Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

perkawinan campuran


PENDAHULUAN

Banyak dijumpai sederetan orang yang melakukan pernikahan yang berbeda agama. Hal ini benar-benar menjadi problem dunia. Misalnya Yaser Arafat yang dibaikot oleh rekan seperjuangannya dari Hamas gara-gara menikah dengan wanita Kristen Amerika. Lady Diana terpaksa diakhiri hidupnya, karena nekat kawin dengan Dody Al-Fayed yang muslim.1) Di negara kita sendiri juga terdapat beberapa pasangan yang menikah antar agama. Misalnya artis  Ira Wibowo yang beragama Islam dengan actor Katon Bagaskara yang beragama Protestan. Reaksi keraspun muncul dari                Dr. Quraisy Shihab Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga salah seorang ketua MUI pusat. Menurut Quraisy, sebagaimana laporan Republika ( 3/11/1996 ) pernikahan Ira – Katon tidak sah, baik secara agama maupun negara.2)
Disaat sekarang seorang muslim dituntut untuk memperteguh agamanya dengan meningkatkan Iman dan ketakwaannya diantaranya dengan memilih pasangan yang sholeh atau karena agamanya sebagaimana perintah Rosul. Karena saat ini banyak juga saudara kita yang terjebak dalam modul kristenisasi melalui perkawinan.

PEMBAHASAN


Yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara laki-laki dan atau perempuan yang berbeda keyakinannya atau berbeda agamanya atau berbeda kebangsaannya ( asal keturunannya ) atau kewarganegaraannya.3)
Agama Islam melarang keras laki-laki muslim mengawini perempuan musyrikah. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqoroh ayat 221 menyatakan :









Artinya :  Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mu’min ) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya ( perintah-Nya ) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Yang dimaksud musyrik atau musyrikah dalam ayat itu adalah penyembah berhala, berkeyakinan bahwa berhala dapat menjadi mediator pendekat kepada Allah. Menurut para mufassir antara lain Imam Al-Fakhurozi yang disebut musyrik / musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan ( atheis ), tidak percaya pada hati dan hari kiamat.
Dilarang mengawini mereka karena mereka akan menjerumuskan ke neraka. Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Kemudian bagaimana dengan mereka yang bukan atheis. Bolehkah menikahi mereka ?. Dalam surat Al-bayinat dijelaskan bahwa orang kafir itu ada dua macam yaitu orang-orang musyrik dan ahlul kitab. Ahlul kitab adalah mereka orang Yahudi dan Nasroni mereka mempunyai kitab dan Rasul.
Allah berfirman dalam :





Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik dan makanan ( sembelihan ) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal ( pula bagi mereka ). Dan dihalalkan ( mengawini ) wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu ( Al-Maidah ayat 5 ).
Islam memberi kesempatan kepada laki-laki muslim untuk mengawini perempuan ahli kitab karena adanya titik pertemuan antara agama mereka dengan agama Islam yaitu mereka Iman kepada Allah dan hari akhir. Namun selanjutnya ada perbedaan pendapat mengenai hukum mengawini mereka karena adanya beberapa sebab.


Hukum Dan Kaidah Ushul Fiqh

1.      Dalam perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik itu jelas dilarang dengan adanya Nahi yaitu kalimat :
Kalimat
Dan dalam kaidah ushul fiqh Nahi itu menunjukikan haram.
Pada dasarnya larangan itu menunjukkan arti haram.4)


Pada dasarnya larangan itu menimbulkan kerusakan secara mutlak.
2.      Dalam perkawinan antara orang Islam dengan ahlul kitab sebelum kamu artinya sebelum turunnya Al-Qur'an dengan Qayyid ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlul kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani. Para ulama modern berbeda pendapat tentang apakah Yahudi dan Kristen sekarang masih layak di sebut ahlul kitab.
Dr. Muardi Khatib mengatakan bahwa pemeluk Kristen sekarang sulit dikategorikan sebagai ahlul kitab. Karena kitab suci mereka telah termodifikasi. Juga pandangan Ibrahim Husain dalam bukunya fiqih perbandingan, orang-orang Yahudi dan Nasrani sesudah turunnya Al-Qur'an tidak termasuk ahlul kitab.
Walaupun demikian banyak ulama yang berpegang teguh pada dhahir ayat yang memperbolehkan menikah dengan ahli kitab, hal ini masih bisa ditolerir karena dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, Rasul, hari akhir dan prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan. Dikalangan sahabat sendiri ada sederetan orang yang tercatat pernah menikah dengan ahlul kitab walau berakhir dengan perceraian seperti Usman bin Affan, Hudzaifah, Saad bin Abi Waqas, dll.


Akan tetapi menurut hemat saya menikah dengan muslimah masih banyak yang terjebak kedalam konfilk keluarga apalagi menikah dengan orang non Islam, Kristen atau Yahudi. Kalau hal ini tetap dilaksanakan maka muslim tersebut terjebak dalam gerbang kerusakan agama yang mana menjaga agama merupakan hal yang paling penting yang harus dijaga dalam dharuriat khomsah.
Oleh karena akibat yang demikian maka kita harus menolak suatu hal yang dapat menghantarkan kepada kemafsadahan ( saddudzri’ah ). Hal ini senada dengan prinsip Maqasid Syari’ah
menolak segala bentuk kemafsadahan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.5)
Bahkan tujuan nikah sendiri adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah dan hal ini hanya terlaksana kalau terjadi kecocokan keseluruhannya ( mukafaah ) terutama dalam pandangan ideologinya dan hendaknya seorang muslim dalam pernikahannya bertujuan untuk melaksanakan perintah Allah dan tuntunan Rasulullah SAW.


DAFTAR  PUSTAKA


v  H. Ahmad Abdul Majid, MA, Masail Fiqhiyyah, Pasuruan, Garuda Buana Indah, 1991.
v  H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
v  Lutfi Syaukani, Politik HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, Bandung, TP, 1998.
v  Taswirul Afkar dan Ma’had Ali, Fiqih Rakyat Pertautan Fiqih Dengan Kekuasaan, Yogyakarta, LKIS, 2000.
v  Prof. Dr. H. Nasrun Naroen, MA, Ushul Fiqih I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.




1) Taswirul Afkar dan Ma’had Ali, Fiqih Rakyat Pertautan Fiqih Dengan Kekuasaan, ( Yogyakarta : LKIS, 2000 ), hlm. 279.
2) Lutfi Syaukani, Politik HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, ( Bandung : TP, 1998 ), hlm. 106.
3) H. Ahmad Abdul Majid, MA, Masail Fiqhiyyah, ( Pasuruan : Garuda Buana Indah, 1991 ), hlm.9.
4) H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), hlm.30
5) Prof. Dr. H. Nasrun Naroen, MA, Ushul Fiqih I, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001 ), hlm. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text