Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

perkawinan beda agama


A.    Latar Belakang

Perkawinan merupakan sarana untuk membina suatu keluarga yang didalamnya terdiri dari suami dan istri, disamping itu perkawinan juga merupakan sarana atau cara untuk dapat melanjutkan keturunan secara sah menurut hukum dan mencegah perzinahan. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal[1] atau dalam bahasa qur’annya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 :



Artinya :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. ( Ar-Rum : 21 ).[2]
Idealnya perkawinan itu dilakukan oleh pasangan yang menganut agama yang sama, agar perbedaan-perbedaan prinsipil terutama yang berkaitan dengan urusan keagamaan dapat dieliminir. Namun seiring dengan semakin meluasnya hubungan bermasyarakat interaksi antar umat beragaapun tidak bisa dihindarkan dan terkadang cinta datang tidak pandang bulu sehingga orang yang berbeda agama dapat tertarik dengan lawannya dan perkawinan antar keduanya tidak dapat terhindarkan juga.
Mengenai masalah perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama Al-Qur'an telah menyinggungnya dalam dua tempat yang berbeda. Yang perama dalam surat Al-Baqoroh ayat 221 :





Artinya :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mu’min ) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya ( perintah-perintah-Nya ) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Ayat ini menerangkan tentang larangan menikahi orang-orang musyrik baik laki-laki maupun wanitanya. Kemudian ayat yang kedua yang menyinggung tentang perkawinan antara orang yang berbeda agama adalah surat Al-Maidah ayat 5 :
ا ليو م ا حل لكم ا لطيبت قل و طعا م ا لذ ين ا و تو ا لكتب حل لكم قل و طعا مكم حل لهم صل و ا لمحصنت من ا لمو منت و ا لمحصنت من ا لذين ا و تو ا ا لكتب من قبلكم ا ذ ا تيتمو هن ا جو ر هن محسنين غير مسا فحين د لا متخذ ي
 ا حد ا ن قل و من يكفر با لا يما ن فقد حبطا عمله صل و هو ف ا لا ا خر ة من ا لخا سر ين. ( ا لما ئد ة : 5).
Artinya :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal pula bagi mereka, dan ( dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan ) diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik .....”. ( Al-Maidah : 5 ).
Ayat ini menerangkan tentang kebolehan memakan makanan atau hasil sembelihan ahlul kita dan mengawini wanita-wanita ahlul kitab. Kedua ayat tersebut diatas merupakan dasar bagi para ulama baik mufassirin maupun fuqoha dalam menetapkan hukum tentang perkawinan beda agama. Para ulama berbeda pendapat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, perbedaan itu terjadi seputar masalah. Siapakah yang dimaksud dengan musyrik dan musyrikah. Siapa yang dimaksud dengan halul kitab, dan tentang hukum menikahi ahlul kitab.[3]
Secara garis besar pendapat para ulama tentang hukum perkawinan beda agama terbagi dalam dua kelompok yang pertama adalah kelompok ulama yang melarang atau mengharamkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Kelompok yang kedua adalah golongan ulama yang membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Kelompok yang kedua ini terbagi lagi dalam dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok yang membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama namun terbatas kepada pemeluk Yahudi dan nasrani saja. Yang kedua adalah kelompok yang membolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama secara umum yaitu tidak terbatas kepada Yahudi dan Nasrani saja,[4] tetapi kepada seluruh pemeluk agama lainnya yang mana agama yang dianutnya itu mempunyai kitab suci sebagai pedoman.[5]


Diantara ulama yang membolehkan perkawinan beda agama salah satunya adalah Muhammad Abduh. Yang lebih menarik dari pendapat Muhammad Abduh ini adalah perkawinan beda agama hukumnya boleh baik bagi laki-laki muslim terhadap wanita non muslim ataupun sebaliknya yaitu wanita-wanita muslim dengan laki-laki non muslim dan beliau juga termasuk ulama yang mempelopori pendapat bahwa ahlul kitab itu tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja melainkan agama-agama lain didunia pemeluknya juga disebut ahlul kitab.[6]
Pembahasan mengenai perkawinan beda agama memang bukanlah sesuatu yang baru. Namun hal tersebut tetap masih menarik untuk dibahas lebih lanjut, karena dari dulu masa tabi’in sampai sekarang masalah ini masih menjadi perdebatan para ulama, terlebih lagi jika masalah tersebut dikontekskan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang dikenal dengan kemajemukannya ( plural ). Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, adat-istiadat dan kebudayaan yang beraneka ragam serta menganut agama yang beragam juga.[7] Yang mana kemungkinan terjadinya perkawinan antar orang yang berbeda agama sangat mungkin terjadi.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka kami rumuskan beberapa permasalahan untuk menghindar melebar dan tidak fokusnya pembahasan dalam penelitian ini :
1.      Bagaimana pendapat para ulama mengenai perkawinan beda agama ?
2.      Bagaimana pendapat Muhammad Abduh mengenai perkawinan beda agama ?
3.      Bagaimana jika pendapat Muhammad Abduh tersebut dikontekskan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia ?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui, memahami dan menganalisa pendapat para ulama terutama Muhammad Abduh mengenai perkawinan beda agama.
2.      Menganalisa bagaimana jika pendapat Muhammad Abduh tersebut dikontekskan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Kegunaan penelitian ini adalah :
  1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam mengenai masalah perkawinan.
  2. Sebagai bahan bagi pengkajian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai masalah serupa.
  3. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana Strata 1 di STAIN Pekalongan.

D.    Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai perkawinan beda agama sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, dalam kitab-kitab tafsir pembahasan masalah ini sudah sering diangkat, terutama ketika mufassir sampai pada surat Al-Baqoroh 2 : 221 dan al-Maidah 5 : 5 karena memang kedua ayat tersebut yang menjadi landasan utama dari pendapat para ulama mengenai masalah tersebut.
Didalam tafsirnya Al-Qur'an al-Hakim yang terkenal dengan al-Manar Muhammad Abduh berpendapat bahwa perkawinan beda agama itu diperbolehkan bahkan beliau memperluas makna ahlul kitab. Kalau ulama salaf ahlul kitab hanya dinisbatkan kepada Yahudi dan Nasrani saja maka beliau berpendapat bahwa pemeluk agama selain Yahudi dan Nasrani juga termasuk ahlul kitab seperti shabi’un, zoroaster, hindu, budha, konghucu, dan lain-lain. Selain itu kalau ulama lain hanya membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita non muslim maka beliau membolehkan keduanya, baik laki-laki muslim mengawini wanita non muslim maupun wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim.
Dalam kitab-kitab tafsir lainpun banyak yang menyinggung tentang perkawinan beda agama, seperti Ibnu Jarir at-Tobari dalam tafsirnya Al-Qur'an al-Adhim yang terkenal dengan tafsir at-Tobari juga menyinggung masalah tersebut. Kemudian al-Alusi dalam tafsirnya Rauhul Ma’ani juga menyinggungnya. Ali As-Shobuni dalam tafsirnya Rowai’ul Bayan juga menyinggung masalah tersebut dengan mengemukakan pendapat para mufassir lain tentang hal tersebut.
Selain kitab-kitab tafsir ada juga buku-buku yang secara parsial menguraikan tentang perkawinan beda agama seperti buku Islamologi yang judul aslinya Dinul Islam karya Maulana Muhammad Ali yang diterjemahkan bahasa Indonesia oleh R. Kaelan dan HM. Bahrun, disini diterangkan tentang kebolehan menikahi wanita ahlul kitab yang bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja tapi juga Hindu, Budha, dan lain-lain.
Ada juga buku karya Muhammad Gholib yang berjudul Ahl al-Kitab makna dan cakupannya yang merupakan hasil disertasinya yang kemudian dibukukan. Dalam buku ini M. Gholib mengupas secara panjang lebar tentang Ahlul Kitab yang beliau sandarkan pada informasi yang terdapat dalam Al-Qur'an. Mulai dari siapa ahlul kitab, bagaimana tingkah laku ahlul kitab dan bagaimana harusnya kitab berperilaku atau berhubungan dengan ahlul kitab. Kemudian ada juga buku dari paramadina karya dari Nur Cholis Majid dan kawan-kawan yang sempat menuai kritik tajam dari Majelis Mujahidin Indonesia ( MMI ) lantaran dianggap sangat sekuler dan menyesatkan yaitu buku yang berlabel fiqih lintas agama yang didalamnya terkandung bahasa tentang pluralisme agama, yang mana sumber dari agama sebenarnya adalah satu yaitu dari Tuhan, namun diturunkan pada masa dan tempat yang berbeda, dan didalamnya juga terkandung bagaimana kita berinteraksi dengan agama lain.




E.     Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua pendekatan. Yang pertama yaitu dengan model penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan melakukan pengumpulan data dan informasi dengan cara melakukan pembacaan, pemahaman, dan penganalisaan terhadap material kepustakaan seperti : buku, catatan, dokumen, dan lain-lain.[8]
Karena penelitian ini secara khusus akan membahas pemikiran Muhammad Abduh tentang perkawinan beda agama maka penulis menggunakan kitab tafsir Al-Qur'an al-Hakim ( al-Manar ) sebagai sumber utama. Selain itu penulis juga akan menggunakan tafsir lain seperti Rowai’ul Bayan karya M. Ali As-Shobuni, al-Jami’ al-Ahkam Al-Qur'an karya Al-Qurtubi dan lain-lain. Selain itu penulis juga menggunakan buku-buku yang ada pembahasan perkawinan beda agama seperti Islamologi ( Dinul Islam ) karya Maulana M. Ali, Ahl al-Kitab karya M. Gholib, Fiqih Lintas Agama karya Nur Clolis Majid dan kawan-kawan, dan buku-buku lainnya sebagai sumber sekunder.
Kedua penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis yaitu dengan melakukan pengamatan dan penganalisaan terhadap realitas-realitas yang ada dalam masyarakat untuk kemudian berusaha menemukan solusi atas realitas yang ada.[9] Dalam pendekatan yang kedua disamping melakukan pengamatan terhadap realitas sosial penulis juga melakukan pembacaan terhadap buku-buku yang memuat pembacaan pembahasan sosial seperti Sosiologi Hukum karya Alvin Johnson, Kajian Sosiologi Agama karya Betty R. Schap, Sistem Sosial Indonesia karya Nasikun, dan lain-lain.





F.     Kesimpulan Sementara
Pemikiran Muhammad Abduh tentang perkawinan beda agama merupakan pemikiran yang sangat revolusioner, beliau berani memperluas pengertian Ahlul Kitab kepada agama selain Yahudi dan Nasrani yaitu Shabiun, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lain, yang mana hal ini didasarkan pada adanya penyebutan agama lain dalam Qur’an selain Yahudi Nasrani yaitu Majusi dan Shobi’un. Selain itu ada ayat yang menyatakan bahwa bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk ( 7 : 13 ).
Menurut Abduh perkawinan beda agama itu hukumnya boleh tidak hanya bagi laki-laki muslim terhadap wanita non muslim tetapi juga bagi wanita muslim dengan laki-laki non muslim. Pemikiran Abduh tersebut bisa diaplikasikan di Indonesia mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang plural terdiri dari berbagai suku bangsa, adat-istiadat dan menyakini eksistensi berbagai agama. Jadi seharusnya ada hukum tentang perkawinan yang dapat digunakan oleh semua masyarakat dari berbagai golongan yang berbeda untuk itu mestinya perkawinan beda agama haruslah dibuatkan hukum yang bisa melegalkannya.














DAFTAR  PUSTAKA


1.      UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1
2.      Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
3.      Muhammad Ali As-Shobuni, Rowai’ul Bayan, Darul Kutub, Kairo Mesir,
Jilid I.
4.      Dr. Muhammad Ehalib M., Ahl-Al-Kitab Makna dan Cakupannya, Paramadina, Jakarta, 1998.
5.      Maulana Muhammad Ali, Islamologi ( Dinul Islam ), Diterjemahkan oleh
R. Kaelan dan HM. Bahrun, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta.
6.      Muhammad Abduh, Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim ( Al-Manar ), Ditulis Muhammad Rosyid Ridlo, Darul Fikr Kairo Mesir, Jilid 2.
7.      Dr. Nasikhin, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
8.      Dra. Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.




[1] UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1
[2] Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
[3] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowai’ul Bayan, Darul Kutub, Kairo Mesir, Jilid I, hlm. 224-227.
[4] Dr. Muhammad Ehalib M., Ahl-Al-Kitab Makna dan Cakupannya, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm. 165.
[5] Maulana Muhammad Ali, Islamologi ( Dinul Islam ), Diterjemahkan oleh R. Kaelan dan HM. Bahrun, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, hlm. 412.
[6] Muhammad Abduh, Tafsir Al-Qur'an Al-Hakim ( Al-Manar ), Ditulis Muhammad Rosyid Ridlo, Darul Fikr Kairo Mesir, Jilid 2, hlm. 186.
[7] Dr. Nasikhin, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 28.
[8] Dra. Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hlm. 28.
[9] Ibid, hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text