Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

biografi al-hallaj


SEKELUMIT RIWAYAT AL-HALLAJ

A.    ASAL-USUL Al-HALLAJ
Secara etimologi kata Al-Hallaj berasal dari kata                               yang berarti membersihkan kapas dari bijinya atau memintal kapas menjadi benang. Maka Al-Hallaj (                ) berarti orang yang pekerjaannya memintal.
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abul Mughits Al-Husain Ibnu Manshur Ibnu Muhammad Al-Baidlowi. Ia dilahirkan pada tahun 244 H / 858 M di kota Al-Baidho’ Persia. Menurut satu riwayat ia bekerja sebagai pemintal wol, maka ia diberi gelar Al-Hallaj artinya pemintal.1)
Dalam riwayat lain kata Al-Hallaj berasal dari kata                 yang artinya berpindah, bergerak, bergeser. Hal ini sesuai dengan perilaku kehidupannya yang suka berpindah-pindah. Ia hidup berpindah-pindah menjelajahi India, Khurasan, Transhoksiania dan Turkistan.
Ia pergi ke India untuk mempelajari ilmu sihir dengan tali, yakni seutas tali dilemparkan ke udara dan si penyihir menaiki tali itu lalu menghilang. Oleh sebab itu para ulama menganggapnya sebagai tukang sulap, ahli sihir, penipu dan megalomaniak.

B.     LANGKAH SPIRITUAL Al-HALLAJ
Al-Hallaj tumbuh dewasa di Iraq, ia pernah berguru pada banyak tokoh tasawuf pada masanya. Semula dia adalah murid Sahl bin Abdillah yang ia tinggalkan tanpa pamit dengan maksud menggabungkan diri dengan Amr bin Utsman Al-Makhi. Kemudian ia tinggalkan lagi tanpa pamit dan bergabung dengan Al-Junaid. Kemudian ia membelot dari ajaran-ajaran mereka dan menyebarluaskan ajarannya sendiri ke berbagai kawasan Islam seperti Khurasan, Al-Ahwaz, dan Turkistan.2)


Semasa usai berguru kepada Al-Junaid, ia pergi ke Makkah dan tinggal di pelataran Masjidil Haram selama satu tahun. Disana ia berkhalwat mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Al-Hallaj bahwa ia pernah berkholwat di dalam masjidil haram dalam keadaan duduk tidak bergerak-gerak kecuali untuk keperluan bersuci dan thawaf, ia tidak peduli terik sinar matahari di siang hari, dinginnya malam hari, bahkan ia tetap duduk berkhalwat walau hujan turun lebat. Selama berkhalwat ia hanya makan tiga potong roti kering dan minum dua teguk air dingin, seteguk sebelum makan dan seteguk setelahnya. Suatu ketika Ibrahim bin Syaiban dan abu Abdillah Al-Maghribi mencari Al-Hallaj di Mekkah. Mereka mendapatkan Al-Hallaj sedang duduk bertapa di atas batu di bawah terik matahari dengan keringat bercucuran di atas Jabal Qubais. Ketika mereka hendak mendekati ia memberi isyarat dengan tangan agar mereka meninggalkannya dan kembali pulang.3)

C.    PEMIKIRAN Al-HALLAJ
Diantara pemikiran Al-Hallaj yang terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdad Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham Wahdat Al-Wujud ( kesatuan wujud ), yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi.4) Secara etimologi kata hulul berarti menempati suatu tempat seperti persatuan antara ruh dan jasad. Sedangkan menurut istilah tasawuf, hulul berarti faham yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh dilenyapkan.5)
Menurut Al-Hallaj persatuan antara manusia dan Tuhan itu bisa terjadi, hal ini disebabkan Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu ketuhanan atau lahut dan kemanusiaan atau nasut. Persatuan tersebut menurut Al-Hallaj tidaklah menghilangkan dirinya. Hal ini terlihat dalam syair Al-Hallaj :





“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, dia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku”.
Dan dalam syair yang lain :
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami”.6)
Syair-syairnya merupakan ungkapan yang sangat halus tentang kerinduan dan kecintaan spiritual. Ia adalah seorang sufi yang mabuk cinta ilahi, yang kemudian sampai sekarang ini oleh para sufi Al-Hallaj dijadikan sebagai lambang dari orang-orang yang mabuk cinta suci ilahi.7)
Ibnu Al-Nadim dalam karyanya Al-Fihrist meriwayatkan bahwa Al-Hallaj mempunyai beberapa karya yang terkenal ialah Al-Tawasin ( dikenal dengan judul ini karena setiap pasalnya didahului dua huruf  “Tho” dan “Sin” ).8) Sekitar 46 buah buku dan risalah telah ditulis oleh Al-Hallaj menurut penulis Al-Fihrist tersebut.

D.    PANDANGAN PARA SUFI TERHADAP Al-HALLAJ
Syaikh-syaikh sufi berbeda pandangan mengenai Al-Hallaj. Sebagian menolak dan sebagian menerimanya. Diantara para ulama yang menerimanya adalah : Amr bin Utsman Al-Makhi, Abu Ya’kub Nahrajuri, Abu Ya’kub Aqtha, Ali bin Shal Ishfahani, Ibnu Atha’ Muhammad bin Khafif, Abu Qosim Nashrabadi dan segenap sufi terkemudian.
Yang lainnya menangguhkan keputusan mereka mengenai dia, misalnya : Junaid, Syibli, Jurayri dan Hushri. Sebagian menuduhnya sebagai tukang sihir dan hal-hal yang berkenaan dengan hal itu.
Para ahli fiqih menyatakan dia sebagai murtad, sedangkan kaum Urafa’ sendiri menuduh dia telah mengungkapkan rahasia spiritual. Hafiz berpuisi tentang Al-Hallaj : “Dia berkata sahabat yang ada di tiang salib yang tinggi kejahatannya hanya dia sering membuka rahasia”.

E.     AKHIR AYAT Al-HALLAJ
Ketekunan Al-Hallaj dalam beribadah mendapat perhatian masyarakat sehingga banyak yang menjadi muridnya. Pengaruhnya yang besar dikalangan murid-muridnya menyebabkan rezim Abbasiyah menuduh Al-Hallaj mempunyai hubungan dengan kelompok Qaranithah yang merongrong dan mengganggu kekuasaan pemerintah. Ia dituduh menyebarkan keyakinan bahwa ibadah haji tidak wajib.8)
Diantara tuduhan-tuduhan terhadap dirinya, ungkapan syathahatnya merupakan puncak reaksi terutama kalangan ulama syariah dan rezim penguasa. Pada tahun 287 H / 909 M Dawud Zahiri mengeluarkan fatwa bahwa Al-Hallaj telah sesat. Atas tuduhan ini ditangkap dan dipenjarakan. Namun ia sempat melarikan diri. Pada tahun 301 H ia ditangkap kembali berdasarkan keputusan hakim madzhab Maliki, Abu Amr, Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. keputusan ini tidak disetujui khalifah Al-Mutadir Billah, kecuali jika Al-Junaid ikut menandatanganinya.
Enam kali persoalan putusan tersebut disampaikan kepada Al-Junaid, namun ia tidak mau menandatanganinya. Untuk yang ketujuh kalinya khalifah meminta ketegasan jawaban ya atau tidak. Lalu Al-Junaid mengemukakan jawaban bahwa secara syariat Al-Hallaj dapat dihukum mati, tetapi menurut ajaran rahasia kebenaran Tuhan Allahlah Yang Maha Tahu.9)
Sebelum eksekusi dilaksanakan Al-Hallaj ditahan selama satu tahun. Selama itu pula ia masih mengucapkan syathahat “Ana Al-Haq”. Akhirnya pada tanggal 24 Dzulhijjah 309 H / 24 Maret 922 M. Eksekusi hukuman mati dilaksanakan. Ia dibunuh dengan cara disalib, kedua tangan dan kakinya dipotong, juga kepalanya, lalu mayatnya dibakar dan dibuang ke Sungai Tigris.8)
Ketika disalib Al-Hallaj berseru :
“Mereka semua adalah hamba-Mu, maka ampunilah mereka. Andai kau singkapkan kepada mereka apa yang kau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang mereka perbuat ini”.
Al-Hallaj tidak merasa dendam pada orang-orang yang menghukumnya, malah dia memaafkan mereka.9) Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang, terbukti setelah satu abad dari kematiannya di Iraq ada 4.000 orang yang menamakan diri Al-Hallajah. Disisi lain pengaruhnya sangat besar terhadap pengikutnya, dia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan qaramitah.

F.     PENUTUP
Mencermati pemikiran Al-Hallaj mengenai hulul, persatuan antara Tuhan dan manusia, dimana dalam persatuan tersebut terjadi peleburan yang tidak menghilangkan jati diri Al-Hallaj, adalah sangat mirip dengan cerita Yesus yang dianggap Tuhan dalam injil versi Kristen. Demikian pula halnya dengan perkataan Al-Hallaj saat disalib mirip dengan perkataan Yesus dalam penyaliban.

Wallahu ‘alam


1) Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf¸ Pekalongan, STAIN, 2004, hal. 60.
2) Amat Zuhri, Ibid, hal. 60.
3) Amat Zuhri, Ibid, hal. 60 – 61.
4) Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2000, hal. 127.
5) Amat Zuhri, Ibid, hal. 63 – 64.
6) Amat Zuhri, Ibid, hal. 66.
7) Syaikh Fathullah Hairi, Belajar Mudah Tasawuf, Lentera Basritama, Jakarta, 1994, hal. 128.
8) Abu Al-Wafa’, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1990, hal. 7997.
8) Amat Zuhri, Ibid, hal. 62.
9) Amat Zuhri, Ibid, hal. 62.
8) Amat Zuhri, Ibid, hal. 62.
9) Amat Zuhri, Ibid, hal. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text