MAHAR
PENDAHULUAN
Dalam sebuah ikatan perkawinan,
khususnya dalam agama Islam, dibutuhkan adanya mahar atau maskawin. Mahar atau
maskawin tersebut, bertujuan demi melanggengkan hubungan perkawinan dan sebagai
penghormatan kepada wanita yang akan dinikahi.
Tentang apa itu mahar, berapa ukurannya,
bagaimana hukum memberikan mahar ?. Akan kita bahas pada pembahasan.
Mahar yang paling
sederhana dapat berupa jasa yaitu membaca Al-Qur'an atau mengajarkan Al-Qur'an.
Mahar yang jumlah dan bentuknya sederhana, tidak memberatkan adalah agar
memfaedahkan suatu pernikahan yang berkah.
Mempelai pria wajib membayar mahar kepada
mempelai wanita. Apabila tidak dapat membayar pada waktu akad nikah, dapat
dibayar lain waktu setelah akad nikah yang dinamakan mahar misil.
PEMBAHASAN
Mahar atau maskawin
merupakan hak yang ditentukan oleh syari’ah untuk wanita sebagai ungkapan
hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta
ikatan tali kesuciannya. Maka, mahar merupakan keharusan tanpa boleh ditawar
oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya
serta membahagiakannya.[1]
Dalam Islam, mahar
adalah simbol penghormatan dan bukti cinta kepada wanita. Allah mewajibkan pria
yang ingin memperistri seorang wanita untuk menyerahkan mahar sebagai suatu
hadiah yang bersifat sukarela.
Dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ ayat 4 :
Artinya :
Hendaklah
kalian memberikan mahar kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai suatu
pemberian yang bersifat sukarela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian
dari maharnya kepadamu, maka kalian boleh mengambilnya, tanpa kalian menanggung
dosa karenanya.
Menurut ulama mazhab
Maliki harus ada mahar meskipun tidak diungkapkan dalam akad nikah dan tidak
terjadi kesepakatan antara orang yang menikah dan saksi untuk tidak mengumumkan
perkawinan itu. Menurut mereka apabila mahar itu tidak diungkapkan dalam akad
nikah, maka nikah itu sah dan disebut dengan nikah At-Tafwid.
Tetapi jumhur ulama
berpendapat bahwa mahar itu termasuk dalam rukun dan atau syarat nikah. Oleh
karena itu apabila seseorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa mahar atau
keduanya sepakat menyatakan tidak perlu Mahar, maka nikahnya tetap sah dan
menurut mereka nikah At-Tafwid hukumnya tetap sah.
Jadi, mahar harus ada
dalam suatu pernikahan. Tujuan pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan
memperkuat ikatan tali cinta kasih pasangan suami istri, serta membantu
meringankan biaya penyelenggaraan pernikahan.[2]
Hadits Tentang Mahar :
Artinya :
“Sahal bin Sa’ad Assa’id r.a berkata :
Seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata : aku datang untuk
menyerahkan diriku kepadamu. Maka Nabi SAW melihat wanita itu sepuasnya
kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu merasa bahwa Nabi SAW tidak
berhajat kepadanya, maka ia duduk, kemudian seorang sahabat berdiri dan berkata
: Ya Rasulullah, jika engkau tidak berhajat padanya maka kawinkanlah padaku.
Nabi SAW tanya kepadanya : Apakah anda mempunyai apa-apa ?. Jawabnya : Tidak,
demi Allah dan Rasulullah. Nabi SAW bersabda kepadanya : Pulanglah kerumahmu
cari apa-apa ( yakni untuk mahar ), maka ia kembali dari rumah dan berkata :
Demi Allah tidak ada apa-apa ya Rasulullah. Nabi SAW bersabda : carilah
meskipun cincin besi. Maka pulanglah ia dan kembali berkata : Demi Allah tidak
ada apa-apa ya Rasulullah meskipun cicin besi, tetapi saya mempunyai ini sarung
separuh untuknya. Nabi SAW bertanya : apakah yang akan anda lakukan terhadap
kain itu, jika anda pakai dia tidak dapat memakai, dan jika ia yang memakai
andapun tidak memakai apa-apa. Maka lama juga orang itu duduk, dan kemudian
bangun dan ketika dilihat oleh Nabi SAW, dia akan pergi dipanggil kembali dan
ditanya : apa yang anda hafal dari Al-Qur'an ?. Jawabnya : aku hafal surat ini
dan itu beberapa surat yang disebutnya. Ditanya oleh Nabi SAW : Apakah
benar-benar anda hafal ?. Jawabnya : Ya, Nabi SAW bersabda : bawalah wanita itu
maka aku telah mengawinkan anda dengan mahar apa yang adan hafal dari
Al-Qur'an”. ( Bukhari – Muslim ).[3]
v Pengertian Mahar ( )
Shiddaq menurut istilah ilmu fiqh adalah mahruzzaufah ( maskawin
bagi istri ) maskawin bukanlah suatu harga melainkan memiliki kaitan moral
antara suami-isteri dan walinya. Dan yang utama adalah formalitasnya ( yang
terlihat ). Mas kawin harus dibayar penuh ( 100 % ) jika suami telah melakukan
persetubuhan dengan istrinya, dan maskawin dibayar separuh ( 50 % ) jika
bercerai ( talak ) sebelum persetubuhan.
Sedang Rasulullah SAW memberikan mas kawin untuk para istrinya ialah
lima belas awiqiyah dan ditambah satu nasaya, yaitu lima ratus dirham.[4]
Dalam suatu riwayat :
“Dari Ali ia
berkata : Tidak ada mahar kurang dari 10 dirham”.
Bahkan
Rasulullah SAW pernah memerdekakan budak bernama Safirah dan menjadikan
kemerdekaan itu sebagai maskawinnya. Dalam riwayat lain :
“Dari Uqbah
bin Amir ia berkata : telah besabda Rasulullah : sebaik-baiknya mahar itu yang
seringan-ringannya”.
v Kedudukan Maskawin Atas Seorang Istri
Ø
Jika
memberikan apa-apa sebelum dinikahkan, dari calon suami, walaupun kepada bapak
atau saudara calon istri, maka itu kepunyaan calon istri, begitu pula pada
waktu akad nikah.
Ø
Bekas
istri yang kematian suami sebelum bersetubuh ( ) dengan sumainya itu dan belum
menerima maskawinnya, maka berhak mendapat maskawin 100 %, warisan suami dan
beriddah selama 40 hari.
Ø
Istri yang
ditalak sebelum disetubuhi menerima maskawin 50 % dan hadiah hiburan.[5]
Sesuai surat Al-Baqoroh : 237 firman Allah :
Artinya :
“Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamus udah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan ini, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”.[6]
Ø
Jika
seorang ceraikan isterinya yang belum ia tentukan maskawinnya danbelum ia
sentuh, maka tidak wajib atasnya maskawin, tetapi hendaklah ia beri bekalan
sekadarnya menurut kekuatan masing-masing. ( QS. Al-Baqoroh : 226 ).
v Nafakah
“Dari Jabir
dari Nabi SAW : Dihadits haji yang panjang ia bersabda tentang sabutan
isteri-isteri, wajib atas kamu memberi kepada mereka nafakah mereka dan pakaian
mereka dengan cara yang pantas”.[7]
Nafakah adalah semua yang diberikan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya atau lain dari padanya.
Seorang suami harus mencukupi nafkah keluarganya semampunya,
sehingga diharapkan agar tidak kikir dan juga tidak boros. Bahkan hal tersebut
lebih utama untuk didahulukan sebelum kepada orang yang lain. Dan apabila
seorang suami dianggap bakhil atau kikir dan istrinya karena tidak menafkahinya
meskipun memiliki kemampuan, maka seorang istri punya hak untuk mengambil
tambahan nafkah, sehingga sampai mencukupi dan tidak mewah. Pengambilan harta
seperti itu tidak dinamakan mencuri tetapi mengambil haknya, tetapi jangan
sampai memelaratkan suami. Maka hendaklah pada waktu yang dianggap baik hal
tersebut, sebaiknya dilaporkan kepada sang suami.[8]
Artinya :
“Aisyah r.a
menceritakan bahwa pada suatu hari datanglah
Hindun binti Utbah, yaitu istri Abu Sufyan menemui Rasulullah seraya
berkata : “Hai Rasulullah, Abu Sufyan itu ialah laki-laki yang kikir, sehingga
tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan
mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu ?
Jawab beliau : “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya
yaitu untukmu dan anak-anakmu itu !”.
KESIMPULAN
Mahar merupakan suatu
pemberian dari suami untuk sang istri sebagai tanda cinta suami kepada
istrinya. Ukuran dan bentuk mahar tidak dapat kita tentukan. Yang jelas, dalam
sebuah jalinan perkawinan diwajibkan adanya mahar baik banyak atau sedikit,
mahar diberikan sebelum dukhul ( hubungan suami istri ). Jika mahar belum
diberikan kepada istri, istri mempunyai hak untuk menolak melakukan hubungan
intim. Ini berarti betapa wajibnya mahar dalam sebuah ikatan perkawinan. macam
dan jenis maharpun beraneka ragam. Hal tersebut tidak menjadi soal asalkan
tidak menyulitkan pihak suami untuk mencari / mendapatkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau
Dengan Hamdalah, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002 ).
2.
M. Ali Al-Shabuni, Kawinlah Selagi
Muda, ( Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002 ).
3.
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal
Marjan, Terjemah, ( Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1996 ).
4.
KH. Kahar Mansur, Bulughul Marom
II, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1991 ).
5.
A. Hasan, Bulughul Marom II, (
Bandung : CV. Diponegoro, 1975 ).
6.
Depag RI, Al-Qur'an dan
Terjemahnya.
7.
Cliford
Gertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, ( Jakarta :
Pustaka Jaya, 1983 ).
[1] M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdalah, (
Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2002 ), hlm. 196-213.
[2] M. Ali Al-Shabuni, Kawinlah Selagi Muda, ( Jakarta : Serambi
Ilmu Semesta, 2002 ), hlm. 87-88.
[3] M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Terjemah, (
Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1996 ),hlm. 484.
[4] KH. Kahar Mansur, Bulughul Marom II, ( Jakarta : Rineka
Cipta, 1991 ), hlm. 60.
[5] A. Hasan, Bulughul Marom II, ( Bandung : CV. Diponegoro,
1975 ), hlm. 105.
[6] KH. Kahar Mansur, Op.Cit, hlm. 65.
[7] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[8] Cliford Gertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
( Jakarta : Pustaka Jaya, 1983 ), hlm. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar