SEKELUMIT RIWAYAT AL-HALLAJ
A.
ASAL-USUL
Al-HALLAJ
Secara etimologi kata Al-Hallaj
berasal dari kata
yang berarti membersihkan kapas dari bijinya atau memintal kapas menjadi
benang. Maka Al-Hallaj ( )
berarti orang yang pekerjaannya memintal.
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abul
Mughits Al-Husain Ibnu Manshur Ibnu Muhammad Al-Baidlowi. Ia dilahirkan pada
tahun 244 H / 858 M di kota Al-Baidho’ Persia. Menurut satu riwayat ia bekerja
sebagai pemintal wol, maka ia diberi gelar Al-Hallaj artinya pemintal.1)
Dalam riwayat lain kata Al-Hallaj
berasal dari kata yang
artinya berpindah, bergerak, bergeser. Hal ini sesuai dengan perilaku
kehidupannya yang suka berpindah-pindah. Ia hidup berpindah-pindah menjelajahi
India, Khurasan, Transhoksiania dan Turkistan.
Ia pergi ke India untuk mempelajari
ilmu sihir dengan tali, yakni seutas tali dilemparkan ke udara dan si penyihir
menaiki tali itu lalu menghilang. Oleh sebab itu para ulama menganggapnya
sebagai tukang sulap, ahli sihir, penipu dan megalomaniak.
B.
LANGKAH
SPIRITUAL Al-HALLAJ
Al-Hallaj tumbuh dewasa di Iraq, ia
pernah berguru pada banyak tokoh tasawuf pada masanya. Semula dia adalah murid
Sahl bin Abdillah yang ia tinggalkan tanpa pamit dengan maksud menggabungkan
diri dengan Amr bin Utsman Al-Makhi. Kemudian ia tinggalkan lagi tanpa pamit
dan bergabung dengan Al-Junaid. Kemudian ia membelot dari ajaran-ajaran mereka
dan menyebarluaskan ajarannya sendiri ke berbagai kawasan Islam seperti
Khurasan, Al-Ahwaz, dan Turkistan.2)
Semasa usai berguru kepada Al-Junaid,
ia pergi ke Makkah dan tinggal di pelataran Masjidil Haram selama satu tahun.
Disana ia berkhalwat mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah.
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Al-Hallaj bahwa ia pernah berkholwat di
dalam masjidil haram dalam keadaan duduk tidak bergerak-gerak kecuali untuk
keperluan bersuci dan thawaf, ia tidak peduli terik sinar matahari di siang
hari, dinginnya malam hari, bahkan ia tetap duduk berkhalwat walau hujan turun
lebat. Selama berkhalwat ia hanya makan tiga potong roti kering dan minum dua
teguk air dingin, seteguk sebelum makan dan seteguk setelahnya. Suatu ketika
Ibrahim bin Syaiban dan abu Abdillah Al-Maghribi mencari Al-Hallaj di Mekkah.
Mereka mendapatkan Al-Hallaj sedang duduk bertapa di atas batu di bawah terik
matahari dengan keringat bercucuran di atas Jabal Qubais. Ketika mereka hendak
mendekati ia memberi isyarat dengan tangan agar mereka meninggalkannya dan
kembali pulang.3)
C.
PEMIKIRAN
Al-HALLAJ
Diantara pemikiran Al-Hallaj yang
terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdad Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham
Wahdat Al-Wujud ( kesatuan wujud ), yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi.4) Secara etimologi kata hulul berarti
menempati suatu tempat seperti persatuan antara ruh dan jasad. Sedangkan
menurut istilah tasawuf, hulul berarti faham yang menyatakan bahwa Tuhan
memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh dilenyapkan.5)
Menurut Al-Hallaj persatuan antara
manusia dan Tuhan itu bisa terjadi, hal ini disebabkan Allah mempunyai dua
sifat dasar yaitu ketuhanan atau lahut dan kemanusiaan atau nasut. Persatuan
tersebut menurut Al-Hallaj tidaklah menghilangkan dirinya. Hal ini terlihat
dalam syair Al-Hallaj :
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang
menyentuh Engkau, dia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal engkau
adalah aku”.
Dan dalam syair yang lain :
“Aku adalah Dia yang kucintai dan
Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu
tubuh. Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau
lihat kami”.6)
Syair-syairnya
merupakan ungkapan yang sangat halus tentang kerinduan dan kecintaan spiritual.
Ia adalah seorang sufi yang mabuk cinta ilahi, yang kemudian sampai sekarang
ini oleh para sufi Al-Hallaj dijadikan sebagai lambang dari orang-orang yang
mabuk cinta suci ilahi.7)
Ibnu
Al-Nadim dalam karyanya Al-Fihrist meriwayatkan bahwa Al-Hallaj mempunyai
beberapa karya yang terkenal ialah Al-Tawasin ( dikenal dengan judul ini karena
setiap pasalnya didahului dua huruf
“Tho” dan “Sin” ).8) Sekitar
46 buah buku dan risalah telah ditulis oleh Al-Hallaj menurut penulis
Al-Fihrist tersebut.
D.
PANDANGAN
PARA SUFI TERHADAP Al-HALLAJ
Syaikh-syaikh sufi berbeda pandangan
mengenai Al-Hallaj. Sebagian menolak dan sebagian menerimanya. Diantara para
ulama yang menerimanya adalah : Amr bin Utsman Al-Makhi, Abu Ya’kub Nahrajuri,
Abu Ya’kub Aqtha, Ali bin Shal Ishfahani, Ibnu Atha’ Muhammad bin Khafif, Abu
Qosim Nashrabadi dan segenap sufi terkemudian.
Yang lainnya menangguhkan keputusan
mereka mengenai dia, misalnya : Junaid, Syibli, Jurayri dan Hushri. Sebagian
menuduhnya sebagai tukang sihir dan hal-hal yang berkenaan dengan hal itu.
Para ahli fiqih menyatakan dia
sebagai murtad, sedangkan kaum Urafa’ sendiri menuduh dia telah mengungkapkan
rahasia spiritual. Hafiz berpuisi tentang Al-Hallaj : “Dia berkata sahabat yang
ada di tiang salib yang tinggi kejahatannya hanya dia sering membuka rahasia”.
E.
AKHIR
AYAT Al-HALLAJ
Ketekunan Al-Hallaj dalam beribadah
mendapat perhatian masyarakat sehingga banyak yang menjadi muridnya.
Pengaruhnya yang besar dikalangan murid-muridnya menyebabkan rezim Abbasiyah
menuduh Al-Hallaj mempunyai hubungan dengan kelompok Qaranithah yang merongrong
dan mengganggu kekuasaan pemerintah. Ia dituduh menyebarkan keyakinan bahwa
ibadah haji tidak wajib.8)
Diantara tuduhan-tuduhan terhadap
dirinya, ungkapan syathahatnya merupakan puncak reaksi terutama kalangan ulama
syariah dan rezim penguasa. Pada tahun 287 H / 909 M Dawud Zahiri mengeluarkan
fatwa bahwa Al-Hallaj telah sesat. Atas tuduhan ini ditangkap dan dipenjarakan.
Namun ia sempat melarikan diri. Pada tahun 301 H ia ditangkap kembali
berdasarkan keputusan hakim madzhab Maliki, Abu Amr, Al-Hallaj dijatuhi hukuman
mati. keputusan ini tidak disetujui khalifah Al-Mutadir Billah, kecuali jika
Al-Junaid ikut menandatanganinya.
Enam kali persoalan putusan tersebut
disampaikan kepada Al-Junaid, namun ia tidak mau menandatanganinya. Untuk yang
ketujuh kalinya khalifah meminta ketegasan jawaban ya atau tidak. Lalu
Al-Junaid mengemukakan jawaban bahwa secara syariat Al-Hallaj dapat dihukum
mati, tetapi menurut ajaran rahasia kebenaran Tuhan Allahlah Yang Maha Tahu.9)
Sebelum eksekusi dilaksanakan
Al-Hallaj ditahan selama satu tahun. Selama itu pula ia masih mengucapkan
syathahat “Ana Al-Haq”. Akhirnya pada tanggal 24 Dzulhijjah 309 H / 24 Maret
922 M. Eksekusi hukuman mati dilaksanakan. Ia dibunuh dengan cara disalib,
kedua tangan dan kakinya dipotong, juga kepalanya, lalu mayatnya dibakar dan
dibuang ke Sungai Tigris.8)
Ketika disalib Al-Hallaj berseru :
“Mereka semua adalah hamba-Mu,
maka ampunilah mereka. Andai kau singkapkan kepada mereka apa yang kau
singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang mereka
perbuat ini”.
Al-Hallaj tidak merasa dendam pada
orang-orang yang menghukumnya, malah dia memaafkan mereka.9) Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak
seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap
berkembang, terbukti setelah satu abad dari kematiannya di Iraq ada 4.000 orang
yang menamakan diri Al-Hallajah. Disisi lain pengaruhnya sangat besar terhadap
pengikutnya, dia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan qaramitah.
F.
PENUTUP
Mencermati pemikiran Al-Hallaj
mengenai hulul, persatuan antara Tuhan dan manusia, dimana dalam persatuan
tersebut terjadi peleburan yang tidak menghilangkan jati diri Al-Hallaj, adalah
sangat mirip dengan cerita Yesus yang dianggap Tuhan dalam injil versi Kristen.
Demikian pula halnya dengan perkataan Al-Hallaj saat disalib mirip dengan
perkataan Yesus dalam penyaliban.
Wallahu ‘alam
1) Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf¸
Pekalongan, STAIN, 2004, hal. 60.
2) Amat Zuhri, Ibid, hal.
60.
3) Amat Zuhri, Ibid, hal.
60 – 61.
4) Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf,
Bandung, Pustaka Setia, 2000, hal. 127.
5) Amat Zuhri, Ibid, hal.
63 – 64.
6) Amat Zuhri, Ibid, hal. 66.
7) Syaikh Fathullah Hairi, Belajar
Mudah Tasawuf, Lentera Basritama, Jakarta, 1994, hal. 128.
8) Abu Al-Wafa’, Sufi Dari
Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1990, hal. 7997.
8) Amat Zuhri, Ibid, hal.
62.
9) Amat Zuhri, Ibid, hal. 62.
8) Amat Zuhri, Ibid, hal. 62.
9) Amat Zuhri, Ibid, hal. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar