PENDAHULUAN
Banyak
dijumpai sederetan orang yang melakukan pernikahan yang berbeda agama. Hal ini
benar-benar menjadi problem dunia. Misalnya Yaser Arafat yang dibaikot oleh
rekan seperjuangannya dari Hamas gara-gara menikah dengan wanita Kristen
Amerika. Lady Diana terpaksa diakhiri hidupnya, karena nekat kawin dengan Dody
Al-Fayed yang muslim.1) Di
negara kita sendiri juga terdapat beberapa pasangan yang menikah antar agama.
Misalnya artis Ira Wibowo yang beragama
Islam dengan actor Katon Bagaskara yang beragama Protestan. Reaksi keraspun
muncul dari Dr. Quraisy
Shihab Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga salah seorang ketua
MUI pusat. Menurut Quraisy, sebagaimana laporan Republika ( 3/11/1996 )
pernikahan Ira – Katon tidak sah, baik secara agama maupun negara.2)
Disaat sekarang seorang muslim dituntut untuk memperteguh agamanya
dengan meningkatkan Iman dan ketakwaannya diantaranya dengan memilih pasangan
yang sholeh atau karena agamanya sebagaimana perintah Rosul. Karena saat ini
banyak juga saudara kita yang terjebak dalam modul kristenisasi melalui
perkawinan.
PEMBAHASAN
Yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara laki-laki
dan atau perempuan yang berbeda keyakinannya atau berbeda agamanya atau berbeda
kebangsaannya ( asal keturunannya ) atau kewarganegaraannya.3)
Agama Islam melarang keras laki-laki muslim mengawini perempuan
musyrikah. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqoroh ayat 221 menyatakan :
Artinya
: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik sebelum mereka beriman sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mu’min ) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya ( perintah-Nya )
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Yang dimaksud musyrik atau musyrikah dalam ayat itu adalah penyembah
berhala, berkeyakinan bahwa berhala dapat menjadi mediator pendekat kepada
Allah. Menurut para mufassir antara lain Imam Al-Fakhurozi yang disebut musyrik
/ musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan ( atheis ), tidak
percaya pada hati dan hari kiamat.
Dilarang mengawini mereka karena mereka akan menjerumuskan ke
neraka. Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Kemudian
bagaimana dengan mereka yang bukan atheis. Bolehkah menikahi mereka ?. Dalam
surat Al-bayinat dijelaskan bahwa orang kafir itu ada dua macam yaitu
orang-orang musyrik dan ahlul kitab. Ahlul kitab adalah mereka orang Yahudi dan
Nasroni mereka mempunyai kitab dan Rasul.
Allah berfirman dalam :
Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik dan makanan ( sembelihan ) orang-orang yang
diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal ( pula bagi mereka ).
Dan dihalalkan ( mengawini ) wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita menjaga kehormatan diantara
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu ( Al-Maidah ayat 5 ).
Islam memberi kesempatan kepada laki-laki muslim untuk mengawini
perempuan ahli kitab karena adanya titik pertemuan antara agama mereka dengan
agama Islam yaitu mereka Iman kepada Allah dan hari akhir. Namun selanjutnya
ada perbedaan pendapat mengenai hukum mengawini mereka karena adanya beberapa
sebab.
Hukum Dan Kaidah Ushul Fiqh
1.
Dalam
perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik itu jelas dilarang dengan
adanya Nahi yaitu kalimat :
Kalimat
Dan dalam kaidah ushul fiqh Nahi itu menunjukikan haram.
Pada dasarnya larangan itu menunjukkan arti haram.4)
Pada dasarnya larangan itu menimbulkan kerusakan secara mutlak.
2.
Dalam
perkawinan antara orang Islam dengan ahlul kitab sebelum kamu artinya sebelum
turunnya Al-Qur'an dengan Qayyid ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita
ahlul kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani. Para ulama modern berbeda
pendapat tentang apakah Yahudi dan Kristen sekarang masih layak di sebut ahlul
kitab.
Dr.
Muardi Khatib mengatakan bahwa pemeluk Kristen sekarang sulit dikategorikan
sebagai ahlul kitab. Karena kitab suci mereka telah termodifikasi. Juga
pandangan Ibrahim Husain dalam bukunya fiqih perbandingan, orang-orang Yahudi
dan Nasrani sesudah turunnya Al-Qur'an tidak termasuk ahlul kitab.
Walaupun demikian banyak ulama yang berpegang teguh
pada dhahir ayat yang memperbolehkan menikah dengan ahli kitab, hal ini masih
bisa ditolerir karena dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, Rasul, hari akhir
dan prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan. Dikalangan sahabat sendiri
ada sederetan orang yang tercatat pernah menikah dengan ahlul kitab walau
berakhir dengan perceraian seperti Usman bin Affan, Hudzaifah, Saad bin Abi
Waqas, dll.
Akan tetapi menurut hemat saya menikah dengan muslimah
masih banyak yang terjebak kedalam konfilk keluarga apalagi menikah dengan
orang non Islam, Kristen atau Yahudi. Kalau hal ini tetap dilaksanakan maka
muslim tersebut terjebak dalam gerbang kerusakan agama yang mana menjaga agama
merupakan hal yang paling penting yang harus dijaga dalam dharuriat khomsah.
Oleh karena akibat yang demikian maka kita harus
menolak suatu hal yang dapat menghantarkan kepada kemafsadahan ( saddudzri’ah
). Hal ini senada dengan prinsip Maqasid Syari’ah
menolak segala bentuk kemafsadahan lebih didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan.5)
Bahkan tujuan nikah sendiri adalah membentuk keluarga
yang sakinah, mawadah dan rahmah dan hal ini hanya terlaksana kalau terjadi
kecocokan keseluruhannya ( mukafaah ) terutama dalam pandangan ideologinya dan
hendaknya seorang muslim dalam pernikahannya bertujuan untuk melaksanakan
perintah Allah dan tuntunan Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
v H. Ahmad Abdul Majid, MA, Masail Fiqhiyyah,
Pasuruan, Garuda Buana Indah, 1991.
v H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
v Lutfi Syaukani, Politik HAM dan Isu-Isu
Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, Bandung, TP, 1998.
v Taswirul Afkar dan Ma’had Ali, Fiqih Rakyat
Pertautan Fiqih Dengan Kekuasaan, Yogyakarta, LKIS, 2000.
v Prof. Dr. H. Nasrun Naroen, MA, Ushul Fiqih
I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.
1) Taswirul Afkar dan Ma’had Ali, Fiqih Rakyat Pertautan Fiqih Dengan
Kekuasaan, ( Yogyakarta : LKIS, 2000 ), hlm. 279.
2) Lutfi Syaukani, Politik HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih
Kontemporer, ( Bandung : TP, 1998 ), hlm. 106.
3) H. Ahmad Abdul Majid, MA, Masail Fiqhiyyah, ( Pasuruan :
Garuda Buana Indah, 1991 ), hlm.9.
4) H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), hlm.30
5) Prof. Dr. H. Nasrun Naroen, MA, Ushul Fiqih I, ( Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 2001 ), hlm. 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar