Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

al farabi dan ibnu sina


BAB  I
PENDAHULUAN

Dalam bab-bab sebelumnya telah kita pelajari masalah hakekat terdalam dari kenyataan yang akan kita tinggalkan. Kita akan membicarakan segi kenyataan yang akan kita tinggalkan. Kita akan membicarakan segi kenyataan yang dinamakan “alam fisik”, salah satunya adalah kosmologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang berusaha mencari dan membahas hakekat alam semesta, menyingkap tentang hakekat eksistensinya yang tersembunyi dibalik penampilan fisiknya.[1]
Alam fisik atau jagad raya ( cosmos ) merupakan obyek penyelidikan ilmu-ilmu alam. Ini berarti bahwa kosmologi yaitu penyelidikan tentang jagad raya yang terdiri dari 2 bagian yakni :
1.       Penyelidikan kefilsafatan mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti ruang, waktu, dsb.
2.       Praanggapan-praanggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagad   raya. [2]
Pengertian secara alam ialah hal-hal yang ada disekitar kita dan yang dapat kita serap dalam inderawi. Secara lebih cermat, istilah “alam” dapat dipakai untuk menunjuk lingkungan obyek-obyek yang terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pada perubahan zaman pandangan orang mengenai alam berbeda-beda.[3]
Dari pengertian di atas kita dapat melihat cosmos dengan mata intelek yakni melihat cosmos sebenarnya dengan bentuk-bentuknya. Dari makalah ini kami akan membahas makna kosmologi dalam filsafat Islam dan pandangan pemikir Islam yaitu diantaranya Al-Farabi dan Ibnu Sina.



BAB  II

PEMBAHASAN

I.          AL-FARABI

Dalam pemaparan filsafat Al-Farabi mengenai ilmu alam ini atau kosmologi mengenai hubungannya dengan Tuhan mengatakan bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan bahwa ia bisa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

A.    Histiografi Al-Farabi
Al-Farabi nama yang diambil dari kota Farab tempat kelahirannya didesa Wasij pada tahun 257 H ( 870 M ). Nama lain Al-Farabi adalah “abu Nashr Ibnu Audaqhh Ibn Thorhan Al-Farabi”.
Pemikiran Al-Farabi datang dari banyak ahli diantaranya Massiqnon ( ahli masalah ketimuran di Perancis ). Karya Al-Farabi memiliki ciri khas yang berbeda dari karya-karya lain diantaranya adalah :
-          Model karangannya pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam membacanya.
-          Bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memberikan ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Fravolismy dan Plotinus.
-          Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah :
a)      At-Jami’u Baina Ra’yai Al-Hakimain Afalatoni, Al-Hahiy Wa Aristho-Thails ( pertemuan / penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles ).
b)      Tahsilu At-Sa’adah ( mencari kebahagiaan )
c)      As-Suyasatu Al-Madinah ( politik pemerintahan )
d)     Fususu Al-Taram ( hakekat kebenaran )
e)      Aroo’u Al-Madinah Al-Fadilah ( pemikiran-pemikiran utama pemerintah )
f)       As-Syiyasyah ( ilmu politik )
g)      Fi Ma’ani Al-Aqli
h)      Ihsho’u Al-Ulum ( kumpulan berbagai ilmu )
i)        At-Tangibu ala As-Sa’adah
B.     Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah : Al-Ilmu Bilmaujudaat bima hiya Al-Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakekat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakekatnya mereka bersatu dalam tujuannya.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pemikiran keislaman yang jelas dan corak aliran syi’ah mamiah.

v  Pemikiran Al-Farabi mengenali alam
Dalam masalah alam, Al-Farabi sependapat dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru, yang terjadi dari tidak ada ( sama dengan pendapat Al-Kindi ). Ide Plato tentang alam mirip suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam. Persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan penciptaan khaliq dengan makhluknya, Al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo-Platonisme ( sebagaimana pendapat Al-Kindi ). Lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah nama Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri.
Pendapat Al-Farabi mengenai akal itu esa adanya bahwa akal berisi hanya satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. jadi akal Tuhan dan aqil ( berpikir ) dan ma’qul ( dipikirkan ) melalui Ta’aqul Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau baru yang disebut Al-Aqlul Awwal. Berkelanjutan dari akal pertama yang Ta’aqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. dengan Ta’aqqul Tuhan melimpah ke Al-Aqlis Tsans ( akal kedua ) yang dapat menimbulkan Al-Falakul Aqsha ( langit yang paling luar ). Maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al-Aqlits Tsani, menimbulkan Al-Aqluls Tsalas ( akal     ketiga ) bersamaan timbulnya karatul kawabits tsabitas ( langit bintang-bintang tetap ), kemudian akal ketiga melimpah ke Al-Aqlur Rabi’            ( akal keempat ) yang menimbulkan langit bintang zuhal ( Saturnus ), kemudian melimpah ke Aqlul Khami ( akal kelima ) dengan munculnya langit bintang musykari ( Jupiter ), lalu ke Al-Aqlul Sadis ( akal keenam ) bersama bintang Muris ( Mars ). Selanjutnya Al-Aqlust Tsabi ( akal ketujuh ) dengan munculnya langit, matahari, Al-Aqlust Tsamin       ( akal ke delapan ) bersama langit, bintang zuhrah ( Venus ), Al-Aqlust Tsi ( akal kesembilan ) dengan langit bintang utharid ( Merkurius ), akhirnya Al-Aqlul Asy bersama dengan langit bulan. Adapun Al-Aqlust Asyir ( akal kesepuluh ) ini dinamakan Al-Aqlul Fa’al ( akal yang aktif bekerja ).
Pemikiran Al-Farabi mengenai bumi beserta isinya, susunan bumi dan segal aisinya berpendapat bahwa pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud yang terbawah / terendah adalah materi yang abstrak, belum mempunyai bentuk, kemudian disebut Al-maddatul ula la musyatarakah yaitu materi yang belum mempunyai bentuk, yang dari materi pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api dan udara. Tingkatan yang lebih tinggi lagi dari bentuk unsur-unsur tersbut berbentuk wujud, misalnya : emas, perak, besi, tembaga, dsb. Kemudian ada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah tumbuh-tumbuhan, dengan diwujudkan karena ada jiwa. Sebagai jiwa yang wujudnya paling rendah yaitu jiwa vegetati yaitu jiwa yang berdaya indera. Akhirnya sampai Al-Aqlul Fa’al yang berbentuk wujud manusia, oleh jiwa yang memiliki daya berpikir aktual ( Al-Aqlul bi fi’li ). Disamping itu juga mempunyai daya menanggap ( Al-Quwatul Mutaehajjilah ). Al Aqlu bil fi’li adalah kenyataan yang mana manusia menempuhnya melalui dahulu dalam masa akal kemungkinan Al-Aqlu bil quwwah yaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan ini akan menjadi akal kenyataan apabila telah menerima pengetahuan dari Al-Aqlu Fa’al ( akal aktif ).
Al-Farabi mendasarkan hidupnya antar kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al-Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya ( kaum ). Dan juga ilmu yang mencakup keseluruhan dalam membebaskan ilmu yang kami datangkan dengan menyerupai Tuhan ( ilham ). Inilah salah satunya dari ilmu yang mencakup secara keseluruhan yang menggambarkan dunia kepada kita secara utuh.[4]

C.     Kritik terhadap filsafat Al-Farabi
Agar tidak menyimpang dari ketauhidan Islam, maka nampaknya Al-Farabi dalam menguraikan penciptaan Tuhan terhadap alam ini berpijak pada aliran Platonisme. Ia menganggap Tuhan sebagia wujud yang pertama dan yang menciptakan akal-akal benda angkasa. Dengan demikian, ia menolak kepercayaan sabarah yang memperklukan bintang-bintang. Akan tetapi sebenarnya ia tidak terlepas dari pengaruh aliran syi’ah, ketika memberi kekuatan mencipta kepada akal-akal benda angkasa. Meskipun dengan perantaran Tuhan, yaitu sebab dari segala sebab. Sedang penciptaan adalah sifat Tuhan semata-mata, dan dengan demikian maka ia merasa tidak keluar dari ajaran Islam.
Dalam soal qodim-nya alam, Al-Farabi mnegikuti Aristoteles. Untuk tidak keluar dari ajaran agama Islam ia mempertemukan pendapat Aristoteles dengan ketentuan Islam mengenai khaliq ( penciptaan ) dengan mengatakan bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh Tuhan, meskipun tidak dalam waktu. Pemecahan ini sebenarnya tidak memuaskan.
Al-Farabi berusaha mensucikan Tuhan dari bilangan dan materi dengan mengemukakan teori akal. Tetapi ia tidak bisa menjelaskan mengapa alam kebendaan keluar dari akal-akal yang tidak berbenda. Dengan kata lain, rangkaian akal yang dikemukakannya tidak membawa pemecahan yang memuaskan pikiran.[5]

v  Tinjauan terhadap Al-Farabi
Al-Farabi adalah pembangun filsafat dalam arti yang sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu pembangunan filsafat dalam arti yang sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat yang teratur rapi bagian-bagiannya, dan oleh karenanya maka Ibnu Khilikan menamakannya “filosof Islam yang paling besar”.
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut filsafat dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah roh dari segala roh. Akal yang dikonsepsikannya ayitu uqul mufariqah ( akal yang terlepas dari benda ) merupakan rohani murni. Sedang kepala negeri utamanya menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.[6]





II.       IBNU SINA

A.    Histiografi Ibnu Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hasain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Lahir disebuah desa Afeyana, didaerah Bukhara pada tahun 340 H. yang bertepatan dengan tahun 980 M. kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, dimana kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasannya baru mulai melepaskan diri dan untuk berdiri sendiri. di kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.
Ibnu Sina dibesarkan didaerah kelahirannya, ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran.
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazan, kemudian sampai di Hamada disinilah beliau meninggal pada tahun 428 H / 1037 M pada usia 57 tahun.

B.     Hasil karyanya
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah :
1)      As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dan terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika ( ketuhanan )
2)      An-Najab, merupakan ringkasan dari Asy-Syik.
3)      Al-Syarat wat-Tanbihal
4)      Al-Hikmah Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud judul bukiu, naskah-naskah yang masih ada memuat bagian logika.
5)      Al-Qanun, atau Canon of medicine, selain itu juga terdapat risalah-risalah lain yang kebanyakan dalam lapangan filsafat, etika, logika dan psikolog.

v  Filsafat Ajarannya
a.       Tentang Wujud
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosof muslim terdahulu. Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegen pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu :
1)      Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
2)      Lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiyahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut malaikat Jibril.
Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional in, Ibnu Sina menjelaskan pra pengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan. Dunia, secara keseluruhan, ada bukan karena kebetulan, tapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi secara singkat.
b.      Dasar-Dasar Fisika
Dasar-dasar fisika ini bersifat teori dan obyeknya yaitu benda yang wujud, dimana ia terdapat dalam perubahan, diam, dan bergerak.


Dasar-dasar ilmu fisika :
1)      Benda ( maddah ), surah ( form ) dan tiada ( adam )
2)      Gerak dan diam
3)      Waktu / masa
4)      Tempat dan kekosongan
5)      Terbatas dan tidak terbatas
1)      Benda ( maddah ), surah ( form ) dan tiada ( adam )
Menurut Aristoteles, setiap benda yang tersusun berarti tersusun dari tiga hal, yaitu : benda, shurah, dan tiada. Sebelum kejadiannya shurah, meskipun benda itu satu bilangan, namun mengandung 2 unsur yang berbeda yakni :
-           Unsur yang tetap, meskipun terjadi perubahan-perubahan.
-           Unsur yang terjadi dari adanya perubahan.
Ibnu Sina mengambil teori tersebut dari Aristoteles, dengan mengatakan bahwa benda alam terdarii dari bendanya ( maddah ), sebagai tempat, dan dari surah sebagai perkara yang bertempat padanya.
Perbedaan shurah dengan aradl ialah, kalau aradl terdapat sesudah adanya benda, dalam kedudukannya ( benda ) sebagai suatu keharusan bagi wujudnya aradl, sedang shurah terdapat sebelum benda, dalam kedudukannya ( shurah ) sebagai illat ( sebab ) bagi benda, dan shurah terdapat sebelum adanya aradl sebagai keharusan dan sebagai sebab bagi wujud aradl.
Bagi tiada tidak semua ia menjadi sumber bagi yang ada melainkan hanya tiada yang disertai wujud alam potensi atau dengan kata lain hanya tiada yang mungkin wujud.





2)      Gerak dan diam
Menurut Ibnu Sina :
a.       Gerak
Gerak adalah pergantian keadana yang menetap pada benda sedikit demi sedikit, dengan menuju kepada suatu arah tertentu. yang terdapat pada perkara yang bisa bertambah atau berkurang.
Gerak dapat dibedakan menjadi :
1.      Perkara yang bergerak dengan pilihan ( ikhtiar ).
2.      Perkara yang bergerak dengan keharusan ( dengan sendirinya ) dibedakan menjadi :
-          Perkiraan yang bergerak menurut tabiatnya yakni menggerakkan tanpa mempunyai kehendak.
-          Perkara yang bergera dengan jiwa universal yakni bergerak karena adanya kemauan.
b.      Diam
Menurut Ibnu Sina, diam adalah tidak adanya gerak dari suatu yang bisa bergerak.
3)      Zaman
Menurut Ibnu Sina zaman adalah ukuran ( kadar ) gerak yang bundar, dari segi maju mundurnya.
Zamann tidak dijadikan dalam proses waktu melainkan kejadian tersebut adalah sebagai ibda ( ciptaan ) dimana penciptanya tidak mendahuluinya dari segi tingkat dan martabatnya.
4)      Tempat, kekosongan, terbatas dan tidak terbatas
Tempat adalah sesuatu yang didalamnya terdapat suatu benda, jadi tempat itu meliputi benda itu, memuatnya, terpisah darinya, terjadi suatu gerakan dan sama ( seimbang ) dengan ebnda itu.
Kemudian dalam soal kekosongan, Ibnu Sina tidak membenarkan adanya kekosongan, sebagai mana ia mengingkari adanya keterbatasan ( kadar ) yang tidak terhingga, atau adanya bilangan yang tidak berakhir maupun gerak yang tidak berpangkal.

BAB  III

KESIMPULAN

1)      Al-FARABI
Pemikiran Al-Farabi memiliki ciri khas yang berbeda dari karya-karya lain :
Ø  Pemikiran Al-Farabi mengenai alam
Dia sependapat dengan Plato bahwa alam ini baru, yang terjadi dari tidak ada.
Ø  Pemikiran Al-Farabi mengenai bumi dan isinya
Berpendapat bahwa pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Dalam soal qadimnya alam, Al-Farabi mengikuti Aristoteles. Dia mempertemukan pendapat Aristoteles dengan ketentuan Islam mengenai khalq ( penciptaan dengan mengatakan bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh Tuhan ).

2)      IBNU SINA
a.       Tentang wujud
Menurut Ibnu Sina Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional.
b.      Dasar-dasar fisika
Ini bersifat teori dan obyeknya yaitu benda yang wujud, dimana ia terdapat dalam perubahan diam, dan bergerak.


Dasar-dasar ilmu fisika terdiri dari ;
-          Benda ( maddah ), surah ( form ), dan tiada ( adam )
-          Gerak dan diam
-          Waktu / masa
-          Tempat dan kekosongan
-          Terbatas dan tidak terbatas



IV.  REFERENSI


Ø  Lovis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992.
Ø  Ahmad Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
Ø  Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Ø  Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam ( Sunah Nabi Dalam Berpikir ), LESFI, Yogyakarta, 2002.



[1] Prof. Dr. Musa Asy’arie, Filsafat Islam ( Sunah Nabi Dalam Berpikir ), LESFI, Yogyakarta, 2002,              hlm. 187.
[2] Lovis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992, hlm. 239-240.
[3] Ibid, hlm. 263.
[4] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hlm. 131.
[5] Ahmad Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hlm. 95.
[6] Ibid, hlm. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text