Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

MENIKAHI WANITA HAMIL


MENIKAHI WANITA HAMIL

I.       PENDAHULUAN
Cinta kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Hasrat untuk hubungan seks dengan lawan jenis juga fitrah manusia. Namun, agama Islam mengharamkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan kecuali kalau mereka sudah menikah.
Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa menikah disebut zina, dan zina haram hukumnya didalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat :



Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu               perbuatan yang keji dan suatu  jalan yang buruk”. [1]
Tetapi pada kenyataannya ada disekitar kita yang melakukan zina / hubungan seks di luar nikah sehingga sampai terjadi hamil di luar nikah, yang akhirnya ada 2 solusi yang dilakukan yaitu pria yang menghamilinya dituntut untuk bertanggung  jawab menikahi wanita tersebut. Atau adanya pria lain yang dicarikan untuk menikahi wanita tersebut guna menutupi aib si wanita / keluarga si wanita. Hal ini, menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum dari fenomena-fenomena tersebut. [2]
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan ikhtilaful ulama dalam menentukan hukum berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut.




II.    PENGERTIAN
Nikah adalah sesuatu akad yang menyebabkan kehalalan bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual. Pernyataan di atas adalah definisi nikah secara umum, sedangkan yang akan dibahas adalah fenomena khusus yaitu menikahi wanita hamil. Ada 2 kemungkinan yang akan terjadi   yaitu :
1.      Pria yang menikahi wanita wanita hamil adalah yang menghamilinya.
Hal ini sering terjadi di lingkungan kita, karena si pria dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang wanita sebelum terjadi akad nikah menurut ajaran Islam.
2.      Pria yang menikahi wanita hamil bukan yang menghamilinya.
Hal ini biasanya terjadi, karena untuk menutupi malu keluarga si wanita, misalnya seorang wanita berhubugnan seks dengan seorang pria dan kemudian pria tersebut tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya itu, lalu dicarikan pria lain untuk menikahi wanita tersebut.[3]

III.    DALIL AL-QUR'AN
QS. An-Nur ayat 3 :





Artinya :
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. ( An-Nur : 3 ) [4]
Maksud ayat tersebut ialah tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya wanita yang beriman, tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.[5]
Mengenai sebab turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Mujahid, ‘Ata dan Ibn Abi Raba serta Qatadah menyebutkan bahwa “orang-orang muhajirin tiba di Madinah, diantara mereka ada orang-orang fakir, tidak memiliki harta dan mata pencaharian, dan di Madinah terdapat wanita-wanita tuna susila ( pelacur ) yang menyewakan diri mereka, mereka pada saat itu termasuk usia subur warga Madinah. Pada tiap-tiap orang dari mereka terdapat tanda dipintunya seperti papan nama dokter hewan ( Al-Baitar ), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia adalah pezina. Tidak ada seorang pun yang masuk kecuali laki-laki pezina dan orang-orang musyrik. Orang-orang fakir Muhajirin senang terhadap pekerjaan mereka. Lalu mereka berkata : “Kita nikahi mereka hingga Allah menjadikan kita kaya dari mereka”. Mereka kemudian memohon izin kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat 3 Surat Al-Nur di atas.[6]
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa :
1.      Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, ditidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[7]

IV.    HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DALAM ISLAM
1.      Jika pria yang menikahi wanita hamil adalah yang menghamilinya
a.        Ulama madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali ) berpendapat  bahwa perkawinan keduanya sah atau boleh bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
b.        Ibnu Hazm ( adzamiri ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur, tetapi dengan catatan jika mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera ( cambuk ) karena mereka telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan pada hukum yang pernah ditetapkan oleh sahabat Nabi antara lain :
a)       Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, maka beliau berkata : “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
b)       Seorang laki-laki tua menyatakan keberadaannya kepada Khalifah Abu Bakar, dan berkata : “Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain, untuk melakukan hukuman dera ( cambuk ) kepada keduanya, kemudian dikawinkannya.[8]
2.      Jika pria yang menikahi wanita hamil bukan yang menghamilinya.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama :
a.        Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal ( fasad ). Pendapat beliau berdasarkan pada firman Allah QS. An-Nur : 3
Ibnu Qudaimah sejalan pendapatnya dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan      2 syarat :
1)      Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil. Jadi dalam keadaan hamil tidak boleh kawin.
2)      Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera ( cambuk ), apakah dia hamil atau tidak.
b.        Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits :


Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir                     ( kandungannya ).
c.        Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa ‘iddah ). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab ( keturunannya ) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.[9]

V.       TELAAH PENULIS
Dalam persoalan mengawini wanita hamil, penulis melihat bahwa pendapat mana pun yang kita anut, status anak itu tetap berstatus anak zina ( anak diluar nikah yang sah ).
Dari segi psikologis, tetap mengganggu jiwa si anak, walaupun dalam pandangan hukum Islam, dia tidak menanggung dosa ( fitrah ) dan hanya bapak          ( yang tidak sah menurut hukum ) dan ibunya yang menanggung dosa. Apalagi dikaitkan dengan perwalian dalam perkawinan ( bila anak itu wanita ) dan warisan, mau tidak mau akan tetap terbongkar masalahnya atau aib yang pernah menimpa ibu bapaknya ( yang tidak sah ) itu.
Penulis lebih khawatir lagi, apabila pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) dalam Kompilasi Hukum Islam itu disalah gunakan oleh sebagian orang.
Umpamanya, seorang pria dan wanita yang telah sepakat berumah tangga, tetapi tidak disetujui ( direstui ) oleh orang tuanya. Kemudian dengan nekad keduanya mengadakan hubungan seks. Akhirnya, dengan terpaksa orang tuanya harus menyetujui perkawinannya. Kalau tidak, akan menanggung aib.
Hendaknya diingat, bahwa kita tidak hanya melihat dari segi legalitas hukum saja ( walaupun penetapannya dengan berbagai pertimbangan ), tetapi hendaknya direnungkan, bahwa :
1)      Perbuatan melakukan hubungan seks sebelum nikah, adalah haram hukumnya, walaupun ada niat melangsungkan perkawinan.
2)      Anak yang lahir dari hasil hubungan seks itu, adalah anak tidak sah menurut hukum ( bukan menurut pengertian lughwi / bahasa ).
3)      Orang tua kedua belah pihak lebih hati-hati dalam menolak ( tidak merestui ) keinginan anak yang telah sepakat membina rumah tangga. Antara rasa tidak senang, dan aib serta pelanggaran agama, sepantasnya orang tua mengorbankan perasaan, daripada terjadi pelanggaran agama.
Mengenai pria yang mengawini wanita hamil yang dihamili oleh pria lain, kendatipun ada ulama yang berpendapat perkawinan itu sah, tetapi tetap berdampak negatif. Sebab, pria itu adalah sebagai tumbal ( penutup aib ), apakah dia mengawini wanita itu dengan sukarela atau karena ada imbalan.

VI.    KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dari menikahi wanita hamil ada beberapa pendapat, baik yang menikahi itu yang menghamili maupun bukan yang menghamili. Dengan demikian kita diberi kebebasan untuk memilih pendapat mana yang paling kita yakini.
Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, semoga bermanfaat bagi para pembaca, kritik dan saran selalu penulis harapkan.








DAFTAR  PUSTAKA


Ø  Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akaedemia Pressindo, 1992.
Ø  Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Ø  Al  Nawawi, Al-Tafsir Al-Munir, Juz I, Semarang, CV. Usaha Keluarga, tt.
Ø  Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2000.
Ø  Dr. Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ø  Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta, Kalam Mulia, 1992.



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, ( Bandung : CV. Diponegoro, 2000 ).
[2] Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 ), hlm. 165.
[3] Dr. Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997 ), hlm. 85.
[4] Departemen Agama RI, Op.Cit.
[5] M. Ali Hasan, Ibid, hlam. 87.
[6] Al  Nawawi, Al-Tafsir Al-Munir, Juz I, ( Semarang : CV. Usaha Keluarga, tt ), hlm. 74.
[7] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akaedemia Pressindo, 1992 ).
[8] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, ( Jakarta : Kalam Mulia, 1992 ), hlm. 86.
[9] Mahfuddin, Ibid, hlm. 88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text