaskan dalam pasal furudhul muqodaroh. Sedangkan ashobah adalah
ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu. Ia menerima
bagian setelah ahli waris diambil furudh menerima bagiannya.
Adapun ashobah terbagi kepada tiga bagian, yaitu :
1.
Ashobah
Binafsi, yaitu ashobah karena dirinya sendiri, bukan karena sebab lain. Yang
termasuk ashobah binafsi adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara
laki-laki seibu.
2.
Ashobah
bil ghoir, yaitu ashobah karena ada ahli waris lain yang setingkat dengannya.
Yang termasuk ashobah itu adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ahli
waris laki-laki yaitu :
- Anak perempuan, jika bersamanya anak laki-laki
- Cucu perempuan, jika bersamanya cucu laki-laki
- Saudara perempuan kandung, jika bersamanya saudara laki-laki kandung.
- Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya saudara laki-laki sebapak.
3.
Ashobah
maal ghoiri, yaitu ashobah karena ada ahli waris lain yang tidak setingkat.
Yang termasuk ashobah ini adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ada ahli
waris perempuan yang tidak segaris atau setingkat, yaitu :
- Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada ahli waris :
-
Anak
perempuan ( satu orang atau lebih )
-
Cucu
perempuan ( satu orang atau lebih )
- Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya ada ahli waris :
-
Anak
perempuan ( satu orang atau lebih )
-
Cucu
perempuan ( satu orang atau lebih )[11]
E. Pelaksanaan Pembagian harta warisan
Sebelum harta pusaka dibagi kepada
ahli waris yang berhak menerimanya, maka perlu dilakukan terlebih dahulu yang
berkaitan dengan harta pusaka itu seperti : zakat, biaya, penguburan jenazah,
hutang piutang si mayat dan wasiat jika ada yang besarnya, tidak lebih dari 1/3
harta pusaka.[12]
Untuk melaksanakan pembagian harta
pusaka perlu ditetapkan terlebih dahulu ahli waris yang berhak mendapat warisan
kemudian waris kemudian mendapat KPT ( Kelipatan Persekutuan Terkecil ) yang dalam istilah
waris disebut asal masalah yang tercapai 7 macam yaitu :
- Masalah 2 5. Masalah 8
- Masalah 3 6. Masalah 12
- Masalah 4 7. Masalah 24
- Masalah 6
Contoh Soal :
- Seseorang meninggal ahli warisnya anak perempuan, suami dan bapak, berapa bagian masing-masingnya ahli waris ?
Jawab :
Anak perempuan =
1/2 x 4 = 2
Suami = 1/4 x 4 =
1
Bapak = 4 – ( 2 + 1 ) = 1
Cara pembagian akhir harta warisnya adalah :
Anak perempuan = 2/4 x 4 = 2
Suami = 1/4 x 4 = 1
Bapak = 1/4 x 4 = 1
- Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta Rp. 48.000.000,- Ahli waris terdiri dari isteri, ibu, dan 2 anak laki-laki. Bagian isteri 1/6, bagian ibu 1/6 dan dua anak laki-laki ashobah / bisa.
Asal masalahnya KPT / KPK dari 1/6 dan 1/8 adalah 24.
Isteri = 1/6 x 24 = 4
Ibu = 1/8 x 24 = 3
Dua anak laki-laki 24 – ( 4 + 3 ) = 17
Langkah akhir pembagian harta warisannya adalah :
Isteri = 4/24 x Rp. 48.000.000, - = Rp. 8.000.000,-
Ibu = 3/24 x Rp. 48.000.000, - = Rp. 6.000.000, -
Dua anak laki-laki = 17/24 x Rp.
48.000.000, - = Rp. 34.000.000, -
Jumlah total = Rp.
48.000.000, -
F.
Hikmah
pembagian warisan :
1.
Menghindarkan
terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan.
2.
Menghindari
timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah adalah pembagian
harta warisan yang tidak benar.
3.
Dapat
mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi
keadilan dalam masyarakat.
4.
Memperhatikan
orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.
5.
Menjunjung
tinggi hukum Allah dan sunnah Rasulullah SAW.[13]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Ilmu
Faraidh Adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan
harta pusaka bagi ahli waris, sedang hukum mempelajari ilmu faraidh adalah
fardhu kifayah.
2.
Sebab-Sebab
Kewarisan ada 4 yaitu :
-
Karena
hubungan kekerabatan
-
Karena
hubungan perkawinan
-
Karena
hubungan perwalian
-
Karena
hubungan Islam
3.
Halangan-halangan
kewarisan ada 4 yaitu :
-
Perbudakan
-
Pembunuhan
-
Berlainan
agama
-
Berlainan
negara
4.
Ditinjau
dari sebabnya ahli waris ada 2 yaitu :
1)
Ahli waris
nasabiyah
2)
Ahli waris
sababiyah
Adapun ashobah terbagi menjadi 4 bagian :
- Ashobah Binnafsi
- Ashobah Maal Ghoir
- Ashobah Bil Ghoiri
5.
Diantara
hikmah pembagian warisan adalah menghindarkan persengketaan keluarga, karena
masalah pembagian harta warisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Drs. Ahmad Rafiq, M.A, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta
: Grafindo Persada, Cet. III,, 1998.
Ø Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Depag, Fiqh Islam, Cet. II, tt, Depag, 1980.
Ø Drs. Suprana, M.Ag, M. Karman, M.Ag, Prof. Dr.
Ahmad Tafsir, Pengantar MPAI, Bandung
: Remaja Rosdakarya Offset, 2002.
Ø Drs. H.M. Suparta, M.A, Drs. Zainuddin, Fiqih
Madrasah Aliyah 3, Semarang
: Karya Toha Putra, 1996.
Ø Sulaiman Rosyid, Fiqih
Islam, Cet. XVI, Jakarta
: Adhohiriyah Yayasan Penyelenggara, Penerjemah Penafsiran Al-Qur'an.
Ø Ensiklopedi Hukum
Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ø Departemen Agama, Ilmu
Fiqih 3, ( Jakarta : tp, 1986 ).
[1] Drs. Suprana, M.Ag, M. Karman, M.Ag, Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Pengantar
MPAI, Bandung
: Remaja Rosdakarya Offset, 2002, hlm. 139.
[2] Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 191.
[3] Departemen Agama, Ilmu Fiqih 3, ( Jakarta : tp, 1986 ), hlm.
1-2.
[4] Drs. Ahmad Rafiq, M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo
Persada, Cet. III,, 1998, hlm. 355.
[5] Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, Fiqh
Islam, Cet. II, tt, Depag, 1980, hlm. 3.
[6] Hukum Islam Di Indonesia, Ibid, hlm. 356.
[7] H. Sulaiman Rosyid, Fiqih Islam, Cet. XVI, Jakarta : Adhohiriyah Yayasan Penyelenggara,
Penerjemah Penafsiran Al-Qur'an.
[8] Fiqih Utama, Ibid, hlm. 332-333.
[9] Pengantar MPAI, Ibid, hlm. 151-152.
[10] Drs. H.M. Suparta, M.A, Drs. Zainuddin, Fiqih Madrasah Aliyah 3,
Semarang : Karya
Toha Putra, 1996, hlm. 24.
[11] Fiqih Madrasah Aliyah 3, Ibid, hlm. 30-41.
[12] Fiqih Madrasah Aliyah 3, Ibid, hlm. 48-51.
[13] Fiqih Madrasah Aliyah 3, Op.Cit., hlm. 30-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar