MENIKAHI WANITA HAMIL
I.
PENDAHULUAN
Cinta kepada lawan jenis adalah
fitrah manusia. Hasrat untuk hubungan seks dengan lawan jenis juga fitrah
manusia. Namun, agama Islam mengharamkan hubungan seks antara laki-laki dan
perempuan kecuali kalau mereka sudah menikah.
Hubungan
seks antara laki-laki dan perempuan tanpa menikah disebut zina, dan zina haram
hukumnya didalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat :
Artinya :
“Dan janganlah kamu
mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. [1]
Tetapi pada kenyataannya ada
disekitar kita yang melakukan zina / hubungan seks di luar nikah sehingga
sampai terjadi hamil di luar nikah, yang akhirnya ada 2 solusi yang dilakukan
yaitu pria yang menghamilinya dituntut untuk bertanggung jawab menikahi wanita tersebut. Atau adanya
pria lain yang dicarikan untuk menikahi wanita tersebut guna menutupi aib si
wanita / keluarga si wanita. Hal ini, menyebabkan para ulama berbeda pendapat
dalam menentukan hukum dari fenomena-fenomena tersebut. [2]
Dalam
makalah ini penulis akan menjelaskan ikhtilaful ulama dalam menentukan hukum
berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut.
II.
PENGERTIAN
Nikah
adalah sesuatu akad yang menyebabkan kehalalan bagi laki-laki dan perempuan
untuk melakukan hubungan seksual. Pernyataan di atas adalah definisi nikah
secara umum, sedangkan yang akan dibahas adalah fenomena khusus yaitu menikahi
wanita hamil. Ada 2 kemungkinan yang akan terjadi yaitu :
1.
Pria yang
menikahi wanita wanita hamil adalah yang menghamilinya.
Hal ini sering terjadi di
lingkungan kita, karena si pria dituntut untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang wanita sebelum terjadi akad
nikah menurut ajaran Islam.
2.
Pria yang
menikahi wanita hamil bukan yang menghamilinya.
Hal ini biasanya terjadi, karena
untuk menutupi malu keluarga si wanita, misalnya seorang wanita berhubugnan
seks dengan seorang pria dan kemudian pria tersebut tidak mau bertanggung jawab
atas perbuatannya itu, lalu dicarikan pria lain untuk menikahi wanita tersebut.[3]
III.
DALIL
AL-QUR'AN
QS. An-Nur ayat 3 :
Artinya :
“Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin”. ( An-Nur : 3 ) [4]
Maksud
ayat tersebut ialah tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang
wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya wanita yang beriman, tidak pantas
kawin dengan pria yang berzina.[5]
Mengenai
sebab turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Mujahid, ‘Ata dan Ibn Abi Raba
serta Qatadah menyebutkan bahwa “orang-orang muhajirin tiba di Madinah,
diantara mereka ada orang-orang fakir, tidak memiliki harta dan mata
pencaharian, dan di Madinah terdapat wanita-wanita tuna susila ( pelacur ) yang
menyewakan diri mereka, mereka pada saat itu termasuk usia subur warga Madinah.
Pada tiap-tiap orang dari mereka terdapat tanda dipintunya seperti papan nama
dokter hewan ( Al-Baitar ), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia adalah
pezina. Tidak ada seorang pun yang masuk kecuali laki-laki pezina dan
orang-orang musyrik. Orang-orang fakir Muhajirin senang terhadap pekerjaan
mereka. Lalu mereka berkata : “Kita nikahi mereka hingga Allah menjadikan kita
kaya dari mereka”. Mereka kemudian memohon izin kepada Rasulullah SAW, maka
turunlah ayat 3 Surat Al-Nur di atas.[6]
Dalam
Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan
bahwa :
1.
Seorang
wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, ditidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[7]
IV.
HUKUM
MENIKAHI WANITA HAMIL DALAM ISLAM
1.
Jika pria
yang menikahi wanita hamil adalah yang menghamilinya
a.
Ulama
madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah atau boleh
bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan bila si pria itu yang
menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
b.
Ibnu Hazm
( adzamiri ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur,
tetapi dengan catatan jika mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (
cambuk ) karena mereka telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan pada
hukum yang pernah ditetapkan oleh sahabat Nabi antara lain :
a)
Ketika
Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah
berzina, maka beliau berkata : “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah
bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
b)
Seorang
laki-laki tua menyatakan keberadaannya kepada Khalifah Abu Bakar, dan berkata :
“Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar
keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain,
untuk melakukan hukuman dera ( cambuk ) kepada keduanya, kemudian
dikawinkannya.[8]
2.
Jika pria
yang menikahi wanita hamil bukan yang menghamilinya.
Dalam hal ini ada
beberapa pendapat dari para ulama :
a.
Imam Abu
Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan
perkawinannya itu batal ( fasad ). Pendapat beliau berdasarkan pada firman
Allah QS. An-Nur : 3
Ibnu Qudaimah sejalan pendapatnya
dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh
mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain,
kecuali dengan 2 syarat :
1)
Wanita
tersebut telah melahirkan, bila dia hamil. Jadi dalam keadaan hamil tidak boleh
kawin.
2)
Wanita
tersebut telah menjalani hukuman dera ( cambuk ), apakah dia hamil atau tidak.
b.
Imam
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, bahwa perkawinannya itu sah,
tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits :
Janganlah engkau
campuri wanita yang hamil, sehingga lahir ( kandungannya ).
c.
Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah,
karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa ‘iddah ).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab ( keturunannya )
bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.[9]
V.
TELAAH
PENULIS
Dalam persoalan mengawini wanita
hamil, penulis melihat bahwa pendapat mana pun yang kita anut, status anak itu
tetap berstatus anak zina ( anak diluar nikah yang sah ).
Dari
segi psikologis, tetap mengganggu jiwa si anak, walaupun dalam pandangan hukum
Islam, dia tidak menanggung dosa ( fitrah ) dan hanya bapak ( yang tidak sah menurut hukum ) dan
ibunya yang menanggung dosa. Apalagi dikaitkan dengan perwalian dalam
perkawinan ( bila anak itu wanita ) dan warisan, mau tidak mau akan tetap
terbongkar masalahnya atau aib yang pernah menimpa ibu bapaknya ( yang tidak
sah ) itu.
Penulis
lebih khawatir lagi, apabila pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) dalam Kompilasi
Hukum Islam itu disalah gunakan oleh sebagian orang.
Umpamanya,
seorang pria dan wanita yang telah sepakat berumah tangga, tetapi tidak
disetujui ( direstui ) oleh orang tuanya. Kemudian dengan nekad keduanya
mengadakan hubungan seks. Akhirnya, dengan terpaksa orang tuanya harus
menyetujui perkawinannya. Kalau tidak, akan menanggung aib.
Hendaknya
diingat, bahwa kita tidak hanya melihat dari segi legalitas hukum saja (
walaupun penetapannya dengan berbagai pertimbangan ), tetapi hendaknya
direnungkan, bahwa :
1)
Perbuatan
melakukan hubungan seks sebelum nikah, adalah haram hukumnya, walaupun ada niat
melangsungkan perkawinan.
2)
Anak yang
lahir dari hasil hubungan seks itu, adalah anak tidak sah menurut hukum ( bukan
menurut pengertian lughwi / bahasa ).
3)
Orang tua
kedua belah pihak lebih hati-hati dalam menolak ( tidak merestui ) keinginan
anak yang telah sepakat membina rumah tangga. Antara rasa tidak senang, dan aib
serta pelanggaran agama, sepantasnya orang tua mengorbankan perasaan, daripada
terjadi pelanggaran agama.
Mengenai
pria yang mengawini wanita hamil yang dihamili oleh pria lain, kendatipun ada
ulama yang berpendapat perkawinan itu sah, tetapi tetap berdampak negatif.
Sebab, pria itu adalah sebagai tumbal ( penutup aib ), apakah dia mengawini
wanita itu dengan sukarela atau karena ada imbalan.
VI.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dari menikahi wanita hamil
ada beberapa pendapat, baik yang menikahi itu yang menghamili maupun bukan yang
menghamili. Dengan demikian kita diberi kebebasan untuk memilih pendapat mana
yang paling kita yakini.
Demikian
uraian makalah yang dapat penulis sajikan, semoga bermanfaat bagi para pembaca,
kritik dan saran selalu penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
Jakarta, Akaedemia Pressindo, 1992.
Ø Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Ø Al Nawawi, Al-Tafsir
Al-Munir, Juz I, Semarang, CV. Usaha Keluarga, tt.
Ø Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya,
Bandung, CV. Diponegoro, 2000.
Ø Dr. Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah,
Cet. II, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Ø Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta, Kalam
Mulia, 1992.
[3] Dr. Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, (
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997 ), hlm. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar