BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab-bab sebelumnya telah kita
pelajari masalah hakekat terdalam dari kenyataan yang akan kita tinggalkan.
Kita akan membicarakan segi kenyataan yang akan kita tinggalkan. Kita akan
membicarakan segi kenyataan yang dinamakan “alam fisik”, salah satunya adalah
kosmologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang berusaha mencari
dan membahas hakekat alam semesta, menyingkap tentang hakekat eksistensinya
yang tersembunyi dibalik penampilan fisiknya.[1]
Alam fisik atau jagad raya ( cosmos ) merupakan obyek
penyelidikan ilmu-ilmu alam. Ini berarti bahwa kosmologi yaitu penyelidikan
tentang jagad raya yang terdiri dari 2 bagian yakni :
1.
Penyelidikan
kefilsafatan mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti
ruang, waktu, dsb.
2.
Praanggapan-praanggapan
yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagad raya. [2]
Pengertian secara alam ialah hal-hal yang ada disekitar
kita dan yang dapat kita serap dalam inderawi. Secara lebih cermat, istilah
“alam” dapat dipakai untuk menunjuk lingkungan obyek-obyek yang terdapat dalam
ruang dan waktu. Tetapi pada perubahan zaman pandangan orang mengenai alam
berbeda-beda.[3]
Dari pengertian di atas kita dapat melihat cosmos dengan
mata intelek yakni melihat cosmos sebenarnya dengan bentuk-bentuknya. Dari
makalah ini kami akan membahas makna kosmologi dalam filsafat Islam dan
pandangan pemikir Islam yaitu diantaranya Al-Farabi dan Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
I. AL-FARABI
Dalam pemaparan filsafat Al-Farabi
mengenai ilmu alam ini atau kosmologi mengenai hubungannya dengan Tuhan
mengatakan bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui
Tuhan bahwa ia bisa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi
semua yang ada, bahwa ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan
dan keadilan-Nya.
A.
Histiografi
Al-Farabi
Al-Farabi
nama yang diambil dari kota Farab tempat kelahirannya didesa Wasij pada tahun
257 H ( 870 M ). Nama lain Al-Farabi adalah “abu Nashr Ibnu Audaqhh Ibn Thorhan
Al-Farabi”.
Pemikiran
Al-Farabi datang dari banyak ahli diantaranya Massiqnon ( ahli masalah
ketimuran di Perancis ). Karya Al-Farabi memiliki ciri khas yang berbeda dari
karya-karya lain diantaranya adalah :
-
Model
karangannya pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang
berupa buku besar dan mendalam dalam membacanya.
-
Bukan saja
mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memberikan ulasan-ulasan
dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Fravolismy dan Plotinus.
-
Karya-karya
nyata dari Al-Farabi adalah :
a)
At-Jami’u
Baina Ra’yai Al-Hakimain Afalatoni, Al-Hahiy Wa Aristho-Thails ( pertemuan /
penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles ).
b)
Tahsilu
At-Sa’adah ( mencari kebahagiaan )
c)
As-Suyasatu
Al-Madinah ( politik pemerintahan )
d)
Fususu
Al-Taram ( hakekat kebenaran )
e)
Aroo’u
Al-Madinah Al-Fadilah ( pemikiran-pemikiran utama pemerintah )
f)
As-Syiyasyah
( ilmu politik )
g)
Fi Ma’ani
Al-Aqli
h)
Ihsho’u
Al-Ulum ( kumpulan berbagai ilmu )
i)
At-Tangibu
ala As-Sa’adah
B.
Filsafat
Al-Farabi
Al-Farabi
mendefinisikan filsafat adalah : Al-Ilmu Bilmaujudaat bima hiya Al-Maujudaat,
yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakekat sebenarnya dari segala yang
ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran
Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato
dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakekatnya
mereka bersatu dalam tujuannya.
Filsafat
Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan
Neo-Platonisme dengan pemikiran keislaman yang jelas dan corak aliran syi’ah
mamiah.
v Pemikiran Al-Farabi mengenali alam
Dalam
masalah alam, Al-Farabi sependapat dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru,
yang terjadi dari tidak ada ( sama dengan pendapat Al-Kindi ). Ide Plato tentang
alam mirip suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam. Persoalan tentang
terjadinya alam serta bagaimana hubungan penciptaan khaliq dengan makhluknya,
Al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo-Platonisme ( sebagaimana pendapat
Al-Kindi ). Lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah nama
Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri.
Pendapat
Al-Farabi mengenai akal itu esa adanya bahwa akal berisi hanya satu pikiran
yang memikirkan akan dirinya sendiri. jadi akal Tuhan dan aqil ( berpikir ) dan
ma’qul ( dipikirkan ) melalui Ta’aqul Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. ketika
Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau baru yang disebut
Al-Aqlul Awwal. Berkelanjutan dari akal pertama yang Ta’aqul tentang pemikiran Tuhan
dan dirinya sendiri. dengan Ta’aqqul Tuhan melimpah ke Al-Aqlis Tsans ( akal
kedua ) yang dapat menimbulkan Al-Falakul Aqsha ( langit yang paling luar ).
Maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al-Aqlits Tsani, menimbulkan
Al-Aqluls Tsalas ( akal ketiga )
bersamaan timbulnya karatul kawabits tsabitas ( langit bintang-bintang tetap ),
kemudian akal ketiga melimpah ke Al-Aqlur Rabi’ ( akal keempat ) yang menimbulkan
langit bintang zuhal ( Saturnus ), kemudian melimpah ke Aqlul Khami ( akal
kelima ) dengan munculnya langit bintang musykari ( Jupiter ), lalu ke Al-Aqlul
Sadis ( akal keenam ) bersama bintang Muris ( Mars ). Selanjutnya Al-Aqlust
Tsabi ( akal ketujuh ) dengan munculnya langit, matahari, Al-Aqlust Tsamin ( akal ke delapan ) bersama langit,
bintang zuhrah ( Venus ), Al-Aqlust Tsi ( akal kesembilan ) dengan langit
bintang utharid ( Merkurius ), akhirnya Al-Aqlul Asy bersama dengan langit
bulan. Adapun Al-Aqlust Asyir ( akal kesepuluh ) ini dinamakan Al-Aqlul Fa’al (
akal yang aktif bekerja ).
Pemikiran
Al-Farabi mengenai bumi beserta isinya, susunan bumi dan segal aisinya
berpendapat bahwa pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud
yang terbawah / terendah adalah materi yang abstrak, belum mempunyai bentuk,
kemudian disebut Al-maddatul ula la musyatarakah yaitu materi yang belum
mempunyai bentuk, yang dari materi pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih
tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api dan udara. Tingkatan yang lebih
tinggi lagi dari bentuk unsur-unsur tersbut berbentuk wujud, misalnya : emas,
perak, besi, tembaga, dsb. Kemudian ada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah
tumbuh-tumbuhan, dengan diwujudkan karena ada jiwa. Sebagai jiwa yang wujudnya
paling rendah yaitu jiwa vegetati yaitu jiwa yang berdaya indera. Akhirnya
sampai Al-Aqlul Fa’al yang berbentuk wujud manusia, oleh jiwa yang memiliki
daya berpikir aktual ( Al-Aqlul bi fi’li ). Disamping itu juga mempunyai daya
menanggap ( Al-Quwatul Mutaehajjilah ). Al Aqlu bil fi’li adalah kenyataan yang
mana manusia menempuhnya melalui dahulu dalam masa akal kemungkinan Al-Aqlu bil
quwwah yaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan ini akan menjadi akal kenyataan
apabila telah menerima pengetahuan dari Al-Aqlu Fa’al ( akal aktif ).
Al-Farabi
mendasarkan hidupnya antar kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari
kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.
Al-Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala
yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke
situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan
kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (
kaum ). Dan juga ilmu yang mencakup keseluruhan dalam membebaskan ilmu yang
kami datangkan dengan menyerupai Tuhan ( ilham ). Inilah salah satunya dari
ilmu yang mencakup secara keseluruhan yang menggambarkan dunia kepada kita
secara utuh.[4]
C.
Kritik
terhadap filsafat Al-Farabi
Agar tidak menyimpang dari ketauhidan
Islam, maka nampaknya Al-Farabi dalam menguraikan penciptaan Tuhan terhadap
alam ini berpijak pada aliran Platonisme. Ia menganggap Tuhan sebagia wujud
yang pertama dan yang menciptakan akal-akal benda angkasa. Dengan demikian, ia
menolak kepercayaan sabarah yang memperklukan bintang-bintang. Akan tetapi
sebenarnya ia tidak terlepas dari pengaruh aliran syi’ah, ketika memberi
kekuatan mencipta kepada akal-akal benda angkasa. Meskipun dengan perantaran
Tuhan, yaitu sebab dari segala sebab. Sedang penciptaan adalah sifat Tuhan
semata-mata, dan dengan demikian maka ia merasa tidak keluar dari ajaran Islam.
Dalam soal qodim-nya alam, Al-Farabi
mnegikuti Aristoteles. Untuk tidak keluar dari ajaran agama Islam ia
mempertemukan pendapat Aristoteles dengan ketentuan Islam mengenai khaliq (
penciptaan ) dengan mengatakan bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh
Tuhan, meskipun tidak dalam waktu. Pemecahan ini sebenarnya tidak memuaskan.
Al-Farabi berusaha mensucikan Tuhan
dari bilangan dan materi dengan mengemukakan teori akal. Tetapi ia tidak bisa
menjelaskan mengapa alam kebendaan keluar dari akal-akal yang tidak berbenda.
Dengan kata lain, rangkaian akal yang dikemukakannya tidak membawa pemecahan
yang memuaskan pikiran.[5]
v Tinjauan terhadap Al-Farabi
Al-Farabi adalah pembangun filsafat
dalam arti yang sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu pembangunan filsafat
dalam arti yang sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat
yang teratur rapi bagian-bagiannya, dan oleh karenanya maka Ibnu Khilikan
menamakannya “filosof Islam yang paling besar”.
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat
Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut
filsafat dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah roh dari segala roh. Akal yang
dikonsepsikannya ayitu uqul mufariqah ( akal yang terlepas dari benda )
merupakan rohani murni. Sedang kepala negeri utamanya menguasai badannya. Roh
itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.[6]
II. IBNU SINA
A.
Histiografi
Ibnu Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali
Al-Hasain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama
Avicenna. Lahir disebuah desa Afeyana, didaerah Bukhara pada tahun 340 H. yang
bertepatan dengan tahun 980 M. kelahiran beliau ditengah masa yang sedang
kacau, dimana kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula
berada di bawah kekuasannya baru mulai melepaskan diri dan untuk berdiri
sendiri. di kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan
Bani Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.
Ibnu Sina dibesarkan didaerah
kelahirannya, ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu
kedokteran.
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun
ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju
Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazan, kemudian sampai di Hamada
disinilah beliau meninggal pada tahun 428 H / 1037 M pada usia 57 tahun.
B.
Hasil
karyanya
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina
yang terkenal adalah :
1)
As-Syifa,
buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dan terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika ( ketuhanan )
2)
An-Najab,
merupakan ringkasan dari Asy-Syik.
3)
Al-Syarat
wat-Tanbihal
4)
Al-Hikmah
Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud
judul bukiu, naskah-naskah yang masih ada memuat bagian logika.
5)
Al-Qanun,
atau Canon of medicine, selain itu juga terdapat risalah-risalah lain yang
kebanyakan dalam lapangan filsafat, etika, logika dan psikolog.
v Filsafat Ajarannya
a.
Tentang
Wujud
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana
para filosof muslim terdahulu. Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir
intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak,
sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya
mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan
kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak
saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegen pertama memunculkan dua
kemaujudan yaitu :
1)
Intelegensi
kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
2)
Lingkungan
pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan
alamiyahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan
terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini yang
oleh kebanyakan filosof muslim disebut malaikat Jibril.
Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan
menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional in, Ibnu Sina
menjelaskan pra pengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita
lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan. Dunia, secara keseluruhan, ada bukan
karena kebetulan, tapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini
diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi secara
singkat.
b.
Dasar-Dasar
Fisika
Dasar-dasar fisika ini bersifat teori
dan obyeknya yaitu benda yang wujud, dimana ia terdapat dalam perubahan, diam,
dan bergerak.
Dasar-dasar ilmu fisika :
1)
Benda (
maddah ), surah ( form ) dan tiada ( adam )
2)
Gerak dan
diam
3)
Waktu /
masa
4)
Tempat dan
kekosongan
5)
Terbatas
dan tidak terbatas
1)
Benda (
maddah ), surah ( form ) dan tiada ( adam )
Menurut Aristoteles, setiap benda
yang tersusun berarti tersusun dari tiga hal, yaitu : benda, shurah, dan tiada.
Sebelum kejadiannya shurah, meskipun benda itu satu bilangan, namun mengandung
2 unsur yang berbeda yakni :
-
Unsur yang
tetap, meskipun terjadi perubahan-perubahan.
-
Unsur yang
terjadi dari adanya perubahan.
Ibnu Sina mengambil teori tersebut
dari Aristoteles, dengan mengatakan bahwa benda alam terdarii dari bendanya (
maddah ), sebagai tempat, dan dari surah sebagai perkara yang bertempat
padanya.
Perbedaan shurah dengan aradl ialah,
kalau aradl terdapat sesudah adanya benda, dalam kedudukannya ( benda ) sebagai
suatu keharusan bagi wujudnya aradl, sedang shurah terdapat sebelum benda,
dalam kedudukannya ( shurah ) sebagai illat ( sebab ) bagi benda, dan shurah
terdapat sebelum adanya aradl sebagai keharusan dan sebagai sebab bagi wujud
aradl.
Bagi tiada tidak semua ia menjadi
sumber bagi yang ada melainkan hanya tiada yang disertai wujud alam potensi
atau dengan kata lain hanya tiada yang mungkin wujud.
2)
Gerak dan
diam
Menurut Ibnu Sina :
a.
Gerak
Gerak adalah pergantian keadana yang
menetap pada benda sedikit demi sedikit, dengan menuju kepada suatu arah
tertentu. yang terdapat pada perkara yang bisa bertambah atau berkurang.
Gerak dapat dibedakan menjadi :
1.
Perkara
yang bergerak dengan pilihan ( ikhtiar ).
2.
Perkara
yang bergerak dengan keharusan ( dengan sendirinya ) dibedakan menjadi :
-
Perkiraan
yang bergerak menurut tabiatnya yakni menggerakkan tanpa mempunyai kehendak.
-
Perkara
yang bergera dengan jiwa universal yakni bergerak karena adanya kemauan.
b.
Diam
Menurut Ibnu Sina, diam adalah tidak adanya gerak dari
suatu yang bisa bergerak.
3)
Zaman
Menurut Ibnu Sina zaman adalah ukuran ( kadar ) gerak
yang bundar, dari segi maju mundurnya.
Zamann tidak dijadikan dalam proses
waktu melainkan kejadian tersebut adalah sebagai ibda ( ciptaan ) dimana
penciptanya tidak mendahuluinya dari segi tingkat dan martabatnya.
4)
Tempat,
kekosongan, terbatas dan tidak terbatas
Tempat adalah sesuatu yang didalamnya
terdapat suatu benda, jadi tempat itu meliputi benda itu, memuatnya, terpisah
darinya, terjadi suatu gerakan dan sama ( seimbang ) dengan ebnda itu.
Kemudian dalam soal kekosongan, Ibnu
Sina tidak membenarkan adanya kekosongan, sebagai mana ia mengingkari adanya
keterbatasan ( kadar ) yang tidak terhingga, atau adanya bilangan yang tidak
berakhir maupun gerak yang tidak berpangkal.
BAB III
KESIMPULAN
1)
Al-FARABI
Pemikiran Al-Farabi memiliki ciri
khas yang berbeda dari karya-karya lain :
Ø Pemikiran Al-Farabi mengenai alam
Dia sependapat dengan Plato bahwa alam ini baru, yang
terjadi dari tidak ada.
Ø Pemikiran Al-Farabi mengenai bumi dan isinya
Berpendapat bahwa pembahasannya dimulai terbalik dari
bawah ke atas. Dalam soal qadimnya alam, Al-Farabi mengikuti Aristoteles. Dia
mempertemukan pendapat Aristoteles dengan ketentuan Islam mengenai khalq (
penciptaan dengan mengatakan bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh Tuhan
).
2)
IBNU SINA
a.
Tentang
wujud
Menurut Ibnu Sina Tuhan menciptakan sesuatu karena
adanya keperluan yang rasional.
b.
Dasar-dasar
fisika
Ini bersifat teori dan obyeknya yaitu benda yang wujud,
dimana ia terdapat dalam perubahan diam, dan bergerak.
Dasar-dasar ilmu fisika terdiri dari ;
-
Benda (
maddah ), surah ( form ), dan tiada ( adam )
-
Gerak dan
diam
-
Waktu /
masa
-
Tempat dan
kekosongan
-
Terbatas
dan tidak terbatas
IV. REFERENSI
Ø Lovis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992.
Ø Ahmad Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
Ø Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Ø Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam (
Sunah Nabi Dalam Berpikir ), LESFI, Yogyakarta, 2002.
[1] Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam ( Sunah Nabi Dalam
Berpikir ), LESFI, Yogyakarta, 2002, hlm. 187.
[2] Lovis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta, 1992, hlm. 239-240.
[3] Ibid, hlm. 263.
[4] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung,
1997, hlm. 131.
[5] Ahmad Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1996, hlm. 95.
[6] Ibid, hlm. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar