A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sarana untuk
membina suatu keluarga yang didalamnya terdiri dari suami dan istri, disamping
itu perkawinan juga merupakan sarana atau cara untuk dapat melanjutkan
keturunan secara sah menurut hukum dan mencegah perzinahan. Dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal[1]
atau dalam bahasa qur’annya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 :
Artinya :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaann-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya. Dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”. ( Ar-Rum : 21 ).[2]
Idealnya perkawinan itu dilakukan
oleh pasangan yang menganut agama yang sama, agar perbedaan-perbedaan prinsipil
terutama yang berkaitan dengan urusan keagamaan dapat dieliminir. Namun seiring
dengan semakin meluasnya hubungan bermasyarakat interaksi antar umat beragaapun
tidak bisa dihindarkan dan terkadang cinta datang tidak pandang bulu sehingga
orang yang berbeda agama dapat tertarik dengan lawannya dan perkawinan antar
keduanya tidak dapat terhindarkan juga.
Mengenai masalah perkawinan bagi
pasangan yang berbeda agama Al-Qur'an telah menyinggungnya dalam dua tempat
yang berbeda. Yang perama dalam surat Al-Baqoroh ayat 221 :

Artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik ( dengan wanita-wanita mu’min ) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya ( perintah-perintah-Nya ) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”.
Ayat ini menerangkan tentang larangan
menikahi orang-orang musyrik baik laki-laki maupun wanitanya. Kemudian ayat
yang kedua yang menyinggung tentang perkawinan antara orang yang berbeda agama
adalah surat Al-Maidah ayat 5 :
ا ليو م ا حل لكم ا لطيبت قل و طعا م ا لذ ين ا و
تو ا لكتب حل لكم قل و طعا مكم حل لهم صل و ا لمحصنت من ا
لمو منت و ا لمحصنت من ا لذين ا و تو ا ا لكتب من قبلكم ا ذ ا تيتمو هن ا جو ر هن
محسنين غير مسا فحين د لا متخذ ي
ا حد ا ن قل و من يكفر با لا يما ن فقد حبطا عمله صل و هو ف ا لا ا خر ة من ا لخا سر ين. ( ا لما ئد ة : 5).
ا حد ا ن قل و من يكفر با لا يما ن فقد حبطا عمله صل و هو ف ا لا ا خر ة من ا لخا سر ين. ( ا لما ئد ة : 5).
Artinya :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik,
makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal
pula bagi mereka, dan ( dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan ) diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu. Bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina
dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik .....”.
( Al-Maidah : 5 ).
Ayat ini menerangkan tentang
kebolehan memakan makanan atau hasil sembelihan ahlul kita dan mengawini
wanita-wanita ahlul kitab. Kedua ayat tersebut diatas merupakan dasar bagi para
ulama baik mufassirin maupun fuqoha dalam menetapkan hukum tentang perkawinan
beda agama. Para ulama berbeda pendapat dalam berbagai hal yang berkaitan
dengan masalah tersebut, perbedaan itu terjadi seputar masalah. Siapakah yang
dimaksud dengan musyrik dan musyrikah. Siapa yang dimaksud dengan halul kitab,
dan tentang hukum menikahi ahlul kitab.[3]
Secara garis besar pendapat para
ulama tentang hukum perkawinan beda agama terbagi dalam dua kelompok yang
pertama adalah kelompok ulama yang melarang atau mengharamkan menikah dengan
orang yang berbeda agama. Kelompok yang kedua adalah golongan ulama yang
membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Kelompok yang kedua ini
terbagi lagi dalam dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok yang membolehkan
menikah dengan orang yang berbeda agama namun terbatas kepada pemeluk Yahudi
dan nasrani saja. Yang kedua adalah kelompok yang membolehkan menikah dengan
orang yang berbeda agama secara umum yaitu tidak terbatas kepada Yahudi dan
Nasrani saja,[4]
tetapi kepada seluruh pemeluk agama lainnya yang mana agama yang dianutnya itu
mempunyai kitab suci sebagai pedoman.[5]
Diantara ulama yang membolehkan
perkawinan beda agama salah satunya adalah Muhammad Abduh. Yang lebih menarik
dari pendapat Muhammad Abduh ini adalah perkawinan beda agama hukumnya boleh
baik bagi laki-laki muslim terhadap wanita non muslim ataupun sebaliknya yaitu
wanita-wanita muslim dengan laki-laki non muslim dan beliau juga termasuk ulama
yang mempelopori pendapat bahwa ahlul kitab itu tidak terbatas pada Yahudi dan
Nasrani saja melainkan agama-agama lain didunia pemeluknya juga disebut ahlul
kitab.[6]
Pembahasan mengenai perkawinan beda
agama memang bukanlah sesuatu yang baru. Namun hal tersebut tetap masih menarik
untuk dibahas lebih lanjut, karena dari dulu masa tabi’in sampai sekarang
masalah ini masih menjadi perdebatan para ulama, terlebih lagi jika masalah
tersebut dikontekskan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang dikenal
dengan kemajemukannya ( plural ). Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang
terdiri dari berbagai macam suku bangsa, adat-istiadat dan kebudayaan yang
beraneka ragam serta menganut agama yang beragam juga.[7]
Yang mana kemungkinan terjadinya perkawinan antar orang yang berbeda agama
sangat mungkin terjadi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah
dikemukakan, maka kami rumuskan beberapa permasalahan untuk menghindar melebar
dan tidak fokusnya pembahasan dalam penelitian ini :
1.
Bagaimana
pendapat para ulama mengenai perkawinan beda agama ?
2.
Bagaimana
pendapat Muhammad Abduh mengenai perkawinan beda agama ?
3.
Bagaimana
jika pendapat Muhammad Abduh tersebut dikontekskan dengan kehidupan
bermasyarakat di Indonesia ?
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui,
memahami dan menganalisa pendapat para ulama terutama Muhammad Abduh mengenai
perkawinan beda agama.
2.
Menganalisa
bagaimana jika pendapat Muhammad Abduh tersebut dikontekskan dengan kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
Kegunaan penelitian ini adalah :
- Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam mengenai masalah perkawinan.
- Sebagai bahan bagi pengkajian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai masalah serupa.
- Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana Strata 1 di STAIN Pekalongan.
D.
Kajian
Pustaka
Pembahasan mengenai perkawinan beda
agama sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, dalam kitab-kitab tafsir
pembahasan masalah ini sudah sering diangkat, terutama ketika mufassir sampai
pada surat Al-Baqoroh 2 : 221 dan al-Maidah 5 : 5 karena memang kedua ayat
tersebut yang menjadi landasan utama dari pendapat para ulama mengenai masalah
tersebut.
Didalam tafsirnya Al-Qur'an al-Hakim
yang terkenal dengan al-Manar Muhammad Abduh berpendapat bahwa perkawinan beda
agama itu diperbolehkan bahkan beliau memperluas makna ahlul kitab. Kalau ulama
salaf ahlul kitab hanya dinisbatkan kepada Yahudi dan Nasrani saja maka beliau
berpendapat bahwa pemeluk agama selain Yahudi dan Nasrani juga termasuk ahlul
kitab seperti shabi’un, zoroaster, hindu, budha, konghucu, dan lain-lain.
Selain itu kalau ulama lain hanya membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita
non muslim maka beliau membolehkan keduanya, baik laki-laki muslim mengawini
wanita non muslim maupun wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim.
Dalam kitab-kitab tafsir lainpun
banyak yang menyinggung tentang perkawinan beda agama, seperti Ibnu Jarir
at-Tobari dalam tafsirnya Al-Qur'an al-Adhim yang terkenal dengan tafsir
at-Tobari juga menyinggung masalah tersebut. Kemudian al-Alusi dalam tafsirnya
Rauhul Ma’ani juga menyinggungnya. Ali As-Shobuni dalam tafsirnya Rowai’ul
Bayan juga menyinggung masalah tersebut dengan mengemukakan pendapat para
mufassir lain tentang hal tersebut.
Selain kitab-kitab tafsir ada juga
buku-buku yang secara parsial menguraikan tentang perkawinan beda agama seperti
buku Islamologi yang judul aslinya Dinul Islam karya Maulana Muhammad Ali yang
diterjemahkan bahasa Indonesia oleh R. Kaelan dan HM. Bahrun, disini
diterangkan tentang kebolehan menikahi wanita ahlul kitab yang bukan hanya
Yahudi dan Nasrani saja tapi juga Hindu, Budha, dan lain-lain.
Ada juga buku karya Muhammad Gholib
yang berjudul Ahl al-Kitab makna dan cakupannya yang merupakan hasil
disertasinya yang kemudian dibukukan. Dalam buku ini M. Gholib mengupas secara
panjang lebar tentang Ahlul Kitab yang beliau sandarkan pada informasi yang
terdapat dalam Al-Qur'an. Mulai dari siapa ahlul kitab, bagaimana tingkah laku
ahlul kitab dan bagaimana harusnya kitab berperilaku atau berhubungan dengan
ahlul kitab. Kemudian ada juga buku dari paramadina karya dari Nur Cholis Majid
dan kawan-kawan yang sempat menuai kritik tajam dari Majelis Mujahidin
Indonesia ( MMI ) lantaran dianggap sangat sekuler dan menyesatkan yaitu buku
yang berlabel fiqih lintas agama yang didalamnya terkandung bahasa tentang
pluralisme agama, yang mana sumber dari agama sebenarnya adalah satu yaitu dari
Tuhan, namun diturunkan pada masa dan tempat yang berbeda, dan didalamnya juga
terkandung bagaimana kita berinteraksi dengan agama lain.
E.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua pendekatan. Yang pertama yaitu dengan model penelitian
kepustakaan yaitu penelitian dengan melakukan pengumpulan data dan informasi
dengan cara melakukan pembacaan, pemahaman, dan penganalisaan terhadap material
kepustakaan seperti : buku, catatan, dokumen, dan lain-lain.[8]
Karena penelitian ini secara khusus
akan membahas pemikiran Muhammad Abduh tentang perkawinan beda agama maka
penulis menggunakan kitab tafsir Al-Qur'an al-Hakim ( al-Manar ) sebagai sumber
utama. Selain itu penulis juga akan menggunakan tafsir lain seperti Rowai’ul
Bayan karya M. Ali As-Shobuni, al-Jami’ al-Ahkam Al-Qur'an karya Al-Qurtubi dan
lain-lain. Selain itu penulis juga menggunakan buku-buku yang ada pembahasan
perkawinan beda agama seperti Islamologi ( Dinul Islam ) karya Maulana M. Ali,
Ahl al-Kitab karya M. Gholib, Fiqih Lintas Agama karya Nur Clolis Majid dan
kawan-kawan, dan buku-buku lainnya sebagai sumber sekunder.
Kedua penulis akan menggunakan
pendekatan sosiologis yaitu dengan melakukan pengamatan dan penganalisaan
terhadap realitas-realitas yang ada dalam masyarakat untuk kemudian berusaha
menemukan solusi atas realitas yang ada.[9]
Dalam pendekatan yang kedua disamping melakukan pengamatan terhadap realitas
sosial penulis juga melakukan pembacaan terhadap buku-buku yang memuat
pembacaan pembahasan sosial seperti Sosiologi Hukum karya Alvin Johnson, Kajian
Sosiologi Agama karya Betty R. Schap, Sistem Sosial Indonesia karya Nasikun,
dan lain-lain.
F.
Kesimpulan
Sementara
Pemikiran Muhammad Abduh tentang
perkawinan beda agama merupakan pemikiran yang sangat revolusioner, beliau
berani memperluas pengertian Ahlul Kitab kepada agama selain Yahudi dan Nasrani
yaitu Shabiun, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lain, yang mana hal ini
didasarkan pada adanya penyebutan agama lain dalam Qur’an selain Yahudi Nasrani
yaitu Majusi dan Shobi’un. Selain itu ada ayat yang menyatakan bahwa bagi
setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk ( 7 : 13 ).
Menurut Abduh perkawinan beda agama
itu hukumnya boleh tidak hanya bagi laki-laki muslim terhadap wanita non muslim
tetapi juga bagi wanita muslim dengan laki-laki non muslim. Pemikiran Abduh
tersebut bisa diaplikasikan di Indonesia mengingat bahwa Indonesia adalah
negara yang plural terdiri dari berbagai suku bangsa, adat-istiadat dan
menyakini eksistensi berbagai agama. Jadi seharusnya ada hukum tentang
perkawinan yang dapat digunakan oleh semua masyarakat dari berbagai golongan
yang berbeda untuk itu mestinya perkawinan beda agama haruslah dibuatkan hukum
yang bisa melegalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1
2.
Qur’an dan
Terjemahannya, Departemen Agama RI.
3.
Muhammad
Ali As-Shobuni, Rowai’ul Bayan, Darul Kutub, Kairo Mesir,
Jilid I.
Jilid I.
4.
Dr.
Muhammad Ehalib M., Ahl-Al-Kitab Makna dan Cakupannya, Paramadina,
Jakarta, 1998.
5.
Maulana
Muhammad Ali, Islamologi ( Dinul Islam ), Diterjemahkan oleh
R. Kaelan dan HM. Bahrun, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta.
R. Kaelan dan HM. Bahrun, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta.
6.
Muhammad
Abduh, Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim ( Al-Manar ), Ditulis Muhammad Rosyid
Ridlo, Darul Fikr Kairo Mesir, Jilid 2.
7.
Dr.
Nasikhin, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
8.
Dra.
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial, Penerbit Alumni,
Bandung, 1983.
[1] UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1
[2] Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
[3] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowai’ul Bayan, Darul Kutub, Kairo
Mesir, Jilid I, hlm. 224-227.
[4] Dr. Muhammad Ehalib M., Ahl-Al-Kitab Makna dan Cakupannya,
Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 165.
[5] Maulana Muhammad Ali, Islamologi ( Dinul Islam ),
Diterjemahkan oleh R. Kaelan dan HM. Bahrun, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta,
hlm. 412.
[6] Muhammad Abduh, Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim ( Al-Manar ),
Ditulis Muhammad Rosyid Ridlo, Darul Fikr Kairo Mesir, Jilid 2, hlm. 186.
[7] Dr. Nasikhin, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 28.
[8] Dra. Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial,
Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hlm. 28.
[9] Ibid, hlm. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar