Social Icons

Pages

Sabtu, 11 Februari 2012

mahar


MAHAR

 

PENDAHULUAN

Dalam sebuah ikatan perkawinan, khususnya dalam agama Islam, dibutuhkan adanya mahar atau maskawin. Mahar atau maskawin tersebut, bertujuan demi melanggengkan hubungan perkawinan dan sebagai penghormatan kepada wanita yang akan dinikahi.
Tentang apa itu mahar, berapa ukurannya, bagaimana hukum memberikan mahar ?. Akan kita bahas pada pembahasan.
Mahar yang paling sederhana dapat berupa jasa yaitu membaca Al-Qur'an atau mengajarkan Al-Qur'an. Mahar yang jumlah dan bentuknya sederhana, tidak memberatkan adalah agar memfaedahkan suatu pernikahan yang berkah.
Mempelai pria wajib membayar mahar kepada mempelai wanita. Apabila tidak dapat membayar pada waktu akad nikah, dapat dibayar lain waktu setelah akad nikah yang dinamakan mahar misil.

PEMBAHASAN

Mahar atau maskawin merupakan hak yang ditentukan oleh syari’ah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesuciannya. Maka, mahar merupakan keharusan tanpa boleh ditawar oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.[1]
Dalam Islam, mahar adalah simbol penghormatan dan bukti cinta kepada wanita. Allah mewajibkan pria yang ingin memperistri seorang wanita untuk menyerahkan mahar sebagai suatu hadiah yang bersifat sukarela.
Dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ ayat 4 :



Artinya :
Hendaklah kalian memberikan mahar kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai suatu pemberian yang bersifat sukarela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian dari maharnya kepadamu, maka kalian boleh mengambilnya, tanpa kalian menanggung dosa karenanya.
Menurut ulama mazhab Maliki harus ada mahar meskipun tidak diungkapkan dalam akad nikah dan tidak terjadi kesepakatan antara orang yang menikah dan saksi untuk tidak mengumumkan perkawinan itu. Menurut mereka apabila mahar itu tidak diungkapkan dalam akad nikah, maka nikah itu sah dan disebut dengan nikah At-Tafwid.
Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa mahar itu termasuk dalam rukun dan atau syarat nikah. Oleh karena itu apabila seseorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa mahar atau keduanya sepakat menyatakan tidak perlu Mahar, maka nikahnya tetap sah dan menurut mereka nikah At-Tafwid hukumnya tetap sah.
Jadi, mahar harus ada dalam suatu pernikahan. Tujuan pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan memperkuat ikatan tali cinta kasih pasangan suami istri, serta membantu meringankan biaya penyelenggaraan pernikahan.[2]

Hadits Tentang Mahar :























Artinya :
“Sahal bin Sa’ad Assa’id r.a berkata : Seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata : aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu. Maka Nabi SAW melihat wanita itu sepuasnya kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu merasa bahwa Nabi SAW tidak berhajat kepadanya, maka ia duduk, kemudian seorang sahabat berdiri dan berkata : Ya Rasulullah, jika engkau tidak berhajat padanya maka kawinkanlah padaku. Nabi SAW tanya kepadanya : Apakah anda mempunyai apa-apa ?. Jawabnya : Tidak, demi Allah dan Rasulullah. Nabi SAW bersabda kepadanya : Pulanglah kerumahmu cari apa-apa ( yakni untuk mahar ), maka ia kembali dari rumah dan berkata : Demi Allah tidak ada apa-apa ya Rasulullah. Nabi SAW bersabda : carilah meskipun cincin besi. Maka pulanglah ia dan kembali berkata : Demi Allah tidak ada apa-apa ya Rasulullah meskipun cicin besi, tetapi saya mempunyai ini sarung separuh untuknya. Nabi SAW bertanya : apakah yang akan anda lakukan terhadap kain itu, jika anda pakai dia tidak dapat memakai, dan jika ia yang memakai andapun tidak memakai apa-apa. Maka lama juga orang itu duduk, dan kemudian bangun dan ketika dilihat oleh Nabi SAW, dia akan pergi dipanggil kembali dan ditanya : apa yang anda hafal dari Al-Qur'an ?. Jawabnya : aku hafal surat ini dan itu beberapa surat yang disebutnya. Ditanya oleh Nabi SAW : Apakah benar-benar anda hafal ?. Jawabnya : Ya, Nabi SAW bersabda : bawalah wanita itu maka aku telah mengawinkan anda dengan mahar apa yang adan hafal dari Al-Qur'an”. ( Bukhari – Muslim ).[3]

v  Pengertian Mahar (                       )
Shiddaq menurut istilah ilmu fiqh adalah mahruzzaufah ( maskawin bagi istri ) maskawin bukanlah suatu harga melainkan memiliki kaitan moral antara suami-isteri dan walinya. Dan yang utama adalah formalitasnya ( yang terlihat ). Mas kawin harus dibayar penuh ( 100 % ) jika suami telah melakukan persetubuhan dengan istrinya, dan maskawin dibayar separuh ( 50 % ) jika bercerai ( talak ) sebelum persetubuhan.
Sedang Rasulullah SAW memberikan mas kawin untuk para istrinya ialah lima belas awiqiyah dan ditambah satu nasaya, yaitu lima ratus dirham.[4] Dalam suatu riwayat :


“Dari Ali ia berkata : Tidak ada mahar kurang dari 10 dirham”.
Bahkan Rasulullah SAW pernah memerdekakan budak bernama Safirah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maskawinnya. Dalam riwayat lain :


“Dari Uqbah bin Amir ia berkata : telah besabda Rasulullah : sebaik-baiknya mahar itu yang seringan-ringannya”.

v  Kedudukan Maskawin Atas Seorang Istri
Ø  Jika memberikan apa-apa sebelum dinikahkan, dari calon suami, walaupun kepada bapak atau saudara calon istri, maka itu kepunyaan calon istri, begitu pula pada waktu akad nikah.
Ø  Bekas istri yang kematian suami sebelum bersetubuh (                ) dengan sumainya itu dan belum menerima maskawinnya, maka berhak mendapat maskawin 100 %, warisan suami dan beriddah selama 40 hari.
Ø  Istri yang ditalak sebelum disetubuhi menerima maskawin 50 % dan hadiah hiburan.[5] Sesuai surat Al-Baqoroh : 237 firman Allah :







Artinya :
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamus udah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan ini, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”.[6]
Ø  Jika seorang ceraikan isterinya yang belum ia tentukan maskawinnya danbelum ia sentuh, maka tidak wajib atasnya maskawin, tetapi hendaklah ia beri bekalan sekadarnya menurut kekuatan masing-masing. ( QS. Al-Baqoroh : 226 ).
v  Nafakah



“Dari Jabir dari Nabi SAW : Dihadits haji yang panjang ia bersabda tentang sabutan isteri-isteri, wajib atas kamu memberi kepada mereka nafakah mereka dan pakaian mereka dengan cara yang pantas”.[7]
Nafakah adalah semua yang diberikan manusia untuk memenuhi kebutuhannya atau lain dari padanya.
Seorang suami harus mencukupi nafkah keluarganya semampunya, sehingga diharapkan agar tidak kikir dan juga tidak boros. Bahkan hal tersebut lebih utama untuk didahulukan sebelum kepada orang yang lain. Dan apabila seorang suami dianggap bakhil atau kikir dan istrinya karena tidak menafkahinya meskipun memiliki kemampuan, maka seorang istri punya hak untuk mengambil tambahan nafkah, sehingga sampai mencukupi dan tidak mewah. Pengambilan harta seperti itu tidak dinamakan mencuri tetapi mengambil haknya, tetapi jangan sampai memelaratkan suami. Maka hendaklah pada waktu yang dianggap baik hal tersebut, sebaiknya dilaporkan kepada sang suami.[8]







Artinya :
“Aisyah r.a menceritakan bahwa pada suatu hari datanglah  Hindun binti Utbah, yaitu istri Abu Sufyan menemui Rasulullah seraya berkata : “Hai Rasulullah, Abu Sufyan itu ialah laki-laki yang kikir, sehingga tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu ? Jawab beliau : “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya yaitu untukmu dan anak-anakmu itu !”.
KESIMPULAN
Mahar merupakan suatu pemberian dari suami untuk sang istri sebagai tanda cinta suami kepada istrinya. Ukuran dan bentuk mahar tidak dapat kita tentukan. Yang jelas, dalam sebuah jalinan perkawinan diwajibkan adanya mahar baik banyak atau sedikit, mahar diberikan sebelum dukhul ( hubungan suami istri ). Jika mahar belum diberikan kepada istri, istri mempunyai hak untuk menolak melakukan hubungan intim. Ini berarti betapa wajibnya mahar dalam sebuah ikatan perkawinan. macam dan jenis maharpun beraneka ragam. Hal tersebut tidak menjadi soal asalkan tidak menyulitkan pihak suami untuk mencari / mendapatkannya.


DAFTAR  PUSTAKA

1.      M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdalah, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002 ).
2.      M. Ali Al-Shabuni, Kawinlah Selagi Muda, ( Jakarta : Serambi Ilmu Semesta,        2002 ).
3.      M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Terjemah, ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1996 ).
4.      KH. Kahar Mansur, Bulughul Marom II, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1991 ).
5.      A. Hasan, Bulughul Marom II, ( Bandung : CV. Diponegoro, 1975 ).
6.      Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
7.      Cliford Gertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, ( Jakarta : Pustaka Jaya, 1983 ).


[1] M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdalah, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002 ), hlm. 196-213.
[2] M. Ali Al-Shabuni, Kawinlah Selagi Muda, ( Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002 ), hlm. 87-88.
[3] M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Terjemah, ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1996 ),hlm. 484.
[4] KH. Kahar Mansur, Bulughul Marom II, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1991 ), hlm. 60.
[5] A. Hasan, Bulughul Marom II, ( Bandung : CV. Diponegoro, 1975 ), hlm. 105.
[6] KH. Kahar Mansur, Op.Cit, hlm. 65.
[7] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[8] Cliford Gertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, ( Jakarta : Pustaka Jaya, 1983 ), hlm. 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

 

Sample text

Sample Text

Sample Text